Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bagaimana Kalau Yani Hagler Menang

Berkaitan dengan kekalahan tragis Yani Hagler oleh Dodie Penalosa, Menpora Abdul Gafur mengajukan beberapa peraturan yang menyangkut pengetatan persyaratan untuk menjadi petinju pro. Boy Bolang keberatan.(or)

26 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TINJU profesional Indonesia akan dibenahi lagi. Setelah kekalahan tragis Yani Hagler Dokolamo dari juara tinju dunia versi IBF Dodie Penalosa, Menpora A. Gafur, pekan ini juga, akan mengumumkan beberapa langkah baru untuk menertibkan kegiatan tinju bayaran di Indonesia. "Detailnya masih harus saya laporkan kepada Bapak Presiden. Tapi, garis besar ketentuan baru itu adalah untuk mempertegas beberapa peraturan yang belum dilaksanakan secara baik," kata Gafur Sabtu pekan lalu. Peraturan yang dimaksud adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur olahraga profesional yang tercantum dalam Bapopi (Badan Pengembangan Olah Raga Profesional Indonesia). Dia tidak merinci satu per satu langkah yang akan diambilnya itu. Namun, secara sepintas Gafur menyebut, salah satu ketentuan baru itu menyangkut persyaratan untuk menjadi petinju pro. "Akan kembali dipertegas bahwa semua calon petinju profesional nanti harus terlebih dahulu melalui jenjang sebagai petinju amatir," ujar Gafur serius. "Sebab, kita mau semuanya di tinju pro bisa dilaksanakan secara bertahap. Jangan seperti bajing loncat: belum apa-apa sudah menantang juara dunia." Menpora memang tidak menyebut nama. Tapi, arah ucapannya, bisa ditebak, masih berkaitan dengan kasus terbantainya Yani Hagler di Istora Senayan, Jakarta, dua pekan lalu. Petinju gundul yang masih berusia 18 tahun itu, sebelum menantang Dodie Penalosa, memang tidak menjalani jenjang sebagai petinju amatir, seperti halnya juara dunia kelas bantam yunior versi IBF Ellyas Pical. Faktor ini, yang sebelumnya hangat dipersoalkan pelbagai kalangan tinju sebagai kekurangan yang menyebabkan Yani bisa dihajar lawannya, rupanya menjadi bahan pertimbangan Menpora untuk mempertegas pelaksanaan peraturan-peraturan Bapopi yang sebenarnya sudah berlaku sejak tahun lalu. Tak ada tawar-menawar lagi, menurut sumber yang dekat dengan Menpora, ketentuan yang menyangkut jenjang karier petinju pro itu akan diperketat. "Cuma, petinju yang sudah telanjur diberi izin, seperti Yani Hagler itu, yang dikecualikan dari ketentuan itu nanti," kata sumber TEMPO. Pengecualian ini, tak ayal, memang harus diberikan. Sebab, lolosnya Yani dari ketentuan lama itu bukannya tanpa izin yang sah. Adalah Solihin G.P., selaku Ketua Umum KTI, Komisi Tinju Indonesia, yang terang-terangan mengaku memberikan rekomendasi buat petinju sasana Sawunggaling, Surabaya, itu untuk terjun ke tinju pro, dan malah melawan juara dunia, kendati ia tak melalui jalur amatir. "Demi target mendapatkan dua juara dunia," ujar Mang Ihin, gamblang. Dan juga adalah karena rekomendasi KTI itu, Bopopi, badan di bawah Menpora yang sejak dihidupkan lagi, Juli 1984, bertanggung jawab memberikan izin bagi suatu pertandingan tinju pro, akhirnya ikut-ikutan memberi izin Yani bertarung di atas ring. Jadi, seperti pengakuan Solihin kepada TEMPO, "Kita semua memang salah, dalam kasus Yani." Kesalahan itu, toh, tak menyurutkan langkah Menpora untuk terus menertibkan pelaksanaan ketentuan dalam tinju pro. Malah, lewat Bapopi, menurut sumber TEMPO, pelbagai pengetatan akan dilakukan dalam kegiatan olah raga yang mulai digandrungi banyak orang itu. Tak hanya petinju, tapi juga promotor, investor, dan sasana, menurut sumber TEMPO, segera akan kembali didaftar ulang, dan KTI akan diminta memperketat pemberian lisensi bagi mereka. "Kalau terjadi pelanggaran ketentuan, kami akan minta KTI cepat menindak yang bersangkutan. Sebab, Bapopi bertanggung jawab pada dua hal: segi tontonan yang dibayar agar tidak mengecewakan khalayak, dan prestasi," katanya. Bapopi tak akan memberi tempat bagi orang yang sekadar coba-coba, untuk cari kaya di tinju pro. "Bahkan anak muda yang mau terjun ke tinju pro juga harus mencoba dulu pertandingan di tinju amatir sebelum boleh terjun ke profesional," katanya. Rencana baru Bapopi ini, ternyata mendapat reaksi sengit dari mana-mana. Tak kurang Promotor Boy Bolang terus terang mengatakan kekhawatirannya kepada rencana yang akan dilaksanakan itu. Kepada Putut Tri Husodo dari TEMPO, Boy malah melihat gejala Bapopi "akan menukik terlalu dalam dan mencampuri" wewenang KTI. Soal izin penyelenggaraan pertandingan, yang kini di tangan Bapopi saja, misalnya, menurut Boy, sudah menyulitkan Bapopi sendiri. Sebab, konsekuensinya, "Bapopi pula nanti yang harus menyediakan wasit dan hakim internasional," katanya. Ini hanya bisa di peroleh jika Bapopi sendiri menghubungi beberapa wadah tinju pro di luar negeri, seperti WBC, WBA, IBF, atau OPBF. "Padahal, selama ini, mereka itu hanya tahu dan mengakui di Indonesia hanya terdapat KTI" ujarnya. Boy juga mengatakan, ia keberatan dengan akan dipertegasnya ketentuan jenjang karier (harus lewat amatir dulu) buat calon petinju profesional. "Ini semata-mata karena soal hak asasi. Sebab, tinju profesional 'kan juga salah satu ladang untuk cari nafkah. Mengapa harus dibatasi? Sama juga pemerintah ikut ngelarang, misalnya, saya mau menjadi tukang sayur," katanya. Ia terus terang mengatakan, adalah hak pemerintah lewat Bapopi untuk mengatur penyelenggaraan tinju pro di Indonesia. "Saya akan manut saja. Tapi, saya harap sebelum ketentuan diberlakukan, agar tinju bayaran bisa lebih maju, segalanya dipertimbangkan dengan matang," katanya. Ketua Umum KTI Solihin, hampir senada dengan Boy, dalam melihat perlunya jenjang karier amatir bagi seorang calon petinju pro. "Idealnya memang begitu. Tapi, apa mungkin orang seperti Yani Hagler, yang menanggung beban keluarganya, misalnya, akan bisa melalui jenjang karier di amatir. Mau makan dari mana dia, kalau beberapa tahun harus bertinju di amatir dulu?" kata Solihin terus terang. Lebih dari itu, sebenarnya yang penting adalah apakah Bapopi bisa unjuk gigi. Sebab, jangan-jangan ramai-ramai ini adalah disebabkan Yani Hagler kalah. Kalau menang? Marah Sakti Laporan Rudy Novrianto dan Toriq Hadad (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus