Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Protogonis

Penulis menampilkan suatu protagonis antar seorang ekonomi scotlandia dengan seorang politikus jerman. masing-masing berbicara tentang pengaruh bukunya terhadap perkembangan dunia.(kl)

26 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK jelas, di sebelah alam barzakh yang mana kedua roh itu bertemu. Yang jelas, salah satunya berasal dari sebuah makam di Edinburg, Skotlandia, yang mulai dihuni pada 1790. Roh satunya datang dari sebuah makam di London. Orangnya Yahudi Jerman, meninggal 93 tahun kemudian. Kedua orang itu jauh berbeda dalam segala hal, kecuali bahwa keduanya sama-sama filosof, sama-sama ekonom, sama-sama telah menulis buku yang katanya ikut mengubah dunia. "Saya gembira mendengar nama saya disebut kembali," kata si Skotlandia. "Seorang ekonom Amerika baru saja menulis sebuah buku tentang diriku. Ia menunjukkan betapa masih relevannya sistem ekonomi yang saya tulis dua abad yang lalu. Ia buktikan, betapa negara yang menganut sistem ekonomi pasar lebih berhasil dalam pembangunan ekonominya daripada yang menggantungkan pada peranan sektor negara yang sangat besar dan perencanaan ekonomi yang sentralistis. "Ketika saya menulis buku itu, terus terang saya hanya melihat ekonomi Inggris abad ke-18. Tapi zaman membuktikan bahwa hukum motivasi manusia ternyata lebih langgeng daripada jasad kita. Biarkanlah setiap produsen memproduksi barang sesuai dengan jumlah dan harga yang diinginkan masyarakat, menurut indikator yang diberikan pasar. Seperti yang saya tulis, saya anticampur tangan pemerintah yang terlalu besar, antiprotek-sionisme dan saya antiperdagangan luar negeri yang tidak bebas. Saya dengar Inggris menerapkan sistem saya pada abad ke-19 mereka menyebutnya sistem liberal, dan ekonomi Inggris maju pesat." "Omong kosong," sela si Jerman. Tangannya masih mengelus janggutnya yang hampir ke dada. Mukanya lusuh kehitam-hitaman. Sikap politiknya yang anti-Prusia mengakibatkan ia harus mengungsi. Kariernya tak lebih dari seorang penulis dan jurnalis musiman: setiap menerbitkan koran, dibreidel. "Kau tidak melihat sisi lain," kata si Jerman. "Yang terjadi di Inggris waktu itu adalah proses pembusukan dari sistem yang kau lukiskan. Ketika aku menulis Manifesto pada 1848, gelegar revolusioner sudah menggema di Paris, Brussel, Wina, dan Budapest. Ribuan barikade terpaksa dipasang kaum buruh yang harus menghadapi pemerintahan reaksioner yang didukung kapitalis. "Kaum kapitalis sedang menggali liang kuburnya sendiri. Satu gladi kotor untuk satu peristiwa besar yang mesti terjadi menurut keharusan sejarah." "Tapi gladi resiknya tak pernah datang, 'kan?" sela si Skotlandia. Ia ini terkenal eksentrik: warga Edinburg sering melihatnya berjalan linglung di taman kota. "Kecuali sebuah peristiwa yang terjadi 70 tahun kemudian," ia meneruskan. "Dan itu pun di sebuah negara yang tak pernah Anda bayangkan - satu negara terbelakang dan agraris. Sejarah membuktikan lain. Aku tak usah menyebut Amerika, Eropa Barat, atau Jepang yang memang sudah maju karena menggunakan sistemku. Kini banyak orang kagum dengan kemajuan Taiwan, Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, yang menganut sistemku. "Sebaliknya, negara-negara yang menganut sistem Anda kini mulai berpaling. Lihat Hungaria, yang mulai menggunakan sistem saya. Sekarang menjadi negara paling maju di Eropa Timur. Dan Anda dengar apa yang terjadi di RRC? Deng Xiaoping sudah mencampakkan Anda. Anda bukan orang suci lagi di sana." "Si kecil yang perokok dan peminum itu? . . . Tak ada yang lebih reaksioner dari Deng. Ia mulai merangkul kapitalisme, tapi kini mengeluh merajalelanya materialisme, dekadensi moral, dan korupsi. Seperti sudah saya tulis, sistem ekonomi menentukan sistem nilai masyarakat yang dianutnya. Ia kini berlagak mundur selangkah. Percayalah, ia tak akan pernah maju seribu langkah." Si Jerman mengerang seperti menahan rasa sakit, persis seperti ketika ia mau meninggal pada 1883. Kini ia teringat Jenny, istrinya yang setia. Oh,Jenny, Jenny von Westpalen, teman mainnya sejak kecil, putri aristokrat kaya. Kalau mau, tak susah baginya mendapat jodoh yang lebih pantas. Tapi Jenny mendampinginya dengan setia dalam kemiskinan, ikut pindah dari gubuk ke gubuk, dari Paris, Brussel, London. Jenny yang pernah terpaksa pinjam uang temannya buat membeli prangko, buat mengirim artikel suaminya ke New York Tribune. Jenny meninggal dua tahun lebih dulu. Tapi di mana ia sekarang? Si Jerman merasa getir. Ia menatap si Skotlandia, yang tiba-tiba seperti sedang tenggelam dalam lamunan: bibir bawahnya yang tebal mengatup menutupi bibir atasnya, persis seperti yang sering dilakukannya ketika hidup. Si Jerman membisikkan sesuatu: "Tadi kau menyinggung resesi, yang kabarnya masih melanda dunia sekarang. Bagiku itu bukan resesi. Seperti yang kutulis, kapitalisme tak bisa lepas dari krisis. Siklusnya berlangsung dari satu krisis ke krisis lain. Berapa ribu kapitalis kecil yang sudah bangkrut, dan berapa yang sudah ditelan kapitalis besar? Ribuan pabrik kini sudah ditutup. Dan atas nama penekanan biaya dan efisiensi, mereka mulai bermain api dengan teknologi tinggi, komputer, dan robot. Jutaan kaum proletar di seluruh dunia sudah di-PHK-kan. Kau lihat sendiri, situasi revolusioner belum reda." "Tapi satu hal yang tak pernah Anda bayangkan," si Skotlandia menyela, "yaitu kecanggihan umat manusia dalam menyesuaikan diri dan berinovasi. Marilah kita akui, jangkauan pandangan kita tak lebih jauh dari Manchester pada 1848. Sekali lagi, aku tak percaya keharusan sejarah yang Anda dambakan itu bakal terjadi. Aku sangat capek izinkan aku pergi" Arwah si Skotlandia beranjak dan melayang. Kini ia teringat beberapa tahun menjelang akhir hayatnya. Ia diangkat menjadi Komisioner Bea Cukai di Edinburg, suatu jabatan yang memberinya gaji 50 poundsterling sebulan. Ia penganjur perdagangan bebas, antiproteksionisme, tapi tidak berbuat apa-apa ketika Skotlandia mulai melakukan proteksi industrinya. Ia diam ketika Skotlandia mulai memasang tembok tarif dan nontarif untuk membatasi impornya. Ironi yang sungguh tragis. Haruskah setiap ekonom bernasib seperti itu? Punya prinsip dan idealisme, tapi lumpuh dan mandul, begitu menjadi seorang birokrat. Ia gundah sekali. Di bawah, terlihat Skotlandia yang hijau, negeri yang rakyatnya tak merasa hidup tanpa main golf. Dan di pinggir sebuah gereja tua, ia melihat makamnya sendiri. Di batu nisannya yang cokelat kehitam-hitaman ia membaca: "Di sini dimakamkan Adam Smith, pengarang The Wealth of Nations". Ia ingin kembali ke dunia. Ia rindu Universitas Glasgow. Ia ingin bertemu sahabat-sahabatnya untuk berdialog dan berdebat, seperti dulu. Tapi, kapan Adam turun ke bumi lagi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus