Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH pistol menyalak, telinga Suryo Agung Wibowo budeg. Dia tidak mendengar suara apa pun, termasuk sorak-sorai penonton di stadion Nakhon Ratchasima, Thailand. Yang ada di kepalanya adalah memacu kecepatan larinya. ”Kalau terus diayun, kaki pun pasti melangkah,” ujarnya menirukan perintah sang pelatih. Petuah pelatih dilakoninya dengan sempurna. Agung berhasil menjejak garis finish di urutan pertama.
Toh, Agung tetap tak sadar dengan apa yang diraihnya. Telinganya hanya menangkap suara teriakan-teriakan: ”Emas pertama! Emas pertama!” Setelah sempat bengong, barulah dia sadar. Agung pun berlari melintasi seperempat lapangan sambil mengangkat kedua tinju ke langit.
Catatan waktunya fantastis. Jarak 100 meter itu dilahap dalam 10,25 detik. Agung mencetak rekor baru South East Asia Games. Catatan waktu tercepat itu sudah delapan tahun menjadi milik Reanchai Seebarwong, sprinter asal Thailand, negara tuan rumah SEA Games 2007. Kemenangan itu praktis membuat Agung mendapat tiket ke babak kualifikasi Olimpiade Beijing 2008. ”Bermimpi pun tidak,” ujarnya.
Lebih dari itu, kemenangan Agung teramat penting bagi Indonesia. Karena Agung adalah pemecah telur alias peraih emas pertama untuk tim Indonesia, Jumat dua pekan lalu. Indonesia Raya berkumandang untuk pertama kali di Nakhon Ratchasima. ”Saya nggak percaya dengan kemenangan ini. Saya bisa mengibarkan bendera Merah-Putih di negeri orang,” katanya sembari terengah-engah.
Pencapaian prestasi di SEA Games kini tampaknya harus melalui perjuangan luar biasa untuk atlet Indonesia. Padahal, sebelumnya, sambil mata terpejam pun, alakazam! medali emas langsung didapat. Sejak ikut dalam pesta olahraga pada 1977 di Malaysia, kemudian disusul pada penyelenggaraannya setiap dua tahun, Indonesia, negara terbesar dengan jumlah penduduk terbanyak di kawasan ini, selalu keluar sebagai pemenang.
Perlahan, sejak 1999, setelah Indonesia menjadi tuan rumah SEA Games 1997 dengan menyabet 194 emas, jauh di atas runner up Thailand yang hanya memboyong 83 emas, prestasi Indonesia seperti kolor kendur, terus melorot. Alih-alih masih bisa memegang posisi kedua, Indonesia hanya ada di peringkat ketiga. Yang terburuk adalah pada SEA Games di Manila dua tahun lalu, Indonesia hanya mampu mentok di urutan kelima, setelah Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Nah, berkaca pada kegagalan dan kemampuan yang ada, pada SEA Games di kota bagian timur Thailand ini, Indonesia dengan rombongan atlet 542 orang hanya berani mematok 65 medali emas. Naik satu peringkat dengan target berada di urutan keempat saja.
Persoalannya bukan mampu atau tidak mampu Indonesia memenuhi target ”realistis” urutan keempat, namun pembinaan termasuk regenerasi atlet adalah masalah besar yang dihadapi. Pembinaan macet menyebabkan paceklik prestasi. Krisis moneter 1997 turut disalahkan sebagai biang kerok menurunnya kualitas pembinaan atlet Indonesia—tapi mengapa Thailand yang juga terhumbalang krismon baik-baik saja?
Itulah sebabnya, dalam berbagai kesempatan, Ketua Umum KONI Rita Soebowo berkoar-koar tentang personel yang turun di arena ini. Hampir 70 persen atlet yang berlaga di Thailand adalah wajah lama. Bahkan di cabang bulu tangkis, Taufik Hidayat masih dijadikan andalan. Bandingkan dengan para atlet negara lain. Yang muncul di SEA Games dua tahun silam saja, ada yang sudah tidak berlaga lagi sekarang karena dinilai terlalu tua, disalip dengan atlet muda yang lebih moncer. Singapura adalah contoh yang paling banyak menurunkan atlet-atlet fresh. Target mereka jelas bukan hanya jadi jagoan di arena SEA Games, melainkan Olimpiade Beijing.
Untuk kembali menjadi yang terbaik, sulit. Pun pada SEA Games dua tahun mendatang di Laos, Indonesia belum berani memasang target sebagai juara. Pertaruhan terbesar adalah pada 2011, ketika Indonesia kembali menjadi tuan rumah hajatan olahraga regional ini. Mampukah Indonesia berlari kencang dalam empat tahun ke depan melahirkan kejutan seperti yang dilakukan Suryo?
Pembinaan olahraga Indonesia masih belum tertata baik. Yang berprestasi bukanlah hasil dari pencarian bibit yang serius dan dengan manajemen baik. Simak cerita atlet angkat besi seperti Sinta Darmariani, 21 tahun, dan Eko Yuli Irawan, 18 tahun. Mereka berhasil menyabet lima emas, tiga perak, dan sebiji perunggu. Perolehan ini lebih baik ketimbang hasil di Manila dua tahun silam.
Dari manakah mereka datang? Mereka datang secara tidak sengaja. Eko, atlet angkat besi peraih emas di kelas 56 kilogram ini, misalnya, mengaku tertarik pada olahraga ini gara-gara sering melihat para atlet berlatih tak jauh dari rumahnya. Pada awalnya hanya sedikit yang menonton, lama-kelamaan jumlahnya bertambah. Tempat berlatih pun sesak. Eko dan teman-temannya sempat diusir.
Eko pun sempat kecewa, namun seorang teman membisikinya, ”Kalau mau latihan, bawa celana pendek dan sepatu sekolah saja.” Keesokan harinya dia mulai latihan, tapi tentu ceritanya tak semulus yang dikira.
Eko bukan anak keluarga mampu. Orang tuanya petani. Mereka mengizinkan Eko berlatih, tapi itu pun setelah ia selesai menjalankan kewajiban menggembala empat ekor kambing yang merupakan harta kekayaan keluarganya. Karena tak punya kandang untuk si kaki empat itu, saat hujan, kambing-kambing pun berkumpul dengan majikannya. ”Boleh latihan, asal kambingnya jangan hilang,” Eko menuturkan kata-kata sang ibu saat itu.
Jadi, kelancaran latihan Eko tergantung pada kesehatan dan kondisi keempat kambingnya. Suatu saat, di hari latihan, seekor kambingnya menghilang. Eko harus mencarinya hingga ketemu. Untung si kambing ditemukan. Eko pun harus latihan sembari mengawasi para kambing.
Pengalaman mirip dialami Triyatno, teman sekampungnya yang meraih emas untuk nomor 62 kilogram. ”Saya pernah ikut Bapak dan Ibu ke sawah, ikut panen, juga angon kambing.” Dia pun ikut menjadi lifter karena iseng. ”Sempat berhenti karena, katanya, olahraga itu bisa bikin turun berok,” katanya.
Setelah berhasil masuk ke pemusatan latihan nasional, prestasi Triyatno melonjak. Sebelum menjadi juara nasional tahun ini, dia sempat duduk di peringkat ketiga Kejuaraan Dunia Junior di Cina tahun lalu dan meraih peringkat empat di Asian Games Doha 2006.
Dari manakah prestasi itu datang? Latihan teratur dan pelatih yang baik. ”Hanya dengan cinta saya dapat membuat mereka menjadi manusia-manusia perkasa,” kata Sori Enda Nasution, mantan lifter yang kini menjadi pelatih tim angkat besi.
Manusia seperti Bang Ucok—panggilan akrab Sori—menjadi kekuatan bagi para atlet. Pekan silam, saat anak latihnya berlomba, wajahnya terlihat lelah. Tapi, seketika ia hapus kelelahan itu setiap kali anak-anak asuhnya, Eko, Triyatno, Edi Kurniawan, dan anak kandungnya Sandow Weldemar Nasution, berlaga.
Siang itu, Sori menutupi tubuh Eko dengan selimut besar merah. Dia menepuk pipi Eko dan duduk di sampingnya sambil membisiki sesuatu di telinganya. Keberhasilan atlet asuhannya meraih medali emas tak lepas dari cinta yang diberikan Sori. Namun, tanpa dukungan sistem pembinaan yang baik—ada manajemen dan dana memadai—Sori tentu tak akan berdaya mencari dan mengembangkan bibit-bibit baru.
Irfan Budiman, Yon Moeis dan Ami Afriatni (Nakhon Ratchasima)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo