Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang bisa membebaskan kita dari keserakahan?
Malam itu saya duduk di antara 800 penonton konser penghormatan buat kedua pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2007 di Balai Konser Spektrum, Oslo. Di panggung yang terang, Al Gore berdiri berdampingan dengan Rajendra Pachauri, Ketua Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).
Orang India berumur 67 tahun itu tak banyak dikenal sebelumnya. Rambut dan janggutnya memanjang, dan dibiarkan putih secercah di sebelah kiri, hingga raut mukanya angker. Dalam upacara pemberian Hadiah Nobel malam sebelumnya di Balai Kota Oslo ia mengenakan jas tutup dengan saputangan hijau tersisip di saku, dan berpidato dengan nada membosankan. Kini, di panggung Spektrum itu, ia bisa lucu: ”Kolega saya hanya mengenal saya dengan nama julukan ’Pachi’, tapi sekarang, berkat hadiah Nobel, mereka tahu nama saya ’Pachauri’.”
Ia tampak lebih kharismatik ketimbang Al Gore, dan lebih mampu menggugah hati. Di panggung itu, di antara hiasan dua lengkung besar bak gading raksasa yang terkadang menyala gemerlap oleh ribuan watt tata lampu, Pachauri mengutip Gandhi: ”Yang disediakan bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap orang, tapi tidak untuk memenuhi keserakahan tiap orang.”
Saya tak tahu apakah kata-kata itu bakal punya efek. Konser itu menenggelamkan suara lain, apalagi yang khidmat. Di balai besar itu yang hadir adalah gerak dan lagu Kyle Minogue, Alicia Keys, Earth Wind & Fire, Annie Lennox, Melissa Etheridge (”I need to Wake Up,” dalam film An Inconvenient Truth), dan panggung tampil gembira, gemerlap, gemuruh dengan gitar listrik dan perkusi.
Berapa kilowatt dikerahkan untuk acara yang hendak mengumandangkan semangat hemat energi itu? Saya tak tahu apakah Pachauri bertanya. Di sebelahnya berdiri dua bintang Hollywood yang jadi pembawa acara, Kevin Spacey yang necis dan Uma Thurman yang gilang gemilang dengan gaun panjang kehijauan yang mengkilap.
Pachauri tak tampak terkesima, tapi tak juga merengut. Mengenakan jas warna gelap dengan dasi merah yang tak mencolok, glamor tak menyentuhnya. ”I hate shopping,” kata Pachauri kepada Kevin Spacey. ”Saya hanya membeli apa yang saya butuhkan.”
”Yang saya butuhkan”, bukan ”yang saya hasratkan.” Beda kedua kalimat itu adalah beda antara yang lumrah dan yang serakah. Tapi kian lama garis itu kian kabur. Glamor adalah penyakit menular di panggung dunia—lewat pertunjukan mode, konser besar para bintang pop dan rock, film Hollywood, film Bollywood, iklan, media, dan seluruh hasil industri budaya. Dari sana lahir kebutuhan baru yang sebenarnya bukan kebutuhan, melainkan hasrat untuk tak ketinggalan. Rasa iri adalah daya yang dahsyat. Ialah kekuatan rahasia yang membangun pola konsumsi dari mal ke mal, menggerakkan produksi dan melebarkan distribusi.
Iri, dan bersama itu rakus.
Konon, iri dan rakus terbit dari rasa cemas. Tapi tampaknya ada dinamika lanjut yang menyebabkan seseorang merasa tak hanya butuh satu mobil, tapi 10 mobil Porsche dan Jaguar, atau merasa perlu membeli dan membeli lagi rumah dan tanah, di samping menyimpan uangnya bermiliar-miliar dalam bank untuk mendapatkan hasil lebih banyak. Orang-orang macam itu rasanya tak tergerak oleh rasa iri (mereka sudah ada di puncak) atau oleh rasa cemas akan kelangkaan (mereka sudah berlebih) kecuali kalau mereka sedikit sakit jiwa dan ingin membeli juga masa depan.
Masa depan memang perlu dikuasai. Tapi bukankah rasa cemas di balik keinginan menguasai itu—yang membuat orang menimbun mobil, rumah, uang—justru membuat rasa cemas baru, karena planet ini dengan demikian akan tak habis-habisnya dikuras sampai kering dan kelangkaan akan berkecamuk?
”Yang disediakan bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan tiap orang, tapi tidak untuk memenuhi keserakahan tiap orang,” Pachauri mengutip Gandhi. Tapi yang tak bisa dilupakan ialah bahwa ”keserakahan tiap orang” hanya sebuah hipotesis. Yang sudah terbukti: keserakahan beberapa orang.
Sejarah kita sekarang adalah sejarah yang dibentuk ”superkapitalisme”, untuk meminjam istilah Robert B. Reich dalam bukunya, Supercapitalism: The Transformation of Business, Democracy, and Everyday Life. Dengan ”superkapitalisme”, jurang antara yang kaya dan miskin kian menganga tajam. Di Amerika tahun 2005, 21,2 persen pendapatan nasional tertumpah ke hanya 1 persen pencari nafkah. Di tahun 2005, penghasilan pejabat tertinggi perusahaan Wal-Mart besarnya 900 kali dari upah rata-rata pegawainya. Pendapatan keluarga pemilik perusahaan itu diperkirakan US$ 90 miliar, yang artinya sama dengan jumlah penghasilan 120 juta penduduk Amerika yang miskin.
Tuan bisa katakan, ini memang ketimpangan, tapi ketimpangan tak sama dengan keserakahan. Benar, tapi bukan hanya ketimpangan yang jadi soal. ”Superkapitalisme” yang mengelu-elukan Wal-Mart dan Wall Street itu membuat komunitas manusia rapuh. Seperti ditunjukkan Reich, di bawah ”superkapitalisme”, ”lembaga-lembaga yang dulu menghimpun nilai-nilai warga negara telah merosot.” Kata ”warga negara” jadi masalah; orang telah jadi ”investor” atau ”konsumen” yang mengutamakan laba bagi diri sendiri. Pengertian common good, atau yang baik bagi bersama, telah sirna. Orang tak perlu merasa bersalah jika punya 10 mobil Jaguar di tengah-tengah jutaan manusia yang melarat dan tak punya kerja.
Tapi bumi makin panas, sumber alam makin rudin, planet terancam punah. Si serakah tak perlu merasa diri serakah dan bersalah, tapi masa depan yang ia sangka dapat dibelinya adalah masa yang rongsokan: hutan habis, ikan punah, udara beracun.
Rasanya bukan hanya imbauan untuk hidup sederhana ketika Pachauri mengatakan, ”I hate shopping.” Rasanya ia ingin bebas dari keserakahan karena ia tak hendak masuk legiun bunuh diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo