BOY Bolang akhirnva kembali sesudah enam setengah bulan di AS.
Mengenakan setelan jas hitam bergaris putih, promotor tinju dari
BB Boxing Corporation itu turun di Lapangan Udara Halim
Perdanakusuma. Rambutnya kusut, wajahnya kuyu. Dasinya kedodoran
dan celananya longgar. "Berat saya turun sampai 6 kilo," ucapnya
setelah memeluk Rumpy, istri, dan ketiga anaknya: Vina, Kiva,
Vickv.
Tanpa jaminan kesclamatan dari Pangkopkamtib Sudomo, katanya, ia
tak berani pulang. Pekan ini ia bermaksud menghadap Sudomo.
Februari lalu, Boy bersama Tommy Djorghi darn Uteh Soediro (adik
Elerman Sarens) bertolak ke AS untuk melanjutkan usahanya
mengurus penyelenggaraan perebutan juara dunia kelas welter
ringan. Jago Indonesia Thomas Americo supaya melawan Saoul Mami
(versi WBC), demikian pesan Hermin Sarens Soediro,
partnernya.
Promotor Don King waktu itu meminta bayaran US$ 300 ribu untuk
Mamby ditambah US$ 60 ribu buat dirinya. Ternyata Boy berunding
tanpa rekening bank, sehingga King marah. "Kalian datang ke AS
rupanya hanya buat melawak," kata King.
Boy mengontak Jakarta, namun uang tak kunjung tiba. "Malahan
kami disuruh pulang." Tommy dan Uteh pun pulang. Boy bertahan
di sana, dan mendengar bahwa Komisi Tinju Indonesia telah
mencabut rekomendasinya. Herman Sarens jadi promotor pengganti
BB. Pertarungan Americo melawan Mamby akhirnya dilangsungkan di
Senayan. 29 Agustus. Mamby menang angka, setelah bertarung 15
ronde.
Sementara itu Boy hampir jadi gelandangan. Setelah menginap di
hotel mewah, ia menumpang dl kediaman Imam Koesoebagio, bekas
anggota Tjakrabirawa. Malam hari ia sering keluyuran tak
menentu. Arloji Bulova terpaksa dilego seharga US$ 20. Tiga stel
jas laku US$ 4/stel. "Waktu mau berangkat saya memesannya Rp
350 ribu/stel," katanya.
Untuk menghemat, ia mengganjal perut dengan roti paling murah.
"Untungnya, biar cuma satu dollar, dalamnya pakai daging."
Uang habis, ia pindah menginap di rumah kenalan yang lain,
Robert. "Tiap minggu saya diajak ke gereja dan berdoa,"
kenangnya. Memakai fasilitas kartu social security milik orang
Indonesia yang bekerja di Perwakilan Tetap RI di New York, ia
diterima di restoran Prince Dinner. Tugasnya mencuci piring,
membongkar pasang mesin cucinya. Ia dibayar US$ 175 seminggu
plus tiga kali makan dan penginapan. Tapi ia tak tenang. Setiap
saat ada razia terhadap orang asing.
Kemudian ia menuju Philadelphia, teken kontrak sebagai sparring
partner di sasana Kronk. Wajah yang sering sembab dan tubuh
pegal-pegal cuma dihargai US$ 30 seminggu.
Di Jakarta, penderitaan anak istrinya tak kalah pedih. Ny.
Bolang terpaksa jualan es teller di muka rumah kontrakannya.
Sehari bisa dapat Rp 2.000. Anaknya sering pulang sambil
menangis. Teman di sekolah ada yang meledek dengan ucapan:
"Bapak lu enggk pulang-pulang ke mana? Mafia, sih."
Dan malam hari, datang orang berpakaian seragam tentara, hendak
menangkap Boy. "Mengaku dari Skogar, tapi tak mau memperlihatkan
surat perintahnya," tutur Ny. Bolang.
Panglaksusda Jaya, Norman Sasono tak begitu mempercayai hal ini.
"Orang mengurus tinju kok diancam, itu tidak logis. Kenapa tak
lapor sama saya" katanya seperti dimuat koran Medeka.
Ny. Bolang memang tak menghubungi Norman Sasono. Ia langsung
mendatangi rumah Jenderal M. Yusuf dan mendapat petunjuk supaya
menemui Laksamana Sudomo. Wanita itu tersenyum ketika Sudomo
mengatakan "Yang berhak menangkap Boy cuma saya."
Kabar baik ini segera disampaikan pada suaminya yang lagi
menginap di rumah atlet Irma Engeline di Los Angeles. Noer
Hardono, Konjen RI pun mengontak Boy. Ia memberi sangu US$ 250
ketika bekas promotor tinju itu hendak kembali ke tanah air.
Apa lagi rencananya? "Saya akan tetap jadi promotor," katanya.
Belum kapok, Boy!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini