TEPUK tangan meriah mengiringi Gubernur Sum-Ut E.W.P. Tambunan
melakukan manuhil parhau--pemahatan pertama kayu bangunan
rumah-Ruma olon, bekas kediaman Raja Sisingamangaraja. Upacara
13 Agustus lalu merupakan awal pemugaran istana di bagian barat
Danau Toba itu.
Seluruh kornpleks istana di Desa Bakkara, Kecamatan Muara,
Tapanuli Utara itu diratakan dengan tanah oleh Belanda 12
Agustus, 74 tahun lalu. Pasukan Belanda di bawah Kapten Haver
Droeze menguber Raja Sisingamangaraja XII dengan hujan bom dan
tembakan meriam dari atas bukit yang membentengi istana itu.
Akibatnya? "Tidak ada lagi bekasbekas istana yang tertinggal,"
kata E.K. Siahaan, 48 tahun, Kepala Bidang Permuseuman, Sejarah
dan Kepurbakalaan (PSK) Sum-Ut Medan.
Di kompleks istana berukuran 120 x 120 meter itu, sekarang tidak
tampak tanda-tanda bekas bangunan bersejarah. Rumput dan
batu-batu gunung menutup sebidang tanah yang dianggap bekas
istana Raja Sisingamangaraja. Bahkan ada 8 keluarga masih
menempati sekitar 200 meter persegi sudut bekas istana.
Keluarga dan Yayasan Sisingamangaraja yang berniat memugar lagi
istana itu mendapat kesulitan. Sebab ada ketentuan pemerinuh,
tempat bersejarah bisa dipugar bila bekasnya bisa dibuktikan
sedikitnya 50%.
Karena kelemahan bukti itu, Departemen P & K di Jakarta menolak
usul pemugaran yang disodorkan tahun 1973.
Tonggo-tonggo
Tapi rupanya keluarga Raja Sisingamangaraja dan pejabat bidang
PSK Sum-Ut cukup bersemangat membangun kembali istana di Lumban
raja (tempat raja) di Bakkara itu. Pokoknya istana harus
dibangun kembali. Tidak kurang dari Wapres Adam Malik dimintai
Yayasan Sisingamangaraja untuk turun tangan. Hasilnya,
pemerintah pusat menurunkan anggaran Rp 70 juta pada tahun
anggaran 1981/1982.
Tapi jumlah itu ternyata belum memadai. Sebab,menurut
E.KSiahaan, biaya yang diperlukan Rp 800 juta. Untuk itu, pihak
keluarga yang tergabung dalam Yayasan Sisingamangaraja harus
menanggung sebaian besar biaya.
Anggaran yang disanggupi pemerintah pusat dengan biaya Rp 70
juta tadi hanya untuk 4 bangunan utama dari 16 bangunan dalam
kompleks itu. Yaitu Ruma Bolon, tempat persemayaman raja, Ruma
Persaktian: tempat raja sebelum berkunjung ke daerah, Sopo
Bolon: gudang logistik, dan Sopo Godang: tempat para kepala adat
menunggu sebelum diterima Sisingamangaraja. Sebelum rencana
pemugaran pasti, yang cukup merepotkan ialah mencari lokasi dan
nama bangunan. Letkol (Purn) Manullang ditunjuk yayasan menyusun
disain istana dan bentuk bangunan. Untuk itu ia meminta pendapat
pihak keluarga Raja Pinantu Sinambela, keturunan langsung
Sisingamangaraja XII, dan Ketua Parmalim--aliran kepercayaan
yang diturunkan Sisingamangaraja -- Raja Ungkap Naipospos.
Sementara itu, Bidang PSK Kanwil Departemen P & K Sum-Ut juga
melakukan penelitian dengan menghubungi tokoh-tokoh adat dan
pemuka masyarakat Batak. Kesulitan kedua tim itu mengumpulkan
data terutama karena sudah tidak ada lagi saksi mata yang bisa
ditanyai.
Sebenarnya ada sumber yang bisa diandalkan, yaitu Pustaha
Harajaon, yang tersimpan di Museum Perpustakaan Leiden, Negeri
Belanda. Kisahnya, ketika istana dihancurkan, Pendeta Belanda,
Pilgrams, menyelamatkan buku-buku yang terdiri dari 24 jilid
dari istana itu. Masing-masing buku setebal 5 cm itu berisi
ringkasan sejarah Batak, ditulis dengan tinta Cina di atas
kertas buatan Italia dalarn huruf Batak. Jilid 4-7 yang memuat
kisah raja-raja Sisingamangaraja konon memuat data paling
lengkap untuk pemugaran. "Tapi sampai sekarang belum ada yang
bisa menolong," kata Siahaan karena, "Pemerintah belum
menyediakan dana untuk mengirim tim ke Negeri Belanda."
Akhirnya, panitia bekerja apa adanya.
Sumber data mengenai bagian bangunan, menurut panitia pemugaran,
adalah tonggo-tonggo atau doa yang memuja Sisingamangaraja
sebagai orang sakti dan pantas disembah. Dari tonggotonggo itu
pula tim pengumpul data mengetahui nama basian bangunan.
Misalnya bangunan Bale Pasogit dan Bale Pandak.
Bale pandak didirikan sejajar dengan Bale Parubuman dan Bale
Bius. Bale Pandak tempat sembahyang khusus untuk orang Parmalim.
Sedang Bale Paruhuman tempat pengambilan keputusan adat. Dan
Bale Bius adalah tempat berkumpul raja-raja adat membicarakan
keamanan istana dan penataan adat.
Mimpi
Bangunan lain ialah Onan Bale: 4 bangunan tempat pekerja istana
beristirahat. Ada lagi bangunan dari Sopo dan Pantil, menara
jaga setinggi 7 meter. Tiga bangunan terakhir ini memang tidak
disebut dalam doa. Tapi ketua Parmalim, Raja Ungkap Naipospos,
berani menunjukkan satu per satu lokasi bangunan itu. Dari mana
ia tahu "Saya dapat perintah dari seseorang di dalam mimpi yang
sampai sekarang tidak saya kenal siapa dia," katanya.
Petunjuk mimpi Raja Ungkap dicocokkan Manullang dengan bekas
yang ada di areal itu. Bekas fondasi masingmasing bangunan,
tidak sama tinggi dan luasnya. "Ternyata yang disebut Raja
Ungkap, klop," kata Manullang. Sehingga luas masing-masing
bangunan dirancang menurut ukuran rumah Batak lumrahnya, lebar
5-7 meter dan panjang 912 meter.
Kecuali itu juga dipertimbangkan unsur angka keramat Parmalim 6,
7, dan 14. Hasil mengumpulan data tim Manullang dan PSK Sum-Ut
akhirnya dikawinkan. Semua itulah pegangan pemugaran.
Dalam pelaksanaan pembangunan, kepercayaan Parmalim memegang
peranan besar. Misalnya kayu yang akan dipakai untuk bangunan
Bale Pasogit, tempat tirakat raja, tidak boleh menyentuh tanah.
Sebelum ambruk ditebang, kayu itu ditopang lebih dulu. Menjelang
penebangannya dibacahan doa dan upacara menurut kepercayaan
Parmalim Seikat benang putih dililitkan pada batang kayu sebelum
kampak dihunjamkan memotong pohon.
Setelah roboh, penebangnya makan itak gurgur, semacam lepat,
agar selamat. Sebelum kayu dipasang pada bagian tiang bangunan,
pemuka Parmalim pun membaca doa lebih dulu.
"Ada 14 tingkatan dalam penyusunan pembangunan," kata Manullang.
Masing-masing bangunan diperkirakan akan menelan 20-35 ton kayu.
Seluruh bangunan tidak akan memakai paku. Ini rumah dalam
tradisi rumah Batak.
Ukiran dan hiasan bangunan istana tentu juga akan disesuaikan
dengan bentuk rumah tradisional Batak. Tapi yang bertugas
mengukir hanya boleh orang Parmalim. "Mereka akan bekerja sesuai
dengan ilham yang diterimanya. Jadi, pembuatan hiasan itu tanpa
disain lebih dulu," kata Purba, salah seorang peneliti bekas
istana itu dari PSK Sum-Ut.
Meski demikian, soal pemugaran bangunan istana itu tidak
sepenuhnya mengandalkan doa. "Penemuan arkeolog menunjukkan
istana raja ada di Desa Bakkara," kata S.P. Napitupulu, Kepala
Seksi Bina Program Kanwil Departemen P & K Sum-Ut. Buktinya,
bekas benteng yang kini berupa batu bersusun melingkari desa itu
sepanjang 6 km. Juga masih ada beberapa bekas fondasi. "Jelas
sekali lokasi itu bukan perkampungan orang Batak seperti
sekarang," kata Napitupu.
Rupanya panitia pemugaran sudahsiap menangkis tuduhan
seakan-akan perencanaan pemugaran dilakukan secara serampangan.
"Selain penelitian, juga doa," kata Napitupulu. Bahkan suatu
seminar kecil di Balige, Juni tahun lalu, menerima kebenaran
perpaduan dua unsur itu. "Semua setuju dengan disain itu. Apa
boleh buat," tambah Siahaan. Sehingga soalnya barangkali hanya
tinggal mengumpulkan tambahan dana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini