PENYERANG Perseman (Manokwari) itu, Mathias Woof, bertabrakan dengan pemain PSMS (Medan) dalam suatu perebutan bola. Benturan agak keras yang terjadi pada pertandingan di putaran I Divisi I PSSI Wilayah Barat yang berlangsung dua pckan lalu di stadion Lampineueng, Banda Aceh, itu menyebabkan kedua pemain sama-sama terjungkal. Tapi, hanya Mathias, 23, yang tampak meringis sambil memegang dahinya. Darah mengucur dari kening itu, dan ia kemudian segera ditandu ke luar lapangan. Lukanya cukup lebar dan harus dijahit di rumah sakit. Biaya pengobatan untuk itu biasanya ditanggung oleh panitia pertandingan. Namun, dalam kasus Mathias, panitia tak perlu lagi mengeluarkan ongkos penyembuhan. Berkat adanya kontrak asuransi antara Panitia Pertandingan dan PT Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja, yang ditandatangani sebelum kompetisi dimulai, maka biaya pengobatan Mathias akan ditanggung pihak asuransi. "Sesuai dengan kontrak, batas biaya pengobatan yang akan kami santuni sekitar Rp 1 juta," kata Thamrin Yahya, 34, kepala Cabang PT Asuransi Jasa Raharja Banda Aceh, kepada TEMPO. Dan tak hanya Mathias, atau pemain sepak bola yang ikut kompetisi itu, yang akan disantuni dalam kontrak asuransi yang pertama dalam sejarah sepak bola itu. Tapi pengurus tim yang ikut kompetisi, wasit, semua anggota panitia (yang jumlahnya sekitar 150 orang) dan bahkan penonton, ikut diasuransikan. Untuk itu, panitia harus membayar premi kepada Jasa Raharja. Besarnya Rp 250.000 per hari untuk premi borongan - uangnya dibayar dengan dana Panitia dan Rp 50 per orang yang dibayar oleh setiap pembeli karcis. Premi ini dibayar selama pertandmgan berlangsung. Dengan premi itu, pihak asuransi akan membayar santunan. Sekitar Rp 1 juta jika tertanggung meninggal dunia. Sedangkan kalau cacat tetap, ada perincian jumlah santunannya. Misalnya, kalau tangan kanan cacat, santunannya ditetapkan Rp 1,3 juta atau 65% dari Rp 2 juta nilai santunan cacat tetap. Semua santunan diberikan untuk kecelakaan yang terjadi di lapangan atau stadion selama pertandingan berlangsung. "Mula-mula, sasaran asuransi itu saya pikirkan terutama buat wasit. Tapi, dengan usul pihak lain, untuk keamanan dan ketenangan bersama, asuransi itu kemudian diperluas," kata Dimurthala, ketua panitia turnamen resmi PSSI yang mencetuskan gagasan asuransi itu kepada TEMPO. Di lingkungan sepak bola, tak pelak lagi, Aceh menjadi pelopor asuransi kecelakaan di lapangan olah raga. Di cabang olah raga lain, seperti bulu tangkis, asuransi itu sudah lama dilakukan. "Tapi, memang terbatas untuk pemain atau atlet saja," kata P. Soemarsono, ketua Bidang Organisasi dan Luar Negeri KONI Pusat. Itu pun tak semua pertandingan. "Hanya pertandingan penting, seperti Thomas Cup, Uber Cup, Asian Games, Olimpiade, dan kejuaraan dunia lainnya," katanya. Ia tak merinci keterangannya. Namun, pasti dia berharap asuransi kecelakaan olah raga seperti di Aceh itu bisa dikembangkan di tempat lain. Misalnya, di Ujungpandang, yang jadi tuan rumah Kejuaraan PSSI Wilayah Timur, yang berakhir Selasa dua pekan lalu. Kejuaraan ini sama sekali belum menerapkan asuransi apa pun. Padahal, di pertandingan terakhir, sempat terjadi insiden di antara penonton yang sampai meletuskan senjata api segala. Sejumlah petugas dan penonton cedera dalam insiden tersebut. Toh, Aryanto Andilolo, ketua panitia kejuaraan itu menganggap belum perlu asuransi olah raga. "Tapl, Jika pemam sakit atau luka-luka, biar bagaimana, tetap kami tanggung pengobatannya," kata Andilolo. Dia belum mau berkomentar tentang asuransi lainnya, misalnya untuk penonton. Lain dengan Sersan Dua Sulaiman, 49, anggota Koramil XIV, Banda Aceh. Sersan ini terus terang menyambut gembira adanya asuransi kecelakaan olah raga, karena ia merasa amat terbantu ketika mendapat santunan sewaktu anaknya cedera akibat lemparan batu ketika sedang menonton di stadion Banda Aceh itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini