DI sini, gula bisa terasa pahit, karena sudah tiga tahun ini harganya kelewat tinggi dibandingkan harga di pasaran dunia. Di luar negeri, setiap kg gula diperoleh dengan harga kurang dari Rp 200. Tapi di sini konsumen harus membayar Rp 650. Apa boleh buat, karena harga dan pemasaran komoditi itu sepenuhnya ditentukan Bulog, konsumen tak bisa berbuat banyak. "Bukan gula kita, tapi gula dunialah yang salah," ujar Bustanil Arifin, kepala Bulog, pekan lalu. Gula dunia dianggapnya salah karena harganya terbentuk gara-gara mendapat subsidi cukup besar dari negara-negara eksportir. Anggapan itu benar. Brazil, misalnya, menyubsidi para petani tebu negerinya hingga US$ 300 juta setiap tahun. Di samping itu, kelebihan suplai dibandingkan dengan permintaan juga menyebabkan harga gula dunia jadi jatuh. Tahun lalu, harga gula di pasar London dan Pantai Karibia tercatat hanya Rp 80 per kg (di atas kapal), ketika produksi gula dunia mengalami kelebihan suplai satu juta ton lebih. Tingkat harga itu, menurut catatan, hanya separuh dari harga pada 1983. Tentu saja, jatuhnya harga gula tadi menyebabkan para petani produsen di Filipina, Australia, dan Kuba pada bergelimpangan. Tapi di Indonesia, hal itu tidak terjadi. Petani di sini mendapat perlindungan cukup dari pemerintah melalui sistem pembelian harga gula oleh Koperasi Unit Desa (KUD) sebesar Rp 40 ribu per 100 kg, sejak Mei 1984. Tingginya harga beli KUD itu, yang sebelumnya hanya Rp 35 ribu per 100 kg, dimaksudkan agar petani terangsang menanami lahan mereka dengan tebu. Sebab, tanpa harga beli menarik itu, petani akan cenderung menanami lahan mereka dengan padi, yang mempunyai nilai ekonomi lebih baik. Sesuai dengan ketentuan pemerintah, jumlah gula yang menjadi hak petani adalah 60-65 bagian dari seluruh gula hasil penggilingan tebu - yang ditentukan berdasarkan tingkat rendemen antara 8% dan 10%. Sisanya merupakan hak pabrik gula sebagai upah menggiling. Oleh Bulog, gula bagian petani dan pabrik ini dibeli dengan , harga Rp 40 ribu per 100 kg, atau Rp 400 per kg. Dari Bulog itu, KUD mendapat semacam uang jasa Rp 900 per 100 kg. Tapi untuk pabrik, pembelian gula setinggi itu oleh Bulog, rupanya, belum cukup menguntungkan - mengingat biaya produksi kebanyakan pabrik di sini mencapai Rp 400 per kg. Akibatnya, empat PT Perkebunan Tebu, dalam tahun buku 1984, tercekik kerugian Rp 44 milyar - yang Rp 20,2 milyar di antaranya berasal dari PTP XIV Cirebon. Guna menekan biaya produksi, pihak pengelola minta agar bunga kredit modal kerja untuk pabrik diturunkan, dari 18% jadi 12% saja. Efisiensi pabrik memang perlu dilakukan hingga beban biaya bisa dibikin lebih ramping. Di samping itu, harga tebusan penyalur ke Bulog sebesar Rp 50.477 per 100 kg, yang dianggap menyebabkan naiknya harga pokok penjualan gula, perlu pula ditinjau. Tingginya harga tebusan itu, tentu, tak akan terbentuk, jika ke dalam harga itu tidak lagi dimasukkan 13 macam komponen biaya. Di antara komponen biaya, yang pada akhirnya harus dibayar konsumen itu, adalah jasa KUD Rp 900, penelitian dan pengembangan Rp 200, cukai gula Rp 4.000, provenue karung Rp 1.000, dan pajak penjualan karung 12,5%, yang dipungut untuk setiap penjualan 100 kg gula. Sudah sejak 1983, sesungguhnya, Menteri Pertanian Achmad Affandi minta agar cukai gula itu diturunkan, atau dihapuskan sama sekali. Menteri tidak setuju jika cukai gula digolongkan dengan cukai tembakau maupun kopi. Tapi jalan ke sana, rupanya, tidak mudah. Bahkan, hingga kini, Bulog masih perlu menetapkan harga gula di tingkat penyalur sampai Rp 625 per kg dan sampai ke konsumen Rp 650. Mungkin karena mahal, konsumen kemudian mengurangi pembelian mereka. Secara pukul rata konsumsi gula setiap bulan, tahun lalu, jarang mencapai 150 ribu ton. "Konsumsi gula memang agak lesu," ujar Sukriya Atmaja, wakil kepala Bulog. Lesunya permintaan itu diduga akanmengakibatkan penyaluran gula 1984-1985 hanya mencapai 1,7 juta ton - di bawah sasaran yang 1,8 juta ton. Pada tahap sekarang saja, kelesuan itu telah menyebabkan stok gula di gudang pabrik gula berlimpah ruah, hingga di beberapa tempat komodlti tadi sempat rusak karena terlalu lama disimpan. Sementara itu, musim giling 1985, bulan April-Mei, sudah dekat. Untuk menyongsong pengadaan 1985-1986 itu, Bulog akan mengadakan stok awal (April) sekitar 550 ton. "Ini untuk menunggu gula yang baru digiling, hingga tak ada kekosongan," ujar Sukriya. Dalam keadaan seperti itu, gula Bulog kini mendapat saingan dari siklamat, yang mempunyai tingkat kemanisan 50 kali gula tebu. Menurut Kisdarto, kepala Bagian Umum Dewan Gula Indonesia, sekitar tiga tahun terakhir ini jumlah siklamat yang beredar di sini mencapai lima ton setiap tahunnya. Bahan substitusi yang tak mengandung kalori dan konon bisa menimbulkan kanker - ini digunakan, antara lain, untuk membikin es mambo dan kue-kue. Kisdarto menduga bahwa kenaikan konsumsi siklamat ini menjadi salah satu sebab mengapa konsumsi gula menurun. Tapi, jika gula bisa murah, siklamat pasti bakal tersingkir, 'kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini