Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengketa silsilah misnah

Harta peninggalan Hajjah Misnah penduduk Desa Harjosari Medan, diperebuntukan anak tirinya. Pengadilan agama dan pengadilan negeri Medan masing-masing mengeluarkan penetapan. oknum lkmd ikut campur. (hk)

2 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI pesan sponsor: "Sebelum mati, beranaklah dulu!" - supaya agak tenang di dalam kubur. Contohnya, Hajjah Misnah, 50. Almarhumah tak punya ahli waris. Kini hartanya diperebutkan. Ceritanya, begini. Hajjah Misnah, istri kedua Haji Tobo Latif, 67, menikah pada 1964. Tapi tak punya anak. Dari istri pertama, Hajjah Halimah, 60, Tobo beroleh dua anak: Fatimah, kini 44, dan Zainuddin, 42. Sebelum jadi istri kedua Tobo, Misnah pada 1963 bercerai dengan Saleh -perkawinan mereka tak membuahkan anak. Misnah yang tinggal di Desa Harjosari, Medan, meninggal 27 Agustus 1984. Keluarga madunya, Halimah, datang dari Lubukpakam, 40 km dari Medan, melayat. Esoknya, 28 Agustus, rumah Misnah disegel kepala lingkungan setempat. Alasannya: rumah dan tanah seluas sekitar 500 m2 bernilai Rp 10 juta itu tak ada ahli warisnya. Lain lagi dengan sejumlah perhiasan emas dan berlian. Karena Fatmah menolak menerimanya, waktu itu, sampai sekarang benda berharga yang belum dinilai itu disimpan seorang penduduk. Pada 31 Agustus 1984, Fauzi Lintang, kepala lingkungan di kampung itu, memohon diselesaikan harta Misnah itu ke Kantor Urusan Agama (KUA) Medan Johor. Fauzi melampirkan ranji silsilah Misnah. Setelah Fatmah berikut tiga saksi dipanggil ke KUA, keluarlah surat pengesahan silsilah ahli waris, yang memberi angin untuk Fatmah dan Zainuddin. Surat pengesahan tadi dikeluarkan pada 22 September 1984, dan ditandatangani kepala KUA Medan Johor, Drs. Ali Usman Harahap. Wah, kok begini? Merasa faktanya tak cocok dengan kenyataan, lalu ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) setempat pada 25 September 1984 memohon kepada Lembaga Harta Agama Islam (LHAI) Medan mempersoalkan harta Misnah. Pada 6 Oktober 1984 LHAI memberi kuasa kepada Burhanuddin Lintang dan Ali Imran, ketua dan sekretaris LKMD di sana, untuk mengurus penentuan ahli waris Almarhumah yang tak punya sanak saudara itu. "Menurut hukum Islam, anak tiri dan anak angkat bukan ahli waris yang sah," kata Drs. A. Rif'at Yusuf. Hakim di Pengadilan Agama Medan itu pada 12 Oktober 1984 menetapkan bahwa Misnah tak punya ahli waris. Misnah memang mempunyai anak angkat dua orang - sudah dewasa - tetapi entah di mana mereka sekarang. Berdasarkan penetapan pengadilan agama itu, seharusnya sejak 22 November lalu harta. Misnah sudah diserahkan untuk baitulmal. Tetapi karena harta itu sudah dikuasai Fatmah dan Zainuddin, keputusan ini tidak berjalan. Malahan, pada 15 Desember lalu, mereka mendapat surat penetapan Hakim Nyonya E.N. Sinaga dari Pengadilan Negeri Medan, yang menyebutkan: Fatmah dan Zainuddin sebagai ahli waris yang sah dari perkawinan Tobo dengan Misnah. Gara-gara itu, lalu lurah T Tarjosari mengadu ke polisi. Rumah itu kembali disegel polisi Medan Johor, hingga kasus harta itu selesai. Pada 8 Januari lalu, Burhanuddin, 50, mengirim surat protes ke Mahkamah Agung karena ada penetapan dari Nyonya Sinaga. "Karena ada dua penetapan, sekarang, yang mana yang berlaku. Kenapa hakim pengadilan negeri turut campur - padahal sudah ada ketetapan dari pengadilan agama?" tanya ketua LKMD itu. "Yang berhak menentukan siapa ahli waris adalah pengadilan agama, karena berpedoman pada hukum Islam. Tetapi kalau untuk menentukan status harta, itu adalah urusan pengadilan negeri," kata Rif'at. Tetapi, menurut boru Sinaga, ketetapannya itu tak bertentangan. "Kan Misnah tak ada ahli waris dan familinya yang masih hidup. Ya, Fatimah dan Zainuddin sebagai ahli warisnya yang sah," katanya. Nyonya Sinaga melihat ada bukti dan saksi-saksi. "Surat dan silsilah yang sudah disahkan KUA Medan Johor juga pegangan saya. Tapl saya tak tahu kalau ada keputusan pengadilan agama itu." Biarpun begitu, kata hakim ini, jika ada pihak yang dirugikan mereka boleh mengajukan verset atau perlawanan. Surat kepala KUA, Ali Usman Harahap, 29 September lalu kepada ketua Pengadilan Agama Medan sudah memberi aba-aba. Pengesahan silsilah itu bukan sebagai pedoman menyelesaikan pembagian harta Misnah. "Itu bukanlah wewenang kami," kata Pak Ali. Sebenarnya, penetapan Nyonya Sinaga itu bisa dipersoalkan. "Ajukan saja kepada ketua pengadilan negeri," kata Hakim Ismail Sebayang. "Itu baru bersifat permohonan penetapan ahli waris, bukan soal gugatan perdata. Kalau sampai terjadi dua pihak, barulah timbul keputusan. Bukan lagi penetapan," tambah Ismail. Rencananya, Jumat ini, LHAI akan berapat lagi menyelesaikan kasus harta Misnah. "Ini masalah kecil. Kenapa ribut-ribut sampai ke Mahkamah Agung?" tanya Tsmail Sebayang. Iya, kenapa, ya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus