Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Imbauan dan ancaman salamun

Para usahawan yang diminta inspeksi pajak untuk menjadi pengusaha kena pajak (pkp) ternyata banyak yang mengulur-ulur waktu. Terkecuali para kontraktor. Mereka akan dikenakan sanksi pidana jika terlambat.(eb)

2 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMINTA usahawan jadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) rupanya tidak mudah. Buktinya, Inspeksi Pajak (IP) Bandung Timur, sampai pekan lalu, baru menerima 428 (30%) formulir pengembalian dari 1.451 wajib pajak terdaftar di sana. Padahal, mereka sudah diminta agar secepatnya minta pengukuhan sebagai PKP, mengingat batas waktu 31 Maret sudah dekat. "Mengulur-ulur waktu tampaknya sudah membudaya di masyarakat kita," ujar Eddi Garnadi, kepala IP Bandung Timur. Dirjen Pajak Salamun A.T. juga mendengar laporan serupa itu dari Medan ketika, pekan lalu, berkunjung ke sana. Agak di luar dugaan, usaha mengumpulkan PKP berjalan lamban. Sebagai PKP, mereka inilah yang nantinya akan bertindak sebagai mata rantai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang dan jasa kena pajak, mulal 1 April nanti. Lewat jasa mereka ini, usaha mengutip PPN RAPBN 1985-1986 sebesar Rp 1.135 milyar (di luar PPN BBM), diharapkan akan masuk. Karena itu, masuk akal bila Dirjen Salamun menyatakan rasa prihatinnya, dan tak jemu-jemunya mengutip ancaman pidana dari undang-undang pajak. Kata Salamun, para pengusaha yang seharusnya sudah jadi PKP mungkin banyak yang lupa, keterlambatan yang disenaja atau tidak disengaja bisa dikenai sanksi pidana. "Mereka yang sengaja tak minta pengukuhan, jika tertangkap basah, bisa kena pidana tiga tahun penjara. Sedangkan yang tak sengaja bisa kena setahun," ujar Salamun. Ancaman itu, tampaknya, baru bergema di kalangan pengusaha penghasil barang dan jasa kena pajak. Para kontraktor, terutama, berusaha keras minta pengukuhan sebagai PKP, mengingat hal itu dikaitkan secara langsung dengan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sebab, kalau tidak punya NPWP, mereka tidak akan bisa mengikuti babak prakualifikasi.Jadi, jika tak punya NPWP, kontraktor jangan harap bisa memasuki babak berikutnya: mengikuti tender sebuah proyek. Karena alasan itulah, pengusaha seperti Maman Rachman H. Wangsaatmadja, yang memimpin perusahaan konstruksi PT Pasir Pogor di Bandung, buru-buru minta dikukuhkan sebagai PKP. "Untuk mengurus ini saya datang sendiri. Sebab, di sini saya yang butuh. Jadi, saya yang datang," katanya. Tapi persoalan rupanya belum selesai. Kini dia merasa bingung dalam mengajukan rencana anggaran biaya (RAB) untuk suatu proyek yang diperoleh sekarang: Apakah pajaknya masih 2,5% atau sudah harus dicantumkan 10% - sesuai dengan tarif PPN. Di tengah keraguan itu, dia akhirnya memutuskan membuat dasar pengenaan pajak sebesar 2,5% - sesuai dengan tarif Pajak Penjualan (PPn) kini. Tapi ada juga pengusaha yang, karena tak terikat dengan ketentuan pemerintah semacam kontraktor, santai-santai saja. Joko Wijaya, penghasil obat nyamuk di Medan, misalnya, lebih suka menunggu. Pabrik dengan karyawan 60 orang itu omset penjualannya Rp 80 juta setahun. Secara terus terang dia menyebut bahwa omset itu tidaklah mencerminkan posisi keuangan perusahaan sesungguhnya. Secara berangsur, menurut Dirjen Pajak Salamun, pengusaha yang membuat laporan keuangan palsu kelak bisa terjaring. Seorang penghasil tempe, misalnya, omsetnya akan bisa ditaksir dengan melihat berapa jumlah bahan baku kedelai yang dibelinya, dan berapa jumlah tempe yang bisa dihasilkannya setiap tahun. "Pokoknya, ada beberapa titik strategis yang bisa dipakai untuk menaksir omset seorang pengusaha," katanya. Karena itu, para pengusaha yang berupaya agar bisa dianggap sebagai pengusaha kecil tak kena pajak - dengan berusaha memperkecil omset di bawah Rp 60 juta atau memperlemah modal di bawah Rp 10 juta - perlu hati-hati membikin neraca. CV Sepatu Jaya di Medan, yang melaporkan omset penjualan sepatunya selama setahun hanya Rp 30 juta, boleh jadi, harus segera menarik kembali laporan keuangannya itu. Surya Dharma, pemilik perusahaan yang belum jadi PKP itu, mengaku takut terkena Pajak Penghasilan (PPh) besar, jika melaporkan keadaan keuangan sesungguhnya. Menurut Salamun, seseorang yang digolongkan pengusaha kecil sekalipun diharuskan melaporkan usahanya ke IP. Mereka memang tidak akan jadi pemungut PPN, tapi sebagai wajib pajak jenis lain, yaitu PPh, mereka tetap harus membayar kewajiban itu. "Data mereka juga diperlukan, untuk sewaktu-waktu dilakukan pengecekan," katanya. Penusaha kecil semacam ini, karena bukan PKP, tidaki diperkenankan mengeluarkan faktur pajak atas penyerahan barang dan jasa kena pajak. Kesulitan tampaknya tidak saja dihadapi oleh pihak pajak. Pihak pabrikan atau penyalur utama barang dan jasa kena pajak, hari-hari ini, sedang bergelut dengan sejumlah agen mereka. Agen berusaha menekan pabrikan atau penyalur tunggal, agar di dalam penyerahan barang dan jasa kena pajak NPWP mereka tidak disebut - atau kalau bisa tanpa faktur pajak sama sekali. Jenis agen seperti ini biasanya akan cenderung melaporkan omset usaha mereka setiap tahun rata-rata di bawah Rp 60 juta. Kalau posisi agen cukup kuat, bukan mustahil, pihak pabrikan akan mengalah. Apalagi jika agen bersangkutan juga menjual pelbagai barang dari pabrikan lainnya. Dalam keadaan seperti itu, pihak pabrikan sebagai PKP, boleh jadi, bakal menanggung semua pajak masukan. Kesulitan tampaknya akan muncul, karena pengeluaran untuk PPN itu tidak bisa dianggap sebagai biaya tapi hanya sebagai "sesuatu" yang mengurangi laba bersih setelah kena pajak. Nah, jika sudah begini, yang sakit perut jelas pihak penghasil barang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus