Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bendera hitam terjun payung

Pesawat terbang yang membawa para penerjun andalan jatuh di lapangan rumpin, serpong. tiga bersaudara mandagi: robbie, alfred, dan christian, tewas. kisah sukses prestasi robbie. (or)

24 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA terjun payung Indonesia sedang berduka. Sepuluh penerjun tewas dalam suatu kecelakaan pesawat terbang, di lapangan Rumpin, Serpong, Minggu siang lalu. Suasana duka makin mengharu biru, ketika, esoknya satu per satu, jenazah dilepas keluarga ke peristirahatan terakhir mereka - sebagian di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Tapi tiga bersaudara Mandagi, baru tiga hari kemudian dimakamkan. Mereka adalah Robbie, 40, Alfred, 33, dan Christian, 26, penerjun andalan Indonesia, yang terpaksa terlambat dikuburkan karena menunggu kedatangan adik para almarhum, Wilma dan suaminya dari Hawaii. Di tempat persemayaman sementara jenazah, di rumah mertua Robbie, suasana duka kentara sekali masih membalut seisi rumah. Yang tampak paling terpukul adalah istri para penerjun itu. Nyonya Yasmin, 33, istri Robbie, misalnya, hampir tak beranjak dari depan peti jenazah suaminya. Dengan muka kuyu Yasmin menerima ucapan duka dari para pelayat, di antaranya Menpora Abdul Gafur, tokoh-tokoh FASI, dan teman-temannya. Sesekali, Yasmin, ibu dua anak angkat ini, yang dinikahi Robbie enam tahun lalu, menyapukan tisu ke wajah suaminya. "Aduh, Rob, kamu cakep. Kok pergi . . .," ujarnya lirih. Tentu tak hanya Yasmin dan keluarga Mandagi yang merintih, tapi juga dunia terjun payung Indonesia. Bagi dunia terjun payung nasional ini malah musibah yang tak hanya paling buruk dalam sejarah, tapi juga paling merugikan. Bisa dikatakan begitu sebab tiga bersaudara Mandagi yang tewas adalah juara tak terkalahkan dalam lomba kerja sama di udara untuk tingkat nasional - paling tidak sejak PON XI lalu. Terakhir, mereka, bersama Indra Rijadi Sulamet, 35, seorang anggota klub 1-6-5, sudah berencana - tanpa bantuan fasilitas FASI - ikut Kejuaraan Dunia Terjun Payung untuk nomor kerja sama di udara di Australia, September mendatang. Antara lain, dalam rangka itulah mereka berlatih di lapangan milik Lapan di Serpong itu. Sebab-musabab kecelakaan itu masih diperdebatkan. Sebab, ada beberapa dugaan, misalnya menyorot kelaikan pesawat itu mengangkut penerjun. Dan ada pula yang mempersoalkan pencomotan kursi, pintu, dan tidak adanya tali pengikat di pesawat itu. Di samping ada pula dugaan kesalahan terletak pada pilot yang agak panik ketika menghadapi saat-saat kritis tatkala pesawat akan lepas landas. "Semua memang tak bisa dipastikan karena memang tak ada peralatan elektronik seperti kotak hitam pencatat semua kegiatan di pesawat. Yang bisa diselidiki adalah kemungkinan terjadinya penyimpangan," kata Kolonel Sukari. Usaha penyelidikan memang masih harus ditunggu hasilnya. Toh korban sudah jatuh. Pilot Sumbogo Mayor (Pol.) Badiu Nikka, Kepala Pusat Pengendalian Operasional Polres Jakarta Barat Martina Frederika Yudhika Rorimpandey, putri H.G. Rorimpandey, pemimpin umum koran Sinar Harapan Rudy Yulius Achso, anggota 1-6-5 Skip Robert J. Dew, karyawan subkontraktor Pertamina Mike Newton, karya wan PT Kujang Perkasa James Palmer, tenaga ahli perminyakan Marfey Johnson. Semua penggemar terjun teman-teman ketiga keluarga Mandagi. "Kita benar-benar kehilangan penerjun-penerjun terbaik," kata Menpora Abdul Gafur dengan wajah murung. Yang dimaksud Gafur tentulah tiga bersaudara yang tewas, putra Teofilus Petrus Mandagi, 67, seorang pengusaha ternak yang bermukim di Lembang, Jawa Barat. Keluarga ini memang selama 10 tahun terakhir ini dikenal sebagai keluarga penerjun payung. Tapi bukan semata-mata karena kemauan sang ayah, bekas karyawan minyak yang sampai 1968 tinggal di Sungeigerong, Sumatera Selatan. Itu lebih karena pengaruh Robbie. Memang Robbie, yang berbadan kekar dan berkumis, itulah sebenarnya perintis semua ini. Ia mulai berlatih terjun payung pada seorang polisi ketika usia 25 tahun. Sejak itu, lelaki yang ramah ini langsung tergila-gila pada parasut. Dengan penuh semangat, Robbie, kelahiran Bandung, menekuni cabang baru ini. Ia malah sampai menelantarkan kuliahnya di Jurusan Seni Rupa ITB, gara-gara terjun payung. Ia baru bisa menyelesaikan studinya di studio arsitektur interior dalam waktu 13 tahun. Tapi petualangan selama itu buat karier terjun Robbie sungguh berarti. Sebelum meninggal dunia, Robbie satu-satunya penerjun nasional yang mampu merebut Gold Free All - medali kehormatan yang dianugerahkan USPA (Asosiasi Parasut Amerika) kepada penerjun yang sudah mencapai jumlah total melayang di udara dengan pelbagai kecakapan, misalnya menggendong kawan (tandem) selama 12 jam. Pertama kali tampil sebagai juara yunior Pesta Sukan Singapura, 1971, penerjun yang di kalangan teman-temannya dijuluki si Burung Layang-Layang ini tercatat sedikitnya sudah mengikuti 31 kejuaraan dengan hasil 44 gelar di pelbagai nomor. Beberapa di antaranya adalah prestasi bersama penerjun internasional. Antara lain ketika ia sukses menjadi orang ke-99, untuk memecahkan rekor kerja sama di udara untuk tim 100 orang di sebuah kejuaraan di Sandwich, Illinois, AS, pada 1985. Selama sekitar 16 tahun meraungi dunia terjun payung ini Robbie tercatat telah terjun 1.916 kali. Dan, Robbie, yang dulu tak disetujui ayahnya bergayut-gayut di udara itu, akhirnya bisa mencairkan ketidaksenangan tersebut. Malah belakangan mengubahnya dengan drastis ketika jejaknya ternyata diikuti oleh adik-adiknya: Alfred, Theo, dan Christian. Bahkan adik terkecilnya, Wilma, juga sempat ikut mencoba kegiatan yang digandrungi kakak-kakaknya itu. Belakangan ini Alfred malah tampak menonjol prestasinya ketika berhasil menjuarai 42 nomor dari 24 kejuaraan yang diikutinya. Sama-sama memiliki sertifikat mampu memperbaiki dan memodifikasikan peralatan terjun payung dengan Robbie, Alfred termasuk otak yang ikut menghidupkan klub 1-6-5 (lihat Cara Robbie Menghidupkan 1-6-5). Di bawah Alfred, ayah dua anak, Christian baru mulai menyusul dengan jumlah penerjunan sebanyak 300 kali. Ketiga kakak beradik ini sama-sama beristri penerjun. Tapi yang hingga hari sebelum mereka menghadap Tuhan masih aktif adalah Yasmin. Mulai ikut terjun pada 1977, putri Ibu Kar, pengasuh rubrik dari Hati ke Hati majalah Femina, ini sudah terjun 800 kali. Sebagian besar bersama almarhum suaminya, yang dulu mengajarinya terjun payung, dan pekan lalu disaksikannya tewas bersama rekan-rekannya di pesawat Piper Navajo. Marah Sakti Laporan Toriq Hadad & Biro Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus