MANUSIA manakah yang telah kerasukan iblis ini ? Tiga sosok mayat, Kamis pekan lalu, tergantung di salah satu rumah di kompleks Dumai Indah, Madiun. Sosok pertama, menggelantung di ambang pintu kamar, Nyonya Rully Astuti, 26. Di sisinya, putri sulungnya, Dian Rosa Dewi, 4. Sedangkan putri satunya, Oky Trimajaya, 2 1/2, terayun-ayun di kamar mandi. Leher ketiganya terikat tali plastik. Soewarno, yang siang itu baru pulang bekerja, melihat pemandangan di rumahnya itu kontan menjerit sejadi-jadinya. Tubuhnya bergetar dan ia ambruk, pingsan. Orang-orang berdatangan, dan polisi dikontak. Ya, siapa tak akan terguncang ketika tiba-tiba menyaksikan istri dan kedua anaknya bergelantungan menjadi mayat. Gantung diri? Sepintas kelihatannya memang begitu. Syukur, polisi tak begitu mudah dikibuli. Cincin, gelang, dan kalung milik Nyonya Astuti ternyata hilang. Juga anting-anting kedua bocah. Uang Rp 60 ribu, sebuah arloji, dan kalkulator. Esok siangnya, setelah penguburan jenazah, polisi memperoleh informasi. Segera, yang dicurigai dilacak. Ternyata, kedua tersangka pembunuh lari ke Yogyakarta. Petunjuk penting ini diperoleh dari Yuni, istri tersangka, yang memang dipesan suaminya agar segera menyusul ke Yogyakarta. Malam itu juga, Jumat pekan lalu, polisi Madiun melakukan pengejaran dibantu polisi Yogya. Tanpa kesulitan kedua tersangka dibekuk di Hotel Holiday. Slamet Suhardi dan Sugiyono, keduanya berusia 22, menurut Kapolresta Madiun Letkol Miadji, ditangkap tanpa melakukan perlawanan. Selain mereka, seorang tersangka lain, yaitu ibu tiri Soewarno, ikut ditahan. Ia, yang tentunya tinggal di rumah bapak Soewarno, diduga menjadi penggerak pembunuhan. Kedua tersangka, menurut Letkol Miadji mengaku membunuh korban antara pukul 09.00. Mereka menyelinap masuk rumah korban, tanpa kesulitan. Suasana kompleks itu masih tergolong sepi dan belum banyak tetangga. Apalagi Slamet, meski baru 6 bulan tinggal di Madiun, tinggal tak jauh dari situ, dan kebetulan masih ada hubungan famili dengan Soewarno. Dan Slametlah - yang baru sebulan kawin - yang membuat pagar rumah Soewarno. Pria berpembawaan kalem, berperawakan kecil, dan berwajah ganteng asal Banyuwangi itu memang seorang tukang batu. Begitu masuk rumah, Nyonya Astuti yang sedang membersihkan kuku langsung disergapnya. Wanita muda berparas cantik yang aktif dalam perkumpulan senam itu dicekik. Dengan tali jemuran, lehernya kemudian diikat. Kedua putrinya yang menangis segera dibereskan Sugiyono dengan cara yang sama. Bujangan tamatan SMA yang belum lama datang dari Banyuwangi itu - konon Slamet sengaja memanggilnya - mengaku sempat memperkosa korban, Astuti, sebelum kemudian digantung. Usai membunuh, kedua tersangka sempat ikut membantu mengurusi jenazah. Bahkan esoknya, pagi-pagi, ikut mengantar jenazah ke kubur. Barulah pada siang harinya, keduanya kabur ke Yogyakarta. Bila keterangan kedua mereka kepada polisi sejauh ini bisa dipegang, pembunuhan ini tampaknya bukan sekadar perampokan biasa. Tersangka ketiga, Nyoqa Suwarni, ibu tiri Soewarno, menurut mereka, yang mendalangi pembunuhan ini. Sebuah sumber menyatakan, Suwarni, 54, tak begitu suka anak tirinya mengawini Astuti, pada 1981 lalu. Ceritanya agak panjang kembali ke belakang. Sebelum menikahi Astuti, Soewarno ternyata telah menikah dengan seseorang bernama Tuti Nurwiyani, kini 34, anak seorang pedagang dari Caruban, Madiun, pada tahun 1979. Ketika itu Soewarno masih menjadi mahasiswa Fakultas Farmasi Unair Surabaya. Ia, kabarnya, dibiayai oleh orangtua Nur. Di Surabaya Soewarno berkenalan dengan Astuti, karyawati sebuah perusahaan, dan langsung keduanya lengket, lalu menikah diam-diam Ini membuat istri pertamanya minta cerai, dan terlaksana dua tahun kemudian. "Sejak perceraian itu, saya sudah melupakan semua masa lalu saya," tutur Nurwiyani kepada TEMPO . Sementara itu, ibu tiri Soewarno, rupanya tetap menaruh dendam. Kebetulan, Slamet berutang Rp 300 ribu kepadanya untuk biaya menikah tempo hari. Tukang batu ini kabarnya terbujuk menghabisi Astuti, sebab dijanjikan sisa utangnya yang masih sekitar Rp 200-an ribu akan dianggap lunas. Entah mengapa Slamet merasa perlu menghubungi Sugiyono, yang masih ada hubungan famili dengannya. Yang terakhir ini berangkat ke Madiun, menurut polisi, karena dijanjikan akan diberi pekerjaan. Astuti dikenal jarang bergaul, dan hanya dengan orang-orang tertentu saja ia biasa beramah tamah. Namun, kehidupan rumah tangganya, kata para tetangga, akur saja Soewarno kelihatan begitu mencintai istrinya yang gemar bersolek itu. Hingga awal pekan ini polisi belum bisa menyimpulkan apakah ibu tiri Soewarno terlibat. Dia masih terus diperiksa, dan "selalu menyangkal didakwa telah menyuruh membunuh korban," tutur Kapolwil Madiun, Kolonel Harry Soedaryanto. Dilihat dari penampilan tersangka pembunuh, rasanya sulit dipercaya mereka mampu melakukan tindakan keji itu. Slamet dan Sugiyono, kata Harry, sopan dan lemah lembut. Tapi, di dunia yang bundar ini segala sesuatu bisa terjadi tanpa terduga-duga. Soewarno, apoteker di Apotek Madico Madiun, tampak terpukul sekali. Lelaki berkaca mata dan bertubuh kecil ini menolak memberikan komentar. Begitu pula keluarganya yang lain. "Kami masih berkabung," ujar salah seorang kerabat Soewarno saat dihubungi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini