Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berebut Gelar Perdana

Dirk Nowitzki dan Shaquille O’Neal menjadi penentu sukses Heat dan Mavericks.

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenangan buruk itu masih membayangi- Pat Riley. Dalam se-si latihan- awal pekan lalu, pelatih klub basket Miami- Heat ini ber-ulang kali mengingatkan- ke-kalahan telak yang dialami- timnya dari Dallas Mavericks. Heat, yang pada 9 Februari- la-lu bertandang ke kandang Mavericks, dipermalukan 76-112 pada putaran kedua musim re-gu-ler-.

Selisih 36 poin merupakan kekalahan terburuk Heat sepanjang musim 2005–2006. Kini, Heat kembali harus berhadapan dengan Mavericks untuk menjadi tim terbaik di liga basket Amerika Serikat (NBA) yang dimulai Jumat pekan lalu.

Pelatih gaek yang empat kali membawa Los Angeles Lakers juara NBA pada era 1980-an itu tak mau kekalahan memalukan itu terulang. Kekalahan di partai perdana menjadi beban bagi para pemain. Sulit untuk membalikkan keadaan. Apalagi, Mavericks beruntung karena dari tujuh partai final (jika seluruhnya dimainkan), empat di antaranya berlangsung di kandang mereka.

Saat memberi pengarahan pada akhir- sesi latihan, ia mengingatkan bahwa se-mua pemain harus menjaga ekstraketat- Dirk Nowitzki, pendulang angka an-dalan Mavericks. ”Ia pemain yang luar bia-sa, dia bisa menembak dengan jitu -da-lam posisi apa pun,” kata Riley. Ketika mengalahkan Heat, Februari lalu, meski dijaga ketat, Nowitzki masih bisa mencetak angka tertinggi, 27 poin.

Perintah Riley dijalan-kan- oleh Shaquille O’Neal dan kawanka-wan. No-wit-zki yang sela-lu me-mimpin per-olehan ang-ka hanya membukukan 16 poin di laga perda-na Ju-mat pekan lalu. Ta-pi, pen-jagaan ketat terha-dap No-witzki membuka ru-ang tembak bagi empat pe-main Mave-ricks lain-nya. Jason Terry pun tam-pil sebagai pencetak poin terbanyak (32), dan membawa tuan rumah unggul 90-80. Mavericks memimpin 1-0.

Berbeda dengan seri-seri final- yang berlangsung sejak 1971, kedua tim yang berlaga ba-ru per-tama kali ini tampil di partai- perebutan juara atau World Championship Series. Pres-ta-si terbaik Maverick sebelum-ny-a hanya mencapai semi-final wi-layah pada musim lalu. Se-dang-kan Heat terantuk di final wilayah pada musim yang sama.

Meski keduanya muka baru di final, para pengamat sepakat baik Mavericks maupun Heat layak menjadi juara. Sebelum meraih tiket ke final, Mavericks mengandaskan juara bertahan San Antonio Spurs 4-3. Sedangkan Heat menghantam tim terbaik di musim reguler-, sekaligus favorit juara, Detroit Pistons 4-2. ”Mereka pantas tampil di final karena sama-sama mengalahkan tim terbaik,” kata pelatih Spurs, Gregg Popovich.

Sejak berdiri pada 1980, Mave-ricks cuma dianggap tim anak bawang di NBA. Titik kebangkitan Mavericks dimulai ketika Avery Johnson menggantikan Don Nelson sebagai pelatih, di penghujung musim reguler- 2004–2005. Ketika itu, Johnson yang lebih fokus memperbaiki lini pertahanan Mavericks berhasil membawa timnya ke semifinal wilayah.

Di putaran pertama babak playoff, Mavericks menyapu kemenangan 4-0 atas tim lemah Memphis Grizzlies. Pertandingan sesungguhnya baru terjadi ketika Nowitzki cs menghadapi San Antonio Spurs. Setelah kedudukan 3-3 pada partai ke tujuh, Mavericks unggul 119-111 melalui perpanjangan waktu. Di pertan-dingan itu, Nowitzki mencetak poin tertinggi (37).

Pemain asal Jerman itu kembali menjadi ilham tim ketika mencetak 50 poin saat merebut partai kelima melawan Phoenix Suns di final wilayah. Pada pertandingan keenam di kandang Suns, Mavericks kembali unggul, dan memastikan langkah ke final.

Selain pertahanan yang solid dan kepemimpinan Nowitzki, kunci sukses- Mavericks adalah kemampuan para pemain cadangan mengimbangi para starter. Pemain cadangan seperti Jerry Stackhouse dan Keith Van Horn mampu mencetak lebih dari 10 poin.

Rotasi pemain yang tak jauh berbeda- kualitasnya terasa bermanfaat ketika Mavericks mengubur Spurs, yang bergantung pada duet Tim Duncan dan Manu Ginobili. ”Kami punya pemain pengganti yang tak kalah baik,” kata Johnson, bekas pemain Spurs yang merebut gelar juara pada musim 1999.

Di kubu Heat, pelatih Pat Riley juga me-mainkan peran-an penting hingga membawa tim berlogo bola api ini ke seri final. Riley, yang mela-tih Heat pa-da periode 1995–2003, kem-bali ke sisi lapang-an setelah Stan Van -Gundy mun-dur, per-te-ngahan De-sember 2005. Ke-tika itu Heat me-mulai kompe-tisi terseok-seok de-ngan rekor menang-kalah 11-10-.

Pada tiga penampilan perdananya, Riley memberikan kemenangan bagi Heat, sebelum dikalahkan Cleveland Cavalier. Toh, tangan dingin Riley dianggap tidak cukup membawa- Heat menuju final. Meski menuai banyak kemenangan, Heat selalu kandas saat menghadapi tim-tim kuat macam Phoenix Suns, Detroit Pistons, dan San Antonio Spurs.

Hingga memasuki babak playoff, dengan rekor menang kalah 52-30, Heat masih dipandang sebelah mata. Di putaran pertama, Heat harus melalui tujuh pertandingan untuk melewat-i Chicago Bulls. Baru pada putaran selanjutnya, Heat tampil dominan dengan menghempaskan New Jersey Nets 4-1.

Penampilan di final wilayah membalikkan ramalan bahwa Pistons akan melenggang ke final. Kemahiran meracik pemain veteran macam O’Neal dan Alonzo Mourning dengan pemain muda seperti Dwyane Wade dan Udonis Johneal Haslem membuat Heat bisa menundukkan Pistons. ”Riley adalah motivator yang hebat,” kata O’Neal.

Strategi dan materi pemain yang diturunkan Avery Johnson dan Pat Riley bakal meramaikan duel kedua tim untuk merebut gelar perdana mereka. Tapi lebih dari itu, sejarah menunjukkan bahwa seri final NBA lebih menjadi ajang pembuktian pemain terbaik ke-dua tim yang berhadapan.

Kendati yang bertanding adalah tim, ketergantungan pada seorang bintang sekaligus figur pemimpin di lapangan tak bisa dielakkan. Sebutlah Chicago Bulls dengan bintangnya Michael Jordan atau Houston Rockets dengan Hakeem Olajuwon.

Kali ini, panggung itu menjadi milik Nowitzki dan Shaquille O’Neal. Kedua-nya memiliki motivasi kuat untuk- merebut cincin juara. Nowitzki ingin menjadi pemain asing pertama yang ingin mendapat anugerah gelar pemain -terbaik (MVP) seri final, sekaligus me-rebut cincin juara pertamanya. Sedang O’Neal, yang merebut tiga cincin saat membela Lakers pada periode 1999–2002, berusaha membuktikan bahwa dirinya bisa membawa klub lain menjadi juara.

Adek Media Roza

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus