Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berkah Revolusi Klinsmann

Jerman merenggut Piala Dunia 2014 dengan filosofi baru cara bermain bola. Dirintis dengan membangun akademi klub hingga menyamakan cara pandang setiap pelatih.

21 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah terpaan suhu hangat musim panas, ribuan orang terlihat meluapkan kegembiraan di gerbang Brandenburg, Kota Berlin, Selasa pekan lalu. Kerumunan orang itu bagai kian memanaskan suhu yang tercatat 25 derajat Celsius. Hawa semakin sumuk. Tapi mereka tak peduli. "Anda tak akan menemukan hal seperti ini setiap hari," kata Bernd Hesse, salah seorang yang riang meski terjebak dalam hiruk-pikuk itu.

Hesse benar. Mereka memang tak saban hari bisa melakukannya. Untuk keriaan kali ini, mereka bahkan telah menunggu sejak 24 tahun lalu. Itulah saat terakhir tim nasional Jerman mengangkat trofi Piala Dunia.

Pusat dari kegembiraan hari itu adalah sebuah bus hitam dengan atap terbuka. Di sana para pemain tim nasional Jerman berdiri dan dielu-elukan, juga larut dalam nyanyian bersama massa. Mereka pun memamerkan trofi Piala Dunia yang baru saja diraih di Brasil. Senyum lebar mengembang. Kegembiraan ini bagai tak akan pernah usai.

Philipp Lahm dan kawan-kawan memang layak menepuk dada. Mereka sukses merebut piala kasta tertinggi di jagat bal-balan itu dengan penuh gemilang. Jerman tak terkalahkan sepanjang turnamen dan mampu menampilkan permainan yang memikat di tiap laga. Permainan mereka tak lagi membosankan seperti citra yang melekat selama ini.

Sepanjang sejarah Piala Dunia, inilah piala keempat mereka. Dua trofi awal didapat di Swiss pada 1954 dan di kandang sendiri pada 1974. Yang ketiga di Italia (1990). Dan inilah gelar pertama mereka setelah unifikasi Jerman. Mereka sekaligus memecahkan rekor. Jerman adalah tim Eropa pertama yang meraih Piala Dunia di Benua Amerika. "Makanya ini sangat bersejarah," ujar Hesse.

Tapi ada yang tak ingin melupakan sejarah. Di tengah kegilaan pesta kemenangan itu ada yang masih menyebut nama Juergen Klinsmann, pelatih pada 2004-2006. Mantan penyerang Jerman itu dianggap sebagai peletak dasar kesuksesan Jerman hari ini.

"Terima kasih kepada Klinsmann atas keputusannya pada 2004. Ia telah meremajakan tim Jerman," kata gelandang Bastian Schweinsteiger. Adapun Per Merte­sacker bersyukur karena, "Klinsmann adalah pelatih pertama yang memberi kepercayaan kepada pemain muda."

Ya, sejatinya Jerman telah menuliskan abjad pertama kisah suksesnya itu sejak 10 tahun lalu. Itulah beberapa saat setelah mereka tersingkir di fase grup Piala Eropa 2004 dengan cara memalukan. Saat itu Tim Panser gagal mencetak satu kemenangan pun!

Kegalauan langsung menyelimuti Federasi Sepak Bola Jerman (DFB). Pelatih Rudi Voeller mengundurkan diri. Padahal Jerman harus bersiap menyambut Piala Dunia 2006, yang digelar di kandang sendiri. Sempat kelimpungan mencari pelatih yahud, DFB akhirnya menunjuk Juergen Klinsmann.

Keputusan itu memancing kontroversi. Klinsmann dinilai belum cukup pengalaman. Rekam jejak kepelatihan Klinsi—sapaan Klinsmann—memang cekak. Ia baru mengambil kursus kepelatihan empat tahun sebelumnya. Tapi DFB bergeming. Mereka sudah berembuk dan kesengsem oleh program Klinsi yang ingin mengubah wajah sepak bola negeri Bavaria itu.

Hari itu, 26 Juli 2004, Klinsmann resmi menjadi pelatih Jerman, dan ia langsung bergerak. Bersama asisten pelatih pilihannya, Joachim Loew—mereka bertemu di kursus kepelatihan—beragam rencana langsung disusun. Garis besarnya adalah tim Jerman harus diremajakan.

Dengan dukungan DFB, Klinsmann mendesak semua klub di dua level teratas memiliki akademi pemain muda. Syarat ini mengikat. Artinya, jika ada yang melanggar, lisensi kompetisi mereka akan dicabut.

Program ini cukup sukses. Mesut Oezil adalah salah satu pemain yang lahir dari akademi dengan pendekatan anyar ini. Kelak, bersama beberapa pemain lain, ia menjadi salah satu pilar tim nasional.

Klinsmann dan Loew melangkah lebih jauh. Keduanya mengundang semua pelatih klub dan meminta mereka menuliskan tiga hal: bagaimana mereka ingin bermain, bagaimana mereka ingin ditonton orang-orang di luar Jerman, dan bagaimana mereka ingin ditonton warga Jerman. "Setelah mengetahui keinginan itu, baru metode latihan bisa disusun," ucap Klinsmann, mengenang pertemuan tersebut.

Kesepakatan dicapai. Para pelatih ingin meninggalkan gaya lama tim Jerman yang bermain lambat—dan membuat mereka dijuluki Panser—lalu menggantinya dengan permainan cepat nan bertenaga. Jerman juga mesti atraktif saat menyerang dan konsisten dengan cara bermain sendiri. Tim-tim Jerman tak boleh terbawa alur yang dimainkan lawan, apa pun kondisinya.

Klinsmann dan Loew setuju. Tapi mereka mematok syarat: klub harus menggelar tes kebugaran setiap tiga bulan. Sebab, cara bermain seperti itu membutuhkan fisik prima. Rencana ini tak berjalan mulus pada beberapa bulan awal. Pasalnya, kemampuan pelatih fisik dan teknologi pendukung yang dimiliki klub amat beragam. Tapi Klinsmann jalan terus.

Adapun di timnas, rencana ini berjalan lancar. Ia mendatangkan seorang pelatih fisik asal Amerika Serikat dan menunjuk seorang ahli gizi untuk mengatur asupan makanan pemain. Di luar itu, Klinsi mempekerjakan seorang psikolog yang bertugas memompa motivasi pemain. Hal-hal ini tak pernah muncul di timnas Jerman sebelumnya.

Jerih payah Klinsmann menuai hasil lumayan. Pada Piala Dunia 2006, Tim Panser berhasil mencapai babak semifinal. Tapi inilah yang juga menjadi akhir karier Klinsi di timnas. Ia memutuskan berhenti karena ingin dekat dengan keluarganya yang menetap di Amerika Serikat.

Joachim Loew, yang semula asisten, naik pangkat menjadi pelatih kepala. Alih-alih melemah, timnas Jerman justru makin kuat di bawah pimpinan Jogi—sapaan akrab Loew. Ia melanjutkan program yang sudah disusun Klinsmann. Ia juga rajin blu­sukan ke klub-klub Bundesliga untuk mengingatkan gaya bermain yang pernah mereka sepakati.

"Tak perlu ada perubahan. Klinsmann adalah orang yang revolusioner. Ia menyusun segala aspek dengan mendetail," kata Loew ketika ditanya revolusi yang hendak dilakukannya setelah kepergian Klinsmann.

Kini giliran Loew menuai hasil. Ia menancapkan kukunya pada puncak prestasi yang diinginkan pelatih mana pun: gelar juara dunia. Dan, nun jauh di Negeri Abang Sam sana, seniornya, Juergen Klinsmann, turut berbahagia untuk "sang asisten". Dia mengirim salam manis kepada Loew lewat akun Twitter pribadinya, @J_Klinsmann.

"Kamu berhasil, Jogi. Tim terbaik memenangi Piala Dunia!"

Arie Firdaus (SO FOOT, Guardian, BBC)


Sirkus ala Loew

Joachim Loew punya standar permainan tinggi untuk tim nasional Jerman. Dalam sebuah wawancara di So Foot pada April lalu, ia berhasrat Tim Panser sekomplet berikut ini: atraktif ala tim nasional Brasil di era Socrates, ngotot ala AC Milan di era Arrigo Sacchi, dan kolektif ala Bayern Muenchen di era Louis van Gaal.

Lewat cara bermain seperti ini, kata Loew, Jerman akan menjadi tim tak tertandingi. Itulah falsafah permainan Loew. Ia ingin para pemain menentukan nasib sendiri di atas lapangan. "Saya memang tak ingin menggantungkan nasib pada keberuntungan!"

Agar para pemain mencapai standar tersebut, Loew menyiapkan materi latihan yang terhitung unik. Ia, misalnya, meminta Philipp Lahm cs berdiri berhadapan, lalu ia memberi mereka masing-masing dua bola tenis dan meminta setiap pemain melakukan juggling bola tenis di tangan ala sirkus.

Sembari melakukan juggling, para pemain diinstruksikan melakukan passing dengan kaki mereka. Tujuannya? Seperti diakui gelandang Mesut Oezil: agar para pemain bisa berfokus pada banyak hal saat bermain sepak bola.

Loew memang ingin para pemainnya tak lama-lama memegang bola. Begitu seorang pemain mendapat bola, harus langsung diumpan kepada teman, lalu ia mencari ruang kosong atau menekan lawan. Inilah intisari falsafah tadi: berpikir cepat!

Dan berpikir cepat telah membuat mereka merenggut trofi Piala Dunia 2014.

Arie Firdaus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus