Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Biar Sepi Asal 'Happy'

Kompetisi nasional hoki es memang ajang hura-hura, walau ada yang menjadikannya jalan pintas ke mancanegara.

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA sih kompetisi nasional, tapi penontonnya cuma 20 orang. Para suporter itu, kalau bukan teman, ya saudara si pemain yang sedang berlaga. Mirip reuni keluarga. Sambil bercengkerama, mereka bersorak-sorak memberikan semangat. Tapi itu tak mujarab. Klub dari Surabaya, X-Treme 1 dan X-Treme 2, sama-sama loyo. Dinginnya ruangan itu tentu bukan penyebab kejuaraan nasional hoki es kedua di Surabaya, yang digelar pekan silam, sepi penonton. Penyebabnya mudah ditunjuk. Di negara gerah kayak Indonesia ini, permainan di atas lapisan es tentu menjadi sebuah anomali. Apalagi negeri ini masih dililit kesusahan. Bagi pengunjung Tunjungan Plaza, tempat kejuaraan berlangsung, melihat barang-barang di etalase lebih menarik ketimbang menyaksikan anak-anak muda mengayun-ayunkan stik hokinya. Ini kesedihan dobel. Sudah hampir lima tahun, sejak munculnya tempat rekreasi ice skating di sini, perkembangan olahraga ini masih juga kesat. Kompetisi kali ini diikuti tujuh peserta alias bertambah empat klub dari kejuaraan serupa dua tahun lalu. Maklum, di Indonesia hanya ada dua lapangan es: di Jakarta dan Surabaya. ”Kenyataannya memang begitu. Jumlah klub di Tanah Air memang sangat terbatas,” ujar Andik Judhiono, ketua panitia kompetisi ini. Padahal, Andik mengakui pihaknya sudah berusaha keras menyebarluaskan olahraga ini. Ya, lewat promosi, mengadakan kompetisi figure skating antarsekolah, sampai mendirikan unit kegiatan ice skating di beberapa universitas. Hasilnya tetap memble. Barangkali penyebabnya soal biaya. Main-main di es itu biayanya sama dengan kebutuhan hidup sebuah keluarga kecil selama sebulan. Sebelum menjadi pemain hoki es, seseorang lebih dulu harus bisa meluncur di lantai es. Untuk menjadi skater, dibutuhkan biaya sekitar Rp 2 juta untuk membeli peralatan. ”Itu baru untuk peralatan yang kelas menengah,” ujarnya. Kalau mau yang bagus, harganya berlipat lagi. Sedangkan untuk membeli peralatan hoki es, peminatnya perlu menunggu mesin ATM mengeluarkan duit lebih lama. Setiap atlet membutuhkan peralatan seperti sepatu skate, pelindung siku dan lutut, penutup dada dan bahu, serta tongkat pemukul. Total harganya? Rp 8 juta saja. Peralatan untuk menjadi goalie atau kiper lebih mahal, bisa mencapai Rp 25 juta. Tuntas? Alat-alat itu tak ada artinya kalau pemainnya tak pernah berlatih. Untuk berlatih pun perlu banyak duit. Biaya kursus singkat bermain hoki es mencapai Rp 175 ribu. Lagi-lagi itu belum cukup. Untuk berlatih bersama-sama, perlu lapangan. Nah, untuk yang satu ini, harus keluar duit lagi, yakni antara Rp 2,5 juta dan Rp 3 juta setiap bulannya. Sialnya lagi, lapangan baru bisa dipakai paling cepat pukul sembilan malam selepas jatah untuk pengunjung umum usai. Lalu, apa yang mereka cari dari olahraga ini? Cuma senang-senang atau serius menjadi pemain profesional? Pemain hoki es umumnya memilih kegiatan ini sekadar untuk fun. Keseriusan mereka untuk berlatih fisik atau menjaga stamina seperti halnya atlet olahraga lain nyaris tak dilakukan. Setidaknya itu yang diamati Yohan Gunawan, 24 tahun, dan Felix Cahyono, 20 tahun, dua pemain hoki es yang ikut bertanding di Surabaya. Akibatnya, dengan kondisi seperti itu, perjalanan olahraga ini terasa kian berat saja. Jangankan berharap munculnya liga yang teratur, membuat kejuaraan nasional pun bukan main repotnya. Itu terbukti ketika mereka mengajukan diri untuk ikut dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) di Surabaya tahun lalu. Lamaran itu ditolak Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dengan alasan olahraga ini tidak memenuhi persyaratan standar, yaitu sedikitnya ada empat provinsi yang sudah memiliki ring dan mengirimkan atletnya. Di pihak lain, Persatuan Olahraga Sepatu Roda Seluruh Indonesia (Porserosi), yang menjadi induk olahraga ini, menurut para pemain, terlihat segan mengurusi hoki es. Buktinya, kejuaraan nasional II lama tak kunjung digelar. Hanya ”kegilaan” yang membuat semangat para atlet tetap menyala. Felix Cahyono, pemain Flaming Nitro Jakarta, misalnya, mengaku pernah terbang ke Filipina dengan biaya sendiri untuk ikut All Star Ice-Hockey Asia. Di sana, ia sempat bergabung dengan beberapa pemain Asia lainnya. ”Saya berharap bisa ditransfer ke Kanada. Di sana, saya bisa memperdalam ilmu hoki,” kata Felix. Jalan pintas yang mahal, tapi siapa tahu kelak seorang anak Indonesia jadi jago di negeri orang. Irfan Budiman, Wahyu Dhyatmika (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus