INDONESIA kehilangan seorang putra terbaiknya, Kamis pekan lalu. Letnan Jenderal Agus Wirahadikusumah mengembuskan napasnya yang terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit tak lama setelah ia usai melakukan salat subuh di rumahnya di kompleks perwira TNI-AD, Jalan Bulakrante. Sebuah kematian yang sangat mengejutkan. "Saya masih sulit menerima kenyataan ini. Tadi pagi, ia masih sehat dan membangunkan saya pukul setengah enam," kata Nyonya Tri Rachmaningsih dengan terisak-isak.
Istri almarhum AWK—begitulah panggilan akrab bekas Panglima Kostrad ini—tidak menangis sendirian. Di antara ratusan tamu yang melayat ke rumah atau yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir di Taman Makam Pahlawan Kalibata, banyak yang mengucurkan air mata. Sebuah radio swasta Jakarta yang mengadakan laporan khusus tentang meninggalnya jenderal yang dikenal sebagai tokoh reformis ini dibanjiri telepon ucapan duka dan yang mempertanyakan mengapa Tuhan memanggilnya begitu cepat.
AWK memang masih muda, 49 tahun. Secara teoretis, ia masih berpeluang meneruskan karir ketentaraannya hingga memasuki usia pensiun, enam tahun mendatang. Kendati institusi TNI-AD saat ini tak lagi memberikan jabatan apa pun kepadanya—bahkan ia pernah mengatakan tak sebuah pun kamar atau kursi disediakan—popularitasnya membuat jenderal berbintang tiga ini seperti telah menjadi milik publik. Begitu banyak permintaan orang ramai agar ia tampil menyuarakan pendapatnya setelah diberhentikan sebagai Panglima Kostrad, Agustus tahun lalu, tapi ia menolak dan memilih belajar mengaji sambil membuat buku kumpulan doa. Draf buku Shalat, Shalawat, Do'a baru saja selesai disusunnya dan direncanakan diluncurkan bulan ini, tapi Tuhan lebih dulu memanggilnya.
Menulis memang salah satu kegemaran AWK. Karya pemikirannya yang muncul se-bagai bagian dari tiga buku—ABRI dan Agenda Perubahan, Indonesia Baru dan Tantangan TNI, dan ABRI yang Profesional dan Dedikatif—menggambarkan sikap yang jauh lebih reformis ketimbang penulis lainnya. Ia memang bukan reformis ikut arus, melainkan salah seorang pelopornya. Dalam sebuah pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Boston, pada 1991, AWK telah berani mengatakan ketidaksetujuannya atas doktrin dwifungsi. Padahal, saat itu Soeharto masih berada di puncak kekuasaannya dan AWK masih berpangkat letnan kolonel.
Keberanian untuk berada di jajaran terdepan memang merupakan salah satu ciri khas AWK. Banyak kategori "pertama" berada di saku pria kelahiran 17 Oktober 1951 ini. Sebagai komandan peleton, AWK termasuk dalam pasukan yang pertama masuk Timor Timur (ia kembali lagi pada 1978). Selain itu, keponakan Jenderal Umar Wirahadikusumah yang lulus Akabri pada 1973 ini adalah perwira TNI pertama yang berhasil masuk dan lulus dari Universitas Harvard, Amerika Serikat. Lantas, peng-gemar bulu tangkis ini dikenal sebagai jenderal pertama yang mengusulkan pembubaran komando teritorial di Pulau Jawa.
Lontaran pemikiran yang menghebohkan publik itu sebenarnya bukan hanya berada di benak AWK. Cukup banyak rekannya, ter-masuk yang lebih senior, berada dalam paradigma yang sama. Bahkan, nama tenar seperti Agus Widjojo dan Susilo Bambang Yudhoyono boleh dikata merupakan mitra akrab AWK semasa menggodok berbagai pemikiran tentang masa depan TNI di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat. "Dulu kami kompak, tapi belakangan bercerai-berai," kenang Letnan Jenderal (Purnawirawan) Prabowo Subianto, yang masuk Akabri bersama AWK kendati lulusnya setahun lebih lambat.
Pertentangan itu muncul terutama dalam tahapan dan cara mengimplementasikan paradigma baru TNI. AWK ingin reformasi dilakukan se-cepatnya sehingga—sadar atau tidak—ia berada jauh di depan yang lain dan memanen reaksi dari mereka yang tak sepaham. Banyak yang menganjurkan agar ia lebih taktis, lebih sabar, tapi AWK menolak. "Ini saatnya untuk mengambil sikap seperti almarhum Sarwo Edhie," begitu selalu alasan yang dikemukakannya. Dan seperti nasib bekas Komandan RPKAD itu, AWK kemudian disisihkan oleh para pemimpin institusi yang hendak diubahnya itu.
Perubahan yang didakwahkan AWK memang membuat banyak jenderal merasa gerah. Ia ingin agar organisasi TNI menjadi transparan dan akuntabel kecuali untuk hal yang benar-benar rahasia militer, seperti kekuatan persenjataan dan taktik operasi. Tak sampai empat bulan menjadi Panglima Kostrad, ia mengaudit berbagai kegiatan usaha di institusi itu dan menemukan—bahkan mengumumkan kepada publik—penyelewengan yang ada. Setelah itu, AWK menghibahkan hampir semua harta kesayangan pribadinya untuk kesejahteraan prajurit sebagai bagian dari strategi reformasinya yang berbunyi "semua kembali ke titik nol."
Konsep ini berinduk pada keyakinan tak ada satu pun—termasuk dirinya—yang bebas dosa masa lalu. Namun, ia berpendapat, seandainya semua anggota TNI setuju untuk memulai sebuah babak baru, melalui mekanisme rekonsiliasi, TNI dapat mengatasi semua tantangan di abad ke-21 ini untuk menjadi tentara yang profesional, efektif, efisien, modern, dan dicintai rakyat. Persetujuan itu bukan hanya dalam soal saling memaafkan, melainkan juga mengembalikan semua sumber daya yang dimiliki se-cara tidak sah.
Ide yang sulit dijual, tapi AWK mencobanya dan terpental. Namun, upayanya tidak sia-sia. Pemimpin TNI saat ini meneruskan upaya audit berbagai yayasan TNI dan membuatnya lebih transparan. Barangkali itu sebabnya AWK tak memberikan perlawanan kendati disingkirkan. Ia malah menggunakan waktunya untuk mendekat kepada Tuhan dan menjadi jenderal pertama di angkatannya yang dipanggil pulang ke haribaan-Nya. AWK memang suka menjadi yang pertama.
Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini