ANDI LALA, Kiri Dalam Jayakarta
Sementara teman satu klub -- Iswadi Idris dan Ronny Pasla
--pernah dituduh terlibat suap, nama Andi Lala belum disebut.
"Saya ngeri kalau ada tukang suap seperti itu," katanya.
Dia salah seorang pencetak gol untuk klub Galatama Jayakarta.
Sudah 9 tahun pemuda asal Bone, Sulawesi Selatan ini memperkuat
regu PSSI.
Karena kemampuannya, Lala, 28 tahun, pernah diincar beberapa
klub seperti Arseto dan Pardedetex konon dengan tawaran gaji
besar. Dari Jayakarta ia memperoleh sebulan sekitar Rp 60.000,
sedang ia masih mendapat gaji dari NIAC Jakarta Teater, tempat
kerjanya. "Kami di Jayakarta tidak terikat sebagai karyawan dan
majikan. Tapi seperti anak dan bapak," kata Lala. "Enaknya di
Jayakarta, kita tidak harus 100% main bola melulu."
Tamat dari Akademi Bank Nasional Lala melanjutkan kuliah di
Universitas Jakarta. "Main bola bagi saya hanya sambilan,"
katanya terus terang. "Di Indonesia, belum bisa mengandalkan
hidup dari bola saja."
HERRY WATTIMURY, Penyerang Tengah Cahaya Kita
Ia main untuk Cahaya Kita, sebuah klub Galatama yang sedang
dilanda krisis keuangan. Pernah memperkuat bond Ternate, tamat
SMA 1974 di sana, dan melanjutkan kuliah di sebuah perguruan
tinggi swasta Jakarta -- akhirnya Herry Wattimury, 24 tahun,
masuk CK. "Saya tidak bisa hidup dari bola," katanya. "Masuk
Galatama hanya untuk menyalurkan hobi dan cari prestasi."
Karena dituduh tidak disiplin, Herry bersama 9 teman satu klub
telah dipecat Kaslan Rosidi, pimpinan CK. Para pemain itu memang
sudah kesal, setelah honor mereka antara Rp 40.000 sampai dengan
Rp 70.000 dalam 3 bulan terakhir tidak dipenuhi. "Kadang hanya
dibayar separuh, atau sama sekali tidak dibayarnya," kata Herry.
"Di klub ini tenaga kami seperti diperas. Masak klub tidak punya
lapangan. Kami latihan di mana saja, pokoknya asal tak ditegur
keamanan setempat."
Keluarganya tak begitu setuju Herry bermain bola. Meski sudah
dipecat, ia bersama 9 teman tidak mau beranjak meninggalkan
asrama di Jl. Hang Lekir III, Jakarta, sebelum honor hak mereka
dipenuhi. "Percuma kita bertahan di Cahaya Kita, kalau cara dan
sistem kerja begini terus," kata Decky, yang juga di pecat.
Namun tidak terdengar kasus suap di kalangan mereka.
ZULHAM EFFENDY, Gelandang Pardedetex
Zulham Effendy, pemain terbaik Fatahillah Cup 1978, bertekad
tidak akan mau menerima suap. "Seratus lima puluh ribu rupiah
sebulan dari Pardedetex untuk ukuran saya sudah cukup," katanya.
Sudah beristeri dan mempunyai seorang anak, tinggal di rumah
sendiri, Zulham, 23 tahun, setiap bulan mampu menyisihkan Rp
100.000 -- itu belum termasuk bonus Rp 50.000 yang akan
diperolehnya bila klubnya menang. Besar kecilnya gaji,
menurutnya, tidak menentukan seseorang akan menolak suap. "Itu
tergantung mental juga, " sebutnya.
Zulham menyesalkan pengurus PSSI tidak tegas terhadap pemain
yang kena suap. "Kalau sudah terima suap, ternyata masih boleh
main lagi, rasanya kok . . . . ." katanya. "Tapi kalau disuruh
gantung sepatu, rasanya kejam juga."
DEDE SULAIMAN, Kanan/Kiri Luar Indonesia Muda
Bintang PSSI dan klub Galatama Indonesia Muda, Dede Sulaiman
mengaku belum pernah didekati para penyuap. "Kalau mereka tahu
mental kita kuat, para penyuap itu tidak bakal datang membujuk,"
kata Dede, 23 tahun. "Entahlah kenapa banyak teman mau menerima
suap, ini soal jiwa juga sih. "
Melalui klubnya, Dede mendapat pekerjaan di Pertamina sejak 6
bulan lalu. Ia merasa senang dengan penghasilan yang diterimanya
dari Pertamina meskipun belum 100% penuh, apalagi ditambah
imbalan dari TIM, "Lebih dari cukup, terutama saya merasa cocok
dengan sistem yang diterapkan pak Dimas," katanya.
Karena tekun berlatih, Dede macet di tingkat III Akademi Bank
Indonesia, Jakarta.
DARMADI, Pemain Tidar Sakti
Nasib Darmadi tidak semujur temannya satu klub seperti Haryanto
(kiper) maupun Imam Murtanto yang dikirim ke Brazil. Statusnya
di Inspeksi Umum Pemda Kota Madya Magelang sejak 1977 masih
tetap pegawai honorer. Tinggal Darmadi sendiri di antara 20
pemain Tidar Sakti milik Pemda Magelang, yang belum diangkat
sebagai pegawai negeri. Namun dari kantor itu ia memperoleh
honor Rp 20.000 berikut tunjangan sebagai pemain bola Rp 10. 000
setiap bulan, dan uang bensin Rp 100/hari bila latihan.
"Pemain yang menerima suap harus dihukum berat," kata Darmadi.
"Dipecat dari klub, bahkan harus dipecat dari pekerjaannya,
kalau ia seorang pegawai negeri. "
Tapi Darmadi, 25 tahun, ayah dari seorang anak ini, baru saja
mengajukan permohonan mengundurkan diri. "Di Tidar Sakti saya
tidak puas. Saya ingin mengembangkan karir," kata Darmadi, yang
yakin dari bola mampu hidup.
Darmadi, yang lulus SMEA 1976, pernah memperkuat regu PSSI ke
Tokyo beberapa bulan silam. Kabarnya, sudah ada beberapa klub
Galatama menaksir tenaganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini