Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bila hidup dengan main bola

Tempo mewawancarai beberapa pemain klub galatama. ternyata, tak semua mereka bermental jelek hingga dapat dirayu tukang suap, meskipun imbalan dan fasilitas kurang baik. (or)

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDI LALA, Kiri Dalam Jayakarta Sementara teman satu klub -- Iswadi Idris dan Ronny Pasla --pernah dituduh terlibat suap, nama Andi Lala belum disebut. "Saya ngeri kalau ada tukang suap seperti itu," katanya. Dia salah seorang pencetak gol untuk klub Galatama Jayakarta. Sudah 9 tahun pemuda asal Bone, Sulawesi Selatan ini memperkuat regu PSSI. Karena kemampuannya, Lala, 28 tahun, pernah diincar beberapa klub seperti Arseto dan Pardedetex konon dengan tawaran gaji besar. Dari Jayakarta ia memperoleh sebulan sekitar Rp 60.000, sedang ia masih mendapat gaji dari NIAC Jakarta Teater, tempat kerjanya. "Kami di Jayakarta tidak terikat sebagai karyawan dan majikan. Tapi seperti anak dan bapak," kata Lala. "Enaknya di Jayakarta, kita tidak harus 100% main bola melulu." Tamat dari Akademi Bank Nasional Lala melanjutkan kuliah di Universitas Jakarta. "Main bola bagi saya hanya sambilan," katanya terus terang. "Di Indonesia, belum bisa mengandalkan hidup dari bola saja." HERRY WATTIMURY, Penyerang Tengah Cahaya Kita Ia main untuk Cahaya Kita, sebuah klub Galatama yang sedang dilanda krisis keuangan. Pernah memperkuat bond Ternate, tamat SMA 1974 di sana, dan melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta Jakarta -- akhirnya Herry Wattimury, 24 tahun, masuk CK. "Saya tidak bisa hidup dari bola," katanya. "Masuk Galatama hanya untuk menyalurkan hobi dan cari prestasi." Karena dituduh tidak disiplin, Herry bersama 9 teman satu klub telah dipecat Kaslan Rosidi, pimpinan CK. Para pemain itu memang sudah kesal, setelah honor mereka antara Rp 40.000 sampai dengan Rp 70.000 dalam 3 bulan terakhir tidak dipenuhi. "Kadang hanya dibayar separuh, atau sama sekali tidak dibayarnya," kata Herry. "Di klub ini tenaga kami seperti diperas. Masak klub tidak punya lapangan. Kami latihan di mana saja, pokoknya asal tak ditegur keamanan setempat." Keluarganya tak begitu setuju Herry bermain bola. Meski sudah dipecat, ia bersama 9 teman tidak mau beranjak meninggalkan asrama di Jl. Hang Lekir III, Jakarta, sebelum honor hak mereka dipenuhi. "Percuma kita bertahan di Cahaya Kita, kalau cara dan sistem kerja begini terus," kata Decky, yang juga di pecat. Namun tidak terdengar kasus suap di kalangan mereka. ZULHAM EFFENDY, Gelandang Pardedetex Zulham Effendy, pemain terbaik Fatahillah Cup 1978, bertekad tidak akan mau menerima suap. "Seratus lima puluh ribu rupiah sebulan dari Pardedetex untuk ukuran saya sudah cukup," katanya. Sudah beristeri dan mempunyai seorang anak, tinggal di rumah sendiri, Zulham, 23 tahun, setiap bulan mampu menyisihkan Rp 100.000 -- itu belum termasuk bonus Rp 50.000 yang akan diperolehnya bila klubnya menang. Besar kecilnya gaji, menurutnya, tidak menentukan seseorang akan menolak suap. "Itu tergantung mental juga, " sebutnya. Zulham menyesalkan pengurus PSSI tidak tegas terhadap pemain yang kena suap. "Kalau sudah terima suap, ternyata masih boleh main lagi, rasanya kok . . . . ." katanya. "Tapi kalau disuruh gantung sepatu, rasanya kejam juga." DEDE SULAIMAN, Kanan/Kiri Luar Indonesia Muda Bintang PSSI dan klub Galatama Indonesia Muda, Dede Sulaiman mengaku belum pernah didekati para penyuap. "Kalau mereka tahu mental kita kuat, para penyuap itu tidak bakal datang membujuk," kata Dede, 23 tahun. "Entahlah kenapa banyak teman mau menerima suap, ini soal jiwa juga sih. " Melalui klubnya, Dede mendapat pekerjaan di Pertamina sejak 6 bulan lalu. Ia merasa senang dengan penghasilan yang diterimanya dari Pertamina meskipun belum 100% penuh, apalagi ditambah imbalan dari TIM, "Lebih dari cukup, terutama saya merasa cocok dengan sistem yang diterapkan pak Dimas," katanya. Karena tekun berlatih, Dede macet di tingkat III Akademi Bank Indonesia, Jakarta. DARMADI, Pemain Tidar Sakti Nasib Darmadi tidak semujur temannya satu klub seperti Haryanto (kiper) maupun Imam Murtanto yang dikirim ke Brazil. Statusnya di Inspeksi Umum Pemda Kota Madya Magelang sejak 1977 masih tetap pegawai honorer. Tinggal Darmadi sendiri di antara 20 pemain Tidar Sakti milik Pemda Magelang, yang belum diangkat sebagai pegawai negeri. Namun dari kantor itu ia memperoleh honor Rp 20.000 berikut tunjangan sebagai pemain bola Rp 10. 000 setiap bulan, dan uang bensin Rp 100/hari bila latihan. "Pemain yang menerima suap harus dihukum berat," kata Darmadi. "Dipecat dari klub, bahkan harus dipecat dari pekerjaannya, kalau ia seorang pegawai negeri. " Tapi Darmadi, 25 tahun, ayah dari seorang anak ini, baru saja mengajukan permohonan mengundurkan diri. "Di Tidar Sakti saya tidak puas. Saya ingin mengembangkan karir," kata Darmadi, yang yakin dari bola mampu hidup. Darmadi, yang lulus SMEA 1976, pernah memperkuat regu PSSI ke Tokyo beberapa bulan silam. Kabarnya, sudah ada beberapa klub Galatama menaksir tenaganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus