ANDA sakit? Sekitar 7200 merk obat-obatan kini beredar, keluaran
268 pabrik farmasi di Indonesia. Meskipun begitu sebagian besar
masyarakat masih sulit menjangkaunya, karena mahal. Pemerintah
bukan tidak menyadarinya. Tapi nampaknya masyarakat masih harus
bersabar menunggu 4 Pelita lagi. "Baru tahun 2000, setiap warga
negara berhak mendapat pelayanan kesehatan secara merata dengan
obat murah," kata Menteri Kesehatan, dr Suwardjono Surjaningrat,
ketika meninjau pabrik ohat Manggarai bersama Menpan JB
Sumarlin, pekan lalu.
Pabrik Obat Manggarai, Jakarta Selatan, memproduksi obat-obat
esensial, obat Inpres untuk Puskesmas yang termasuk dalam
klasifikasi daftar obat A. Setelah beberapa fasilitasnya
ditambah kini Manggarai dapat memproduksi 5 juta tablet sehari.
Atau sekitar 25% dari kebutuhan Puskesmas untuk obat Inpres,
naik 5% dibandingkan seluruh kebutuhan Puskesmas pada akhir
Pelita II. Harganya, 30% lebih murah dari produksi pabrik obat
lainnya," kata Hamdy Machmud, direktur pabrik obat Manggarai.
Mahal atau murahnya sesuatu obat menurut Dr Midian Sirait,
Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) ditentukan berbagai
komponen biaya. Antara lain biaya untuk bahan baku, bahan
penolong, biaya produksi, pemasaran dan keuntungan produsen.
Dari 7200 merk obat itu digunakan 1240 jenis bahan baku yang
95% berasal dari impor.
Biaya promosi yang besar, pemakaian kemasan yang mewah oleh
Dirjen POM dianggap sebagai salah satu penyebab mahalnya harga
obat. Juga pengambilan keuntungan dan biaya jasa yang dipungut
oleh produsen dan distributor.
Yang berduit
Maka dalam periode pendaftaran obat jadi pada 1980, data
kalkulasi harga obat oleh produsen harus dimasukkan ke Ditjen
POM. Ini dimaksudkannya "untuk mendorong pelaksanaan sistem
kalkulasi biaya yang sehat dan wajar." Komponen biaya yang tak
ada hubungannya dengan produksi tidak boleh diperhitungkan ke
dalam harga jual pabrik. Di sinilah diharapkan peranan pabrik
obat Manggarai dengan memproduksi obat murah "menjadi pemimpin
harga," kata Menteri Kesehatan.
Tentang mahalnya harga obat jadi sekarang ini, menurut drs
Sudirman Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia "disebabkan
naiknya harga pembelian bahan baku." Sebagai contoh ia
mengemukakan Chloroquin (bahan baku untuk obat malaria) yang
Februari lalu Rp 23 ribu sekilo September lalu sudah naik
menjadi Rp 27 ribu/kg. Padahal September 1978 harganya baru Rp
17 ribu/kg. Sulfasomidin kini naik hampir 100% dibandingkan
harga September 1978.
Suasana persaingan yang tajam menyebabkan pengusaha tak semaunya
memasang harga tinggi. "Pasaran obat jadi sekarang terasa
jenuh," kata Wim Kalona, 63, Dir-Ut PT Darya-Varia Laboratoria
yang memproduksi kapsul lunak di Ciracas. Dan tindakan efisiensi
yang dilakukan pengusaha farmasi rupanya tak dapat mengurangi
harga yang berarti. Namun kegiatan promosi dan kemasan obat oleh
ketua GP Farmasi dianggap sebagai hal yang wajar dalam
persaingan merebut konsumen.
Tapi kalau mau obat murah, kata Sudirman yang juga Direktur
Perusahaan Farmasi PT Tempo, para dokter harus bersedia
mempromosikan dan memakai obat-obat generic obat dasar tanpa
merk dagang. Harganya akan menjadi 100-200% dari harga dasarnya
jika ditempeli merk. Bagi yang memperdagangkan merk, itu
berkaitan dengan hasil risetnya. Maka "biarkanlah pasien-pasien
yang berduit menentukan pilihannya," lanjut ketua GP Farmasi
itu.
Omset obat esensial (obat untuk penyakit yang umum) dari
berbagai perusahaan swasta dan pemerintah masih kecil. Tahun
1978 lalu cuma 10% dari seluruh omset obat-obatan di Indonesia
yang berjumlah sekitar Rp 250 milyar. Tapi jika dihitung dari
dana Inpres obat Rp 90 per kapita hanya berjumlah sekitar Rp 12
milyar. Masih di bawah omset total 10 besar pabrik farmasi dalam
semester I 1979 yang Rp 12,8 milyar. Maka untuk mendorong pabrik
obat swasta memproduksi obat-obat pokok, menurut Dirjen Sirait,
"pemerintah akan mengurangi pajak-pajaknya."
Rasionalisasi
Tapi Dirjen POM tidak berhenti di situ. "Pemerintah akan
menjalankan rasionalisasi terhadap obat yang beredar," katanya
kepada TEMPO Menurut dia, sebagian anggota masyarakat terutama
di kota-kota besar ada "gejala terjadinya kesadaran yang
berlebihan terhadap obat. "
Hanny Goenawan, manajer produksi PT Rhodia Indonesia (PMA)
menyambut gembira rencana pemerintah untuk menyederhanakan merk
obat yang beredar. "Dengan makin banyaknya merk, persaingan
semakin keras, sedikit merk lebih menguntungkan," kata Hanny.
Tapi Wim Kalona yang juga pemilik Apotik Djatinegara
mengharapkan rasionalisasi yang hendak dijalankan itu sebaiknya
tidak menjurus kepada pembatasan jenis obat. "Jika dibatasi atau
dikurangi jumlahnya akan menimbulkan pilih kasih dan kesulitan
bagi perusahaan nasional," katanya.
Menurut Dirjen POM rasionalisasi ini bukan dimaksudkan untuk
penyederhanaan atau pengurangan jenis obat. Tapi "optimalisasi
dan efisiensi terhadap penggunaan obat dan dana." Diakuinya
dengan rasionalisasi ini khasiat dan kegunaan jenis obat
tertentu mungkin berkurang jumlahnya. Tapi bisa juga sebaliknya,
apabila menurut pertimbangan jenis tersebut jumlahnya belum
memadai.
Berbagai persiapan untuk rasionalisasi merk dagang obat ini
telah dilakukan. Misalnya, penilaian terhadap kelengkapan
fasilitas produksi dan fasilitas pemeriksaan mutu masing-masing
pabrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini