Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menunggu empat pelita

Harga obat mahal disebabkan a.l: 95% bahan baku masih diimpor, biaya promosi yang tinggi dan kemasan yang mewah. dokter dianjurkan mau memakai obat dasar tanpa merek dagang, perlu rasionalisasi obat. (eb)

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA sakit? Sekitar 7200 merk obat-obatan kini beredar, keluaran 268 pabrik farmasi di Indonesia. Meskipun begitu sebagian besar masyarakat masih sulit menjangkaunya, karena mahal. Pemerintah bukan tidak menyadarinya. Tapi nampaknya masyarakat masih harus bersabar menunggu 4 Pelita lagi. "Baru tahun 2000, setiap warga negara berhak mendapat pelayanan kesehatan secara merata dengan obat murah," kata Menteri Kesehatan, dr Suwardjono Surjaningrat, ketika meninjau pabrik ohat Manggarai bersama Menpan JB Sumarlin, pekan lalu. Pabrik Obat Manggarai, Jakarta Selatan, memproduksi obat-obat esensial, obat Inpres untuk Puskesmas yang termasuk dalam klasifikasi daftar obat A. Setelah beberapa fasilitasnya ditambah kini Manggarai dapat memproduksi 5 juta tablet sehari. Atau sekitar 25% dari kebutuhan Puskesmas untuk obat Inpres, naik 5% dibandingkan seluruh kebutuhan Puskesmas pada akhir Pelita II. Harganya, 30% lebih murah dari produksi pabrik obat lainnya," kata Hamdy Machmud, direktur pabrik obat Manggarai. Mahal atau murahnya sesuatu obat menurut Dr Midian Sirait, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) ditentukan berbagai komponen biaya. Antara lain biaya untuk bahan baku, bahan penolong, biaya produksi, pemasaran dan keuntungan produsen. Dari 7200 merk obat itu digunakan 1240 jenis bahan baku yang 95% berasal dari impor. Biaya promosi yang besar, pemakaian kemasan yang mewah oleh Dirjen POM dianggap sebagai salah satu penyebab mahalnya harga obat. Juga pengambilan keuntungan dan biaya jasa yang dipungut oleh produsen dan distributor. Yang berduit Maka dalam periode pendaftaran obat jadi pada 1980, data kalkulasi harga obat oleh produsen harus dimasukkan ke Ditjen POM. Ini dimaksudkannya "untuk mendorong pelaksanaan sistem kalkulasi biaya yang sehat dan wajar." Komponen biaya yang tak ada hubungannya dengan produksi tidak boleh diperhitungkan ke dalam harga jual pabrik. Di sinilah diharapkan peranan pabrik obat Manggarai dengan memproduksi obat murah "menjadi pemimpin harga," kata Menteri Kesehatan. Tentang mahalnya harga obat jadi sekarang ini, menurut drs Sudirman Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia "disebabkan naiknya harga pembelian bahan baku." Sebagai contoh ia mengemukakan Chloroquin (bahan baku untuk obat malaria) yang Februari lalu Rp 23 ribu sekilo September lalu sudah naik menjadi Rp 27 ribu/kg. Padahal September 1978 harganya baru Rp 17 ribu/kg. Sulfasomidin kini naik hampir 100% dibandingkan harga September 1978. Suasana persaingan yang tajam menyebabkan pengusaha tak semaunya memasang harga tinggi. "Pasaran obat jadi sekarang terasa jenuh," kata Wim Kalona, 63, Dir-Ut PT Darya-Varia Laboratoria yang memproduksi kapsul lunak di Ciracas. Dan tindakan efisiensi yang dilakukan pengusaha farmasi rupanya tak dapat mengurangi harga yang berarti. Namun kegiatan promosi dan kemasan obat oleh ketua GP Farmasi dianggap sebagai hal yang wajar dalam persaingan merebut konsumen. Tapi kalau mau obat murah, kata Sudirman yang juga Direktur Perusahaan Farmasi PT Tempo, para dokter harus bersedia mempromosikan dan memakai obat-obat generic obat dasar tanpa merk dagang. Harganya akan menjadi 100-200% dari harga dasarnya jika ditempeli merk. Bagi yang memperdagangkan merk, itu berkaitan dengan hasil risetnya. Maka "biarkanlah pasien-pasien yang berduit menentukan pilihannya," lanjut ketua GP Farmasi itu. Omset obat esensial (obat untuk penyakit yang umum) dari berbagai perusahaan swasta dan pemerintah masih kecil. Tahun 1978 lalu cuma 10% dari seluruh omset obat-obatan di Indonesia yang berjumlah sekitar Rp 250 milyar. Tapi jika dihitung dari dana Inpres obat Rp 90 per kapita hanya berjumlah sekitar Rp 12 milyar. Masih di bawah omset total 10 besar pabrik farmasi dalam semester I 1979 yang Rp 12,8 milyar. Maka untuk mendorong pabrik obat swasta memproduksi obat-obat pokok, menurut Dirjen Sirait, "pemerintah akan mengurangi pajak-pajaknya." Rasionalisasi Tapi Dirjen POM tidak berhenti di situ. "Pemerintah akan menjalankan rasionalisasi terhadap obat yang beredar," katanya kepada TEMPO Menurut dia, sebagian anggota masyarakat terutama di kota-kota besar ada "gejala terjadinya kesadaran yang berlebihan terhadap obat. " Hanny Goenawan, manajer produksi PT Rhodia Indonesia (PMA) menyambut gembira rencana pemerintah untuk menyederhanakan merk obat yang beredar. "Dengan makin banyaknya merk, persaingan semakin keras, sedikit merk lebih menguntungkan," kata Hanny. Tapi Wim Kalona yang juga pemilik Apotik Djatinegara mengharapkan rasionalisasi yang hendak dijalankan itu sebaiknya tidak menjurus kepada pembatasan jenis obat. "Jika dibatasi atau dikurangi jumlahnya akan menimbulkan pilih kasih dan kesulitan bagi perusahaan nasional," katanya. Menurut Dirjen POM rasionalisasi ini bukan dimaksudkan untuk penyederhanaan atau pengurangan jenis obat. Tapi "optimalisasi dan efisiensi terhadap penggunaan obat dan dana." Diakuinya dengan rasionalisasi ini khasiat dan kegunaan jenis obat tertentu mungkin berkurang jumlahnya. Tapi bisa juga sebaliknya, apabila menurut pertimbangan jenis tersebut jumlahnya belum memadai. Berbagai persiapan untuk rasionalisasi merk dagang obat ini telah dilakukan. Misalnya, penilaian terhadap kelengkapan fasilitas produksi dan fasilitas pemeriksaan mutu masing-masing pabrik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus