Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bintang Tak Bersinar di Brasil

Banyaknya bintang justru menjadi masalah bagi Brasil. Untuk pertama kalinya Ekuador mengalahkan si raksasa sepak bola.

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


TAK menjadi favorit bukan berarti tak menjanjikan prestasi. Tim Ekuador, kesebelasan yang tidak pernah diperhitungkan di Amerika Selatan, ternyata berhasil mengalahkan ”kiblat” sepak bola dunia, Brasil, 1-0. Gol satu-satunya itu menghasilkan kemenangan pertama yang dicapai Ekuador atas Brasil. Kemenangan yang dicatat anak-anak asuhan pelatih Hernand Dario Gomes asal Kolombia itu terjadi dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2002, Kamis dini hari pekan lalu.

Tragedi bagi Brasil dan sejarah bagi Ekuador itu diciptakan lewat gol Agustin Delgado, pemain kelahiran 23 Desember 1974, yang merumput di klub Necaxa, Liga Meksiko. Ketika babak kedua baru berjalan empat menit, Ivan Kaviedes (bermain di Perugia) melepaskan umpan matang ke Delgado, yang kemudian menyarangkan bola ke gawang kiper Brasil, Rogerio Ceni. Dengan gol itu, Delgado sudah mengoleksi lima gol—sama dengan jumlah gol yang diciptakan Rivaldo, tapi masih di bawah pencetak gol terbanyak, Romario, yang mengemas tujuh gol.

Gelagat keperkasaan Ekuador sebenarnya sudah terlihat saat mereka mengalahkan Cile dan Venezuela di dua pertandingan terakhir. Cile ditekuk 1-0 dan Venezuela digulung 2-1. Ekuador memang memiliki rekor cukup mengesankan jika tampil di rumahnya sendiri, di Stadion Atahaulpa, Quito. Dalam pertandingan penyisihan Piala Dunia, mereka tak terkalahkan di kandang. Kemenangan-kemenangan itu mereka perlukan agar bertahan di posisi empat besar zone Amerika Latin, guna mengamankan tiket ke putaran final di Jepang dan Korea.

Kekalahan Brasil dari Ekuador, menurut pengamat sepak bola Ronny Pattinasarani, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Alasannya, permainan tim bertabur bintang seperti Brasil menjadi kacau jika mereka menguasai pertandingan tapi tidak bisa menjebol gawang lawan. Pemain cenderung bermain secara individu. ”Apalagi kalau pemain belakang sudah jengkel dan maunya maju menyerang,” kata Ronny.

Selain itu, tim Brasil datang ke Stadion Atahaulpa sambil membawa kontroversi. Roberto Carlos dan Cafu, dua bek berpengalaman, tidak ikut dipanggil oleh pelatih Brasil, Emerson Leao. Cerita yang beredar menyebutkan bahwa Romario, striker berusia 35 tahun, menjadi penyebabnya. Pasalnya, antara Romario dan Carlos telah terjadi perseteruan sejak Piala Dunia 1998. Meski Romario menyatakan bersedia berdamai guna kepentingan tim nasional, Leao tetap tidak membawa mereka.

Faktor lain penyebab kekalahan Brasil adalah penampilan Rivaldo dan Romario yang mengecewakan. Rivaldo, bintang Barcelona, terpaksa ditarik ke pinggir lapangan di babak kedua, sementara bomber Romario membuang tiga peluang emas. Keputusan Leao untuk mempertahankan Romario, yang sudah berumur dan tidak produktif lagi, menjadi pertanyaan. Apalagi ia bermain untuk klub Vasco da Gama di Liga Brasil, yang kompetisinya tidak seketat liga di Eropa. Menurut analisis Ronny, Leao menginginkan Romario menjadi pelatih kedua di lapangan, mengingat para pemain Brasil adalah bintang yang ingin menunjukkan kebolehannya. ”Leao butuh pemain senior untuk memimpin para bintang itu,” kata Ronny.

Selain persaingan antarbintang di atas, stadion tempat pertandingan dituding menjadi faktor kekalahan Brasil. Stadion Atahaulpa memiliki ketinggian 2.800 meter di atas permukaan laut, yang membuat pasokan oksigen sangat tipis, sehingga pemain harus mengeluarkan energi ekstra.

Meskipun kalah, Brasil tetap diunggulkan Rusdy Bahalwan, mantan pelatih nasional Indonesia, untuk mengantongi tiket ke putaran final. Saat ini, Brasil mengantongi 20 angka dan berada di posisi ketiga—turun satu peringkat. Sedangkan Argentina duduk di puncak klasemen dengan nilai 28 dan bisa dipastikan memperoleh jatah tiket ke Jepang dan Korea. Yang pasti, ”Kalau Piala Dunia tanpa Brasil, kurang bermutu,” ucap Rusdy. Itulah ”candunya” sepak bola, yang bukan hanya soal keterampilan, tapi juga butuh kehadiran para bintang.

Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus