Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdurrahman Wahid dan Baharuddin Lopa bukan tukang sulap. Tapi, Rabu pekan lalu, mereka bisa menyihir ratusan wakil rakyat di Gedung DPR dan jutaan penonton televisi. Dengan mimik serius, Presiden Abdurrahman memberikan pengantar jawaban memorandum. Lalu, dengan gaya bicara yang lugas, Lopa membacakan jawaban Presiden tertulis yang penuh retorika, bantahan, dan juga permintaan maaf. Semua terkesima. Para anggota DPR seolah tunduk pada anjuran ketua mereka, Akbar Tandjung, agar tidak melakukan interupsi.
Yang paling "memukau" adalah cara Presiden bermain logika. Setelah memaparkan berbagai argumen, ia menegaskan bahwa hasil penyelidikan Panitia Khusus mengenai dana Yanatera Bulog dan bantuan Sultan Brunei tidak bisa dijadikan dasar keluarnya memorandum. Dengan kata lain, isi memorandum DPR tidak proporsional. Walau begitu, Abdurrahman mengaku telah menanggapi peringatan dari DPR itu secara wajar. Dan, karena masalahnya sudah jelas, demikian kesimpulan Presiden, tidak diperlukan lagi memorandum kedua.
Namun, sihir di Senayan itu hanya sebentar menebarkan ketenteraman. Tak lama setelah perhelatan usai, komentar yang menyiratkan ketidakpuasan terhadap jawaban Presiden berhamburan. Para petinggi partai juga tidak lama terlena. Rapat resmi dan kasak-kusuk merebak kembali. Mereka berusaha merumuskan lagi sikapnya terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Kalangan Fraksi Partai Golkar, misalnya, sudah bisa membulatkan pendapat mereka, sehari kemudian. Usai memimpin rapat pleno fraksi, Syamsul Mu'arif, Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, menegaskan, "Jawaban Presiden sangat mengecewakan." Namun, para wakil dari Partai Beringin belum memutuskan apakah terus menendang bola untuk mengegolkan memorandum kedua. Sikap itu baru dirumuskan menjelang rapat pleno DPR yang menanggapi jawaban Presiden, 30 April mendatang.
Kamis pekan lalu, para petinggi PDI-P juga menggelar rapat di markasnya di Pecenongan, Jakarta Pusat. Dipimpin oleh ketua umumnya, Megawati Sukarnoputri, mereka membentuk Tim Delapan yang akan merumuskan tanggapan fraksi partai itu pada rapat pleno DPR nanti. Yang menarik, menurut Kwik Kian Gie, salah satu Ketua DPP PDI-P, para anggotanya persis seperti tim penyusun pidato pemandangan umum fraksi mengenai hasil Panitia Khusus untuk kasus Bulog dan Brunei. Tim itulah yang saat itu merumuskan sikap PDI-P, yakni menerima hasil Panitia Khusus dan mendorong dikeluarkannya memorandum. Anggota tim tersebut antara lain Kwik sendiri, Sukowaluyo, Julius Usman, Tarto Sudiro, dan Jacob Tobing. Tapi sejauh ini belum ada arahan yang jelas dari Megawati apakah PDI-P akan menyetujui dikeluarkannya peringatan kedua bagi Presiden. Kwik, yang mencoba menanyakannya kepadanya, hanya mendapat jawaban, "Pokoknya, Tim Delapan kerja dulu, nanti saya baca hasilnya."
Kwik sendiri menepis tuduhan bahwa dirinya pernah dimarahi Megawati gara-gara bermanuver mendesak sidang istimewa. Yang terjadi, menurut pemrakarsa kelompok Kaukus 11 November itu, sang Ketua Umum mengungkapkan bahwa penolakan percepatan sidang istimewa sebagai pendirian partai. Lalu, Megawati meminta agar Kwik tidak terlalu bertubi-tubi mendesaknya, karena waktunya tidak tepat.
Selain kelompok garis keras yang digalang oleh figur seperti Kwik dan juga Arifin Panigoro, di PDI-P ada juga kubu yang moderat. Dimyati Hartono, salah satu contohnya. Ketua PDI-P tersebut terang-terangan menolak munculnya memorandum kedua, apalagi sidang istimewa. Bahkan, Dimyati, yang kebetulan juga ahli hukum tata negara, telah membuat sebuah tinjauan hukum terhadap cara kerja Panitia Khusus skandal Bulog dan Brunei. Kesimpulannya, banyak kesalahan mendasar yang dilakukan oleh Panitia Khusus. Di antaranya, mereka tidak melaporkan anggaran yang digunakan kepada Presiden. Mereka juga tidak secepatnya melaporkan hasil kerjanya kepada seluruh anggota DPR dan Presiden. Kajian itu lalu ia sebarkan ke anggota Fraksi PDI-P, Ketua DPR, dan Ketua MPR.
Gara-gara sikapnya itu, belakangan Dimyati dimusuhi oleh kawan-kawannya di fraksi. Ia dianggap mbalelo dan tidak mau mengikuti garis kebijakan partai. Tapi, di mata lelaki 69 tahun itu, justru dialah yang mematuhi arah partai. Sebab, PDI-P sebetulnya tetap ingin berada di jalur konstitusi. Ia juga emoh dianggap sebagai pembela setia Abdurrahman Wahid. Kata Dimyati, "Justru mereka yang menutup mata terhadap ancaman konflik sosial yang muncul bila Gus Dur dijatuhkan dengan tergesa-gesa."
Berbeda dengan sikap barisan Banteng yang masih mendua, kalangan PPP sudah mengasah pedang. Menurut Alimarwan Hanan, sesuai dengan keputusan hasil rapat fraksi, pihaknya sudah sepakat untuk meminta DPR mengeluarkan memorandum kedua. Partainya, menurut Ketua Fraksi PPP itu, juga menginginkan bahwa perdebatan mengenai memorandum antara DPR dan Presiden diselesaikan lewat SI MPR saja.
Di luar rapat resmi fraksi mereka, para pemimpin fraksi di DPR, kecuali PKB dan sekutunya, sebetulnya sering mengadakan pertemuan tak resmi. Terkadang mereka berbendera kelompok Kaukus 11, sering pula dengan alasan lobi antarfraksi. Di kedua forum ini, sikap mereka amat jelas. Mereka ingin mengegolkan memorandum kedua, lalu mendorong terselenggaranya SI MPR. Walau mereka belum bisa memastikan skenarionya, kata Achmad Sumargono, Ketua Fraksi Bulan Bintang, desakan itu akan sulit dibendung.
Tak cuma menyiapkan serangan kedua. Para koboi"anak-anak" muda berbagai fraksijuga sudah berkasuk-kusuk membicarakan format kabinet dan figur-figur yang bakal mengisinya. Nama wakil presiden yang bakal mendampingi Megawati juga mulai dipikirkan. Akbar Tandjung dan Hamzah Haz merupakan calon kuat. Kata Alimarwan Hanan, PPP akan mengusahakan Hamzah Haz naik. Sementara, sebagai pemeroleh suara terbesar kedua, Golkar juga merasa berhak memperoleh kursi itu. Hanya, mereka tahu diri. Sebetulnya, kata Syamsul Muarif, bagi Golkar tidak terlalu penting siapa yang menjadi wakil presiden. "Dalam situasi sekarang, memperbaiki citra partai saja sudah berat," ujarnya.
Kabarnya, untuk meredam aksi para koboi di DPR, Abdurrahman Wahid menawarkan adanya kompromi lewat perombakan kabinet. Cuma, kecuali PDI-P yang masih abu-abu sikapnya, banyak partai yang sudah menolak. Partai Golkar, misalnya, seperti disampaikan Akbar Tandjung, hanya mau kompromi lewat SI MPR. Di situ, katanya, bisa dikukuhkan Abddurrahman Wahid menjadi kepala negara, dan Megawati menjadi kepala pemerintahan.
Sebagai Ketua DPR, Akbar juga tak menghentikan aksi gerilya untuk memperlancar sidang istimewa. Belakangan, di Senayan beredar fotokopi rekomendasi empat dokter mengenai kesehatan Abdurrahman yang dikirim kepada Ketua DPR dan pemimpin fraksi. Keempat dokter ahli itu adalah Sunarko Kasran (spesialis saraf dan jiwa), Rahman R. Saman (spesialis mata), Suryanto (spesialis jiwa), dan Hadiwitarto (dokter umum). Menurut para dokter yang melakukan observasi kasat mata itubukan pemeriksaan langsungAbdurrahman Wahid mengalami gangguan perilaku. Gejalanya, antara lain, adanya ketidak-konsistenan sikap, cepat tersinggung, dan merasa dirinya besar. Dengan alasan itu, mereka berkesimpulan, secara medis Abdurrahman tidak layak menjadi presiden. Dan, rupanya, Akbar Tandjung menanggapi rekomendasi Dokter Sunarko dan kawan-kawan dengan serius. Senin pekan ini, mereka akan diundang ke DPR untuk dimintai penjelasan sebagai masukan bagi para wakil rakyat.
Mendengar pendapat miring itu, Umar Wahid, ketua tim dokter kepresidenan, tak mau menanggapi. Ia hanya menjelaskan bahwa kondisi kesehatan Presiden Abdurrahman Wahid baik-baik saja lahir dan batin. Tingkat emosi Abdurrahman, kata adik kandungnya itu, baik. Walau mendapat tekanan secara politik, ia biasa-biasa saja. "Kalau saya, mungkin sudah tidak bisa tidur," katanya.
Tapi, menghadapi "pertempuran" babak kedua, Abdurrahman tak bisa berleha-leha lagi. Kalau sampai memorandum kedua lolos, SI MPR akan semakin susah dicegah. Kini, mulai tampak upaya Presiden untuk bertahan dengan mengerahkan segala kekuatannya, termasuk dengan cara menjerat para tokoh Orde Baru yang diduga ikut bermain di balik memorandum.
Kalangan PDI-P pun tak tinggal diam. Kata Arifin Djunaidi, seorang tokoh PKB, pihaknya akan terus melakukan lobi agar memorandum kedua tidak perlu diluncurkan. Kalau DPR ngotot, katanya, ya biar rakyat yang menilai.
Sebagian rakyat mungkin masih peduli. Tapi, mulai muncul pertanyaan: kapan pertikaian yang kian membosankan ini usai?
Gendur Sudarsono, Adi Prasetya, Darmawan Sepriyossa, Edy Budiarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo