Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Apa yang Salah pada Presiden Abdurrahman

Kini sedang diwacanakan istilah kompromi politik. Masalahnya, apakah Presiden Abdurrahman masih bisa dipercaya.

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


GONJANG-GANJING politik sekarang ini masih saja sekitar perlu-tidaknya Presiden Abdurrahman Wahid diganti. Perdebatan ini sudah diterjemahkan dengan aksi massa di lapisan bawah, yang rentan dengan benturan. Padahal, masalahnya sangat sederhana: bukan perlu atau tak perlu diganti, melainkan apakah Presiden Abdurrahman jika tidak diganti akan mampu meneruskan kepemimpinannya sekarang ini.

Kinerja pemerintahan Presiden Abdurrahman sangat buruk. Ekonomi semakin terpuruk, rupiah anjlok, negosiasi dengan IMF terbengkalai, Ketua MA kosong, masalah Aceh masih belum mendapat penyelesaian, dan jutaan pengungsi menderita di berbagai tempat. Masalah korupsi pun tidak sekadar prestasi Jaksa Agung Marzuki Darusman yang sangat minim, tetapi juga karena muncul kasus-kasus seperti Buloggate dan Bruneigate. Setumpuk persoalan ini masih ditambah dengan keadaan Presiden yang sakit—dan ini tak semestinya diperdebatkan lagi, karena semua orang tahu hambatan fisik Presiden itu, bahkan ketika sebelum terpilih.

Kesalahan mendasar Gus Dur justru dimulai tak lama setelah ia dilantik. Ia tidak membangun dukungan dari DPR. Ia sangat menyepelekan DPR. Ingat leluconnya yang tidak lucu tentang DPR sebagai "taman kanak-kanak" itu. Sepertinya, Gus Dur tidak sadar bahwa ia dipilih oleh MPR, yang 500 dari 700 anggotanya adalah anggota DPR yang sekarang ini. Karena itu, membangun dukungan politik mutlak perlu dilakukan. Namun, Gus Dur tak terbiasa dengan politik parlementer, tak terbiasa mendengarkan argumen dan suara kekuatan lain. Singkatnya, ia seperti tak butuh dukungan itu. Padahal PKB, yang mendukungnya, hanya punya 11 persen kursi, ditambah mungkin Partai Demokrasi Kasih Bangsa, yang hanya 5 orang. Dukungan untuk Gus Dur sangat minoritas. Massa pendukung Gus Dur yang berbondong-bondong ke Jakarta, pekan lalu, semestinya juga tahu (dan diberi tahu) hal itu, bahwa ada massa yang jauh lebih besar yang memilih "tidak beraksi".

Kini, dalam keadaan dukungan yang rapuh itu, Gus Dur bisa saja berusaha membangun koalisi di kabinet dan melaksanakan politik komprominya. Soalnya, mungkin sudah terlalu terlambat, juga terlalu sedikit yang ditawarkan. Hal itu juga bergantung pada dua faktor. Pertama, bersediakah Gus Dur berbagi kekuasaan, misalnya, dengan Mega. Tentu dengan penuh kejujuran, tidak ada lagi bohong-bohongan. Dan soal kedua, apakah Mega dan yang lain-lainnya masih bisa percaya hal itu.

Jika kedua faktor ini tak berpihak pada Presiden Abdurrahman, tampaknya penyelesaian politik yang paling konstitusional saat ini adalah menunggu reaksi DPR terhadap jawaban Gus Dur mengenai Memorandum I. Besar kemungkinan Memorandum II akan jatuh, dan apa pun setelah itu, yang jelas rakyat akan semakin lama menunggu ketidakpastian, dan menderita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus