Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para mahasiswa, pers, masyarakat, semua orang yang jujur, saya sendiri, mempunyai satu tekad yang sama: korupsi harus diberantas.... Mengenai pemberantasan korupsi, tidak ada perselisihan pendapat di antara kita . Oleh karena, sesuai dengan tugas saya, dengan tekad saya, dengan langkah-langkah yang telah saya ambil, saya akan mendapat dukungan moril dari masyarakat dalam pemberantasan korupsi. |
Bukan, bukan dia, sayangnya. Kalimat heroik di atas dilontarkan Presiden Soeharto di DPR, lebih dari 30 tahun lalu, pada 16 Agustus 1970. Anda boleh saja geli (atau gemas) dengan kelihaian Soeharto menggabungkan kalimat " semua orang yang jujur, saya sendiri..." itu. Tapi, untuk lebih fair, mungkin tiga tahun pertama menjabat presiden itu Soeharto memang serius benar memerangi korupsi. Orang kemudian tahu Soeharto kejeblos (atau menjebloskan diri) dalam kubangan korupsi. Dan ia, presiden yang berkuasa 32 tahun itu, dipermalukan, terhina, menerima status tersangka korupsi dari pemerintahan baru. Kita pun sadar, presiden mana pun, Soeharto atau Abdurrahman, bisa berkata-kata sehebatnya, selantangnya, soal pembasmian korupsi, tapi tak gampang melakukannya.
Apalagi jika tekad membasmi korupsi itu setengah hati atau dimaksudkan untuk sekadar "membedaki" wajah yang tengah babak-belur digempur lawan-lawan politik. Pekan ini, Presiden Abdurrahman menegaskan tekad yang sama dengan tekad Soeharto pada 1970 itu: korupsi harus dibasmi. Ia minta DPR membuat undang-undang pembuktian terbalik, sehingga orang kaya yang diduga korup bisa seketika ditangkap dan disuruh membuktikan kekayaannya "bersih" korupsi. Ia pindahkan Bob Hasan, menteri kabinet Soeharto, dari Penjara Cipinang ke Pulau Nusakambangan, yang selama ini dihuni kriminal kelas berat. Ia mulanya berencana mengganti Jaksa Agung Marzuki Darusman dengan Baharuddin Lopa, yang dikenal tanpa kompromi. Marzuki, orang Golkar itu, sudah lama ditengarai sebagai "ganjalan" untuk menyeret tokoh-tokoh Golkar yang diduga korup. Bahwa ia sampai akhir pekan ini belum digusur, itu lantaran Marzuki akhirnya mau menahan bekas menteri Ginandjar Kartasasmitayang pekan lalu "melarikan diri" dari Gedung Kejaksaan Agung saat akan diperiksa.
Persiapan "perang" yang meyakinkan. Publik pun sementara ini mulai bereaksi baik terhadap tindakan Presiden Abdurrahman, setidaknya dalam kasus Bob Hasan. Jajak pendapat majalah ini mengatakan begitu. Hampir 85 persen responden setuju terpidana korupsi kelas berat dikirim ke Nusakambangan. Alasannya, koruptor memang harus mendapatkan hukuman setimpal. Dan 64 persen responden mengatakan langkah Presiden Abdurrahman itu "keputusan yang tepat."
Tapi ada 23 persen responden yang menilai pengiriman Bob ke Nusakambangan sekadar "keputusan politis untuk memperbaiki citra pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid." Lebih sedikit, memang, tapi pendapat begini bukan tanpa alasan. Sejak jatuh memorandum pertama DPR pada 1 Februarikarena diduga terlibat skandal duit Bulog dan BruneiPresiden Abdurrahman terus ditekan seteru politiknya. Belum terdengar PDI-P dan Golkar, dua besar pemenang pemilu, mau melakukan "kompromi" dengan Abdurrahman. Sebab, selain Abdurrahman sendiri tak "menyodorkan" tawaran menarik, Partai Kebangkitan Bangsa, yang mendukungnya, gagal merangkul partai-partai besar di DPR untuk "melunakkan" sikap kepada Presiden. PKB malah terkesan mengikuti "jurus dewa mabuk" Presiden, yang melabrak siapa saja, marah-marah, dan seperti memberi "angin" kepada pendukung Presiden untuk datang ke Jakarta dan menggertak partai-partai yang memusuhi orang pertama NU yang jadi presiden itu.
Tak mampu menggalang dukungan politik, jurus "melabrak" Golkarsimbol Orde Baru dan Soehartodan semua "akar"-nya dilakukan. Tapi, sebaiknya, keplok untuk Presiden Abdurrahman ditunda dulu. Dan Presiden pun disarankan jangan pagi-pagi minta aplaus dari masyarakat. Sejarah panjang pembasmian korupsi di negeri ini, apa pun motifnya, membuktikan usaha itu selalu kandas di balik meja-meja kompromi penguasa dengan si koruptor.
Korupsi mulai diperangi pada 1955, tapi di masa parlementer itu upaya ini tak konsisten dilakukan. Di zaman Soeharto, pada 1967, mulailah dibentuk berbagai tim, misalnya Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai Jaksa Agung Jenderal Sugih Arto, lalu diteruskan Jaksa Agung Jenderal Ali Said. Toh, yang dijaring cuma "kelas teri", sedangkan para birokrat yang bergelimang uang haram tetap saja tidur nyenyak. Berbagai tim tadi tak jelas nasibnya, apalagi hasil kerjanya.
Dan itu artinya pemberantasan korupsi tak cukup dengan tim yang sifatnya ad hoc, terbatas ruang lingkup dan kewenangannya. Tak cukup pula dengan mengandalkan seorang Marzuki, Lopa, atau siapa pun.
Majalah ini mengulangi, sekali lagi, perlunya dibentuk lembaga superkuat untuk membasmi korupsi. Mari belajar dari Hong Kong, negeri yang pernah paling korup di dunia tapi kini menurut indeks Transparency International menjadi negara terbersih ke-15 dari 99 negara. Indonesia dalam indeks ini berada di peringkat ketiga negara paling korup.
Hong Kong punya Komisi Independen Anti-Korupsi (ICAC), yang dibentuk pada 1974. Lembaga ini disokong undang-undang yang ampuh, di antara pasalnya mengatur pembuktian terbaliksenjata baru yang baru "dicanangkan" Abdurrahman. Wewenangnya luas, dari menggunakan senjata sampai melakukan penahanan. Tugasnya cuma mengurus korupsi, stafnya 1.300 orang, dengan bujet cukup besar.
Lembaga ini langsung bertanggung jawab kepada Kepala Pemerintahan Hong Kong. Dan, ini penting, ICAC dijauhkan dari intervensi politisi. Parlemen cuma mengawasi aspek manajemen dan penggunaan anggaran dan diharamkan ikut campur dalam penanganan kasus. ICAC dikontrol komisi pengawas, lembaga khusus penerima pengaduan masyarakat, dan investigator internal. Pada 1995, salah satu deputi ICAC tanpa ampun dipecat karena dicurigai menjadi antek mafia Triad.
Selama 1974-1998, ICAC menerima 63 ribu pengaduan. Dari jumlah itu, 36 ribu kasus telah diinvestigasi dan 8.600 di antaranya diajukan ke meja hijau.
Membentuk lembaga sejenis ICAC di sini jelas gampang. Tapi maukah Presiden Abdurrahman "menembak" semua koruptor tanpa pandang bulu? Ini yang lebih baik dijawab duludengan jujur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo