Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Boikot Dibalas Boikot

Uni Soviet tidak ikut Olimpiade ke-23 di Los Angeles dengan alasan AS tidak menjamin keselamatan para atletnya. (or)

19 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR empat tahun lalu presiden AS Jimmy Carter memaklumkan boikot terhadap Olimpiade ke-22 di Moskow sebagai protes atas invasi Uni Soviet ke Afghanistan. Para atlet secara pribadi tidak dilarang berkompetisi di gelanggang itu, tapi dalam prakteknya secara resmi 31 negara mengikuti jejak AS. Kremlin terpukul sekali. Uni Soviet telah menghabiskan US$ 3 milyar hanya untuk sebuah Olimpiade yang berantakan. Arang telah tercoreng di kening dan Ibu Rusia tidak akan pernah melupakan kepahitan ini. Selasa pekan lalu, Marat Gramov atas nama Komite Olimpiade Nasional Uni Soviet menyatakan, negaranya tidak mungkin ambil bagian dalam Olimpiade ke-23 di Los Angeles, AS, Juli depan. Balas dendam? Mungkin saja, mengapa tidak? Untuk kesekian kalinya gelanggang Olimpiade kembali disalahgunakan bagi kepentingan politik internasional. Tapi jika Washington pada tahun 1980 itu mengajukan alasan politik, Moskow justru maju dengan alasan nonpolitik. Soviet tarik diri karena, "AS tidak menjamin keselamatan atlet mereka, tidak pula menghormati hak dan martabat olahragawan, serta tidak menciptakan kondisi yang normal untuk sebuah pertandingan besar." Adakah ini semata-mata tuduhan yang lepas dari kenyataan obyektif seperti yang biasa disuarakan oleh Moskow? Di samping kecurigaan bahwa kontingen Soviet takut kalah (khususnya dari Jerman Timur, negara satelitnya), ada beberapa kecemasan Moskow lainnya yang masuk akal juga. Pihak Rusia mengkhawatirkan tiadanya jaminan keamanan bagi para atlet mereka menghadapi apa yang disebut sebagai "histeria antiSoviet." Ini bisa diterima apalagi peristiwa penembakan pesawat KAL masih segar dalam ingatan orang. Komersialisasi Olimpiade juga dikecam, tapi, lebih dari itu, Moskow amat keberatan akan campur tangan Washington yang berlebihan dalam urusan olah raga. Contohnya: pemerintah AS menolak memberi visa pada ofisial kontingen Soviet Oleg Yermishkin, karena ia dicurigai sebagai agen rahasia KGB. Tapi di atas semuanya Moskow cemas kalau-kalau para atlet Rusia ramai-ramai minta suaka di AS. Yang terakhir ini benar-benar bisa meruntuhkan gengsi Uni Soviet. Kalau sudah begitu, boikot memang adalah pilihan terakhir yang paling jitu. Tapi para diplomat melihatnya secara lain. Kata mereka, pemboikotan ini tidak berdiri sendiri. Ia satu paket dengan pembatalan mendadak kunjungan Deputi Pertama PM Ivan Arkhipov yang direncanakan melawat ke Beijing Sabtu lalu. Kunjungan ini -- yang paling penting sejak kunjungan PM Alexei Kosygin tahun 1969 -- tiba-tiba saja ditunda, tanpa alasan jelas. Ini kemudian dianggap sebagai teguran pada RRC yang mulai akrab kembali dengan AS. "Biasanya, Kremlin berhati-hati terhadap Beijing, tapi sekarang rupanya tidak perlu lagi," komentar seorang diplomat Barat. Dalam paket yang sama, termasuk juga kasus pembangkangan ilmuwan Soviet terkenal, Andrei Sakharov. Empat hari sebelum boikot, ia diserang gencar oleh pers Moskow. Istrinya, Yelena Bonner, dituduh berkomplot dengan diplomat AS dalam upaya memperoleh suaka. Karena "dosa" itu Yelena dikenai tahanan kota bersama-sama suaminya. Sakharov sendiri memang sudah memaklumkan niat berpuasa, agar istrinya diizinkan berangkat ke Barat, untuk berobat. Sakharov adalah ilmuwan terkemuka yang selalu menyulitkan Kremlin karena berbagai protesnya. Dikhawatirkan, wabah pembangkangan Sakharov bisa menular ke para atlet yang bisa terkagum-kagum melihat Amerika. Tapi mengapa Soviet menunggu begitu lama hanya untuk mengatakan "nyet"? Ini juga taktik yang tercakup dalam paket tersebut di atas. Menghajar AS dan mengecewakan dunia haruslah dilakukan lewat persiapan yang matang. Terbukti sampai kini, gelombang kejutan boikot masih mengguncang dunia bebas. Seakan tidak percaya akan balas dendam Soviet, pihak penyelenggara Olimpiade Los Angeles masih menawarkan dua hal. Selama pertandingan berlangsung, mereka tidak keberatan bila kontingen Soviet menginap di atas kapal yang berlabuh di lepas pantai. Mereka juga setuju jika tamu penting itu mengurus transportasinya sendiri. Sementara itu, Presiden Ronald Reagan mengirimkan nota yang intinya "menjamin keamanan Olimpiade", sedangkan Presiden Komite Olimpiade Internasional Juan Antonia Samaranch segera terbang ke Moskow dalam rangka melunakkan Presiden Chernenko. Tapi tipis kemungkinan ia akan berhasil. Sampai laporan ini dibuat, sudah tujuh negara mengikuti jejak Soviet yakni: Jerman Timur, Bulgaria, Vietnam, Mongolia, Cekoslovakia, Laos, dan Afghanistan. Kuba diperkirakan mundur, tapi Nikaragua tidak. Rumania, si nakal dari blok sosialis, tetap ikut serta, dan RRC, Sabtu lampau, baru saja memastikan akan ikut memeriahkan Olimpiade ke-23 itu. Beijing memang sudah lama mencita-citakan suatu pentas internasional untuk membuktikan keunggulan atletnya, terutama dalam nomor-nomor senam, lompat tinggi pria, voli, dan tenis meja. Tapi itu belum apa-apa dibandingkan keunggulan Jerman Timur dan Uni Soviet di hampir semua nomor atletik. Boikot mereka, tak dapat tidak, sangatlah menjatuhkan mutu Olimpiade Los Angeles, sekaligus merusakkan citra olah raga sebagai lambang perdamaian. Adalah Baron Pierre de Coubertin yang pada tahun 1896 berhasil memperjuangkan terbangkitnya kembali Olimpiade modern, yang pertama kali diselenggarakan di Athena. Cendekiawan Prancis ini yakin, kompetisi internasional di kalangan olahragawan akan dapat melenyapkan ketegangan dunia. Tapi sejak PD I, cita-cita de Coubertin mengalami ujian berat yang kian lama kian sulit diatasi. Gelanggang olah raga itu menjurus jadi kancah politik internasional yang dimanfaatkan baik untuk kepentingan negara kecil, apalagi negara besar. Olimpiade Melbourne (1956), misalnya, diributkan oleh protes Mesir, Irak, dan Libanon terhadap Israel yang mencaplok Terusan Suez. Pada gelanggang yang sama Belanda, Spanyol, dan Swiss protes terhadap invasi Rusia di Hungaria. Dan Afrika Selatan, sejak Olimpiade Roma (1960) dikucilkan dari pesta internasional ini karena politik rasialismenya. Indonesia dan Korea Utara harus menarik kontingen mereka dari Olimpiade Tokyo (1964) karena komitenya melarang kehadiran setiap tim yang pernah ambil bagian dalam Ganefo di Jakarta. Selanjutnya, Olimpiade Meksiko (1968) berubah jadi gelanggang protes atlet hitam, sedangkan Olimpiade Munich (1972) dicemarkan oleh teroris Palestina yang sempat membunuh dua atlet Israel dan menangkap sembilan lainnya. Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa sejak dulu Olimpiade sudah bukan lagi gelanggang olah raga murni. Politik telah mencabik-cabik integritasnya dan olah raga sebagai lambang perdamaian dunia tinggal slogan kosong belaka. Komersialisasi telah ikut pula mewarnai penampilan Olimpiade. Moskow menghabiskan US$ 3 milyar untuk itu, sedangkan AS bisa menekan biaya sampai hanya US$ 500 juta. Dana ini terkumpul dari sekian banyak pengusaha swasta yang membayar tinggi untuk hak menggunakan simbol Olimpiade bagi promosi barang-barang mereka. Sam sang elang itulah simbol yang dipilih Komite di Los Angeles, sedangkan Misha sang beruang dikenal sebagai maskot Olimpiade Moskow. Tapi kedua simbol yang lucu-lucu itu tidak berbicara apa-apa untuk pihak-pihak yang bermusuhan, dalam hal ini dua superpower: AS dan Uni Soviet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus