GOLF bukanlah olahraga gedongan. Tak percaya? Datanglah di Padang Golf Sawangan, Depok, Jawa Barat. Setiap sore, puluhan anak dari kampung sekitar dengan riang dan ringan mengayunkan stik golf. Abdullah, 15 tahun, misalnya, tak perlu repot dengan pakaian olahraga yang perlente untuk bermain di sana. Cukup mengenakan celana jins yang dipotong selutut dan sandal jepit warna merah, ia pergi ke lapangan golf—hanya 100 meter dari rumahnya—dengan menenteng sebilah stik.
Sesampai di lapangan, teman-teman Abdullah sudah lebih dulu mengayunkan stik golf. Beberapa di antaranya rebahan di rumput sambil melihat temannya beraksi. Delapan lubang lainnya juga dikerubuti para ”calon pemain nasional” itu. Sesekali terdengar tawa atau ejekan ketika bola yang dipukul teman mereka meluncur jauh dari sasaran. Ketika matahari mulai merapat di ufuk barat, mereka meninggalkan lapangan.
Padang Golf Sawangan memang seakan memberikan ”berkah sampingan” bagi se-bagian warga yang tinggal di sana. Selain mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai di lapangan golf, dari keisengan mengayunkan stik setiap hari itulah banyak warga Bojongsari yang hidup dari bermain golf.
Tak tanggung-tanggung. Ada pegolf pro-fesional seperti Maan Nasim, yang sempat ikut kejuaraan dunia di Skotlandia, Sanusi, asisten pelatih Pelatnas Golf SEA Games di Kula Lumpur lalu, serta Muhammad Sura dan Jemin Saputra, yang juga pegolf andal. Dari yang amatir, seperti Iin Setyawan, atlet SEA Games Kuala Lumpur, Alga Topan, yang pada tahun 1994 mampu berada di enam besar kejuaraan junior dunia di Amerika Serikat, sampai tingkat junior nasional seperti Henry Nasim, Denny Carlos, semuanya asli dari Desa Bojongsari.
Kepiawaian dan ketertarikan mereka memukul bola berawal dari cerita sukses yang dijalani Maan Nasim, 42 tahun, pegolf profesional papan atas di Indonesia saat ini. Pada tahun 1972, rumah orang tua Maan digusur karena dibangun lapangan golf seluas 72 hektare itu. Untunglah, orang tua Maan hanya pindah dekat, yakni di belakang lapangan golf.
Sebagai anak usia 10 tahun, saat itu rasa ingin tahu Maan timbul melihat orang bermain golf di bekas lahan rumah orang tuanya itu. Maan lantas meniru gaya dan permainan itu dengan stik dari bonggol bambu atau stik patah yang disambung dengan kayu. Lapangannya, ya, lapangan Sawangan.
Perilaku Maan itu kemudian ditiru oleh anak-anak lain. Dari hanya beberapa, kemudian hampir semua anak Desa Bojongsari setiap hari bermain golf. Akibatnya, ”Kami dikejar-kejar satpam. Kalau bayar, jelas enggak mampu,” cerita Maan.
Kesempatan bermain golf secara gratis dan aman tiba ketika di usia 15 tahun Maan menjadi ”kedi”—pembawa peralatan pemain golf—di Sawangan. Setelah mengantar tamu bermain, Maan berlatih. Di tahun keempat ia ngedi, seorang pegolf tertarik pada keterampilan Maan dan menyarankannya ikut kejuaraan. Sejak saat itu, profesi kedi ia tinggalkan dan Maan menghidupi dirinya dari kejuaraan golf.
Tak terhitung penghargaan yang ia terima, baik dari dalam maupun luar negeri. Dan yang paling berkesan bagi Maan adalah ketika ia ikut kejuaraan dunia tahun 1986 di Skotlandia. ”Meski kalah, saya bermain melawan pemain top dunia,” kata Maan, bangga.
Sukses Maan selama 20 tahun mengayunkan stik di berbagai kejuaraan menjadikannya simbol sukses pegolf Desa Bojongsari. Selain puluhan piala, ia telah memiliki rumah berlantai dua di Bojongsari. Sebuah sedan Mitsubishi dan sebuah motor mengisi garasinya, hasil bermain golf. Kesuksesan Maan memotivasi remaja Desa Bojongsari. Bahkan saudara-saudaranya, adik kandungnya Muhammad Sura, sepupunya Jemin, dan keponakannya Sanusi, Indra, serta Iin Setyawan banyak meng-ikuti jejaknya menjadi pegolf.
Sanusi, misalnya, ketika menjadi kedi telah mengikuti berbagai kejuaraan amatir, meskipun untuk itu bapaknya sering menjual atau menggadaikan barang se-belum kejuaraan. Maklum, sang bapak hanya bekerja sebagai perawat rumput di Sawangan. Untuk mengikuti kejuaraan golf, uang pendaftaran sekitar Rp 300 ribu dan uang kedi Rp 70 ribu plus tipsnya. ”Belum makan, minum, serta transportasi. Mahal biayanya,” kata Sanusi, yang menjadi asisten pelatih Pelatnas Golf SEA Games lalu.
Namun, perjuangan Sanusi, 32 tahun, pun berbuah manis. Setelah berkali-kali juara di tingkat amatir, tahun 1990 ia masuk Pelatnas. Namun, Sanusi tidak puas hanya sampai di sini. Karena pertandingan di kelas amatir tidak menghasilkan uang, sejak 1994 ia masuk pro.
Meski berkali-kali juara di amatir, persaingan di pro ternyata sangat ketat. Selama karirnya di pro, baru sekali ia juara pertama, yakni di Jagorawi Japan Golf Foundations Open 2001, Mei lalu. Dengan kemenangan tersebut, ia berhak atas uang sebesar Rp 39 juta. Hadiah sebesar itu tidak semuanya disimpan. Bersama pamannya, Maan, Sanusi menggunakan sebagian hadiah itu ke Malaysia guna mengikuti kejuaraan golf di sana.
Generasi di bawah Sanusi ada Indra dan Iin (lihat Empang untuk Golf). Di tingkat junior ada Henry, Alga, Denny, dan Fahmi. Tiga nama terakhir adalah kakak-beradik anak Anam K., pegolf profesional seangkatan Maan yang kini berbisnis peralatan golf. Dukungan Anam membuat Alga dan adik-adiknya mampu mengukir prestasi.
Alga, remaja kelahiran 8 Desember 1983 itu, tahun 1994 mampu berada di enam besar kejuaraan junior tingkat dunia di AS. ”Pertama kali ikut kejuaraan dunia, saya sempat satu turnamen dengan Tiger Wood, tapi beda kelompok umur,” tutur Alga, bangga.
Namun, tidak semua anak Bojongsari mampu mengecap prestasi seperti Iin dan Alga bersaudara. Abdullah, contohnya. Ia beberapa kali sempat mengikuti kejuaraan amatir. Karena belum membuahkan kemenangan, orang tua Abdullah langsung menghentikan dukungannya. ”Bapak sudah enggak punya duit lagi untuk membiayai saya main golf,” katanya sedih.
Begitu banyaknya pegolf yang berasal dari Bojongsari membuat setiap kejuaraan golf ibarat kejuaraan antar-RT bagi mereka. Sebab, dalam satu kejuaraan, pasti lebih dari 10 pegolf yang berasal dari Bojongsari. Kalau kejuaraannya di luar Jakarta, mereka berangkat bersama-sama. ”Kita naik kereta, menginap di hotel yang sama. Satu kamar ada yang bertiga. Biar irit,” kata Sanusi.
Gairah di ”kampung golf” itu merupakan hal yang menggembirakan bagi Sekretaris Jenderal Persatuan Golf Indonesia (PGI), Kusnan Ismukanto. Menurut dia, kebijakan Padang Golf Sawangan yang membolehkan warga sekitar bermain golf di lapangannya sesuai dengan keinginan PGI. ”Kita bahkan menganjurkan agar lebih banyak lagi pengelola lapangan yang begitu,” kata Kusnan.
Kusnan tentu benar. Sebab, selain kebijakan itu memperluas ketersediaan atlet berbakat, juga bisa menghindari kejadian yang dialami Padang Golf Cimacan, Puncak, Jawa Barat. Di Cimacan, warga mencangkuli lapangan golf untuk nafkah.
Agus S. Riyanto, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini