Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pengakuan Habibie

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjadi pensiunan bukanlah jaminan hidup tenang, terutama bila jabatan terakhir yang disandang adalah Presiden Republik Indonesia. Almarhum Sukarno menjalaninya dalam tahanan rumah. Soeharto banyak didemo atau mondar-mandir ke pengadilan dan, belakangan ini, ke rumah sakit. Bacharuddin Jusuf Habibie, yang menjalani tetirahnya jauh di Jerman, pun tak lepas dari jangkauan perkara. Dua orang jaksa sibuk memeriksanya di gedung perwakilan RI di Hamburg, 10 Desember lalu. Dalam pemeriksaan yang berlangsung dua hari itu Habibie harus menjawab 42 pertanyaan. Hampir semuanya berkaitan dengan dugaan kasus penggelapan dana non-neraca Badan Urusan Logistik (Bulog) senilai Rp 54,6 miliar yang dikeluarkan saat Habibie menjadi presiden. Keterangannya diperlukan untuk memperjelas siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas kegiatan korupsi ini. Soalnya ada kemungkinan akan terjadi pergeseran status tersangka utama, yang semula Rahardi Ramelan menjadi Akbar Tandjung. Bila pergeseran ini terjadi, dampaknya pada dunia politik Indonesia akan besar. Masalahnya, sebagian besar dana itu, sekitar Rp 40 miliar, dicurigai telah digunakan oleh Partai Golkar untuk kegiatan kampanye menjelang pemilu. Jika kecurigaan ini terbukti, partai yang meraih seperempat jumlah suara pada Pemilu 1999 ini akan dilarang mengikuti pemilihan umum mendatang, bahkan boleh jadi akan mengalami nasib dibubarkan. Para petinggi dan pendukung Partai Golkar tentu tak ingin hal ini terjadi. Itu sebabnya mereka—umumnya bekas pejabat tinggi sipil maupun militer dan pengusaha yang banyak uangnya—sibuk menekan Habibie agar menyelamatkan Akbar Tandjung. Salah satunya, dengan memintanya berperan menurut skenario yang telah disusun. Setidaknya, itulah yang terungkap dari kalangan dekat Habibie. Tekanan itu tak hanya berupa bujukan, melainkan juga—lagi-lagi menurut kalangan dekat Habibie—ancaman untuk menyeret Habibie ikut tenggelam bersama Partai Golkar jika tawaran ikut skenario ditolak. Yaitu, dengan membongkar berbagai kesalahan yang dilakukan presiden ketiga Republik Indonesia ini pada saat masih menjabat. Tak jelas benar sejauh mana ancaman telah dilontarkan dan bagaimana efektivitasnya. Yang pasti, bila Habibie memutuskan ikut dalam persekongkolan jahat itu, bangsa Indonesia akan mengalami kerugian besar. Sebab, berarti perilaku politik Orde Baru akan terus berlangsung. Siapa pun partai yang berkuasa akan mudah tergoda untuk mencuri uang rakyat demi melanggengkan kekuasaan. Sebab, tanpa adanya ancaman konsekuensi hukum yang berat dan kredibel, siapa takut? Yang takut adalah mereka yang mencintai bangsa ini. Maka, per-tanyaannya sekarang adalah apakah Bacharuddin Jusuf Habibie termasuk dalam kategori seperti ini. Jawabannya akan terlihat di pengadilan nanti, itu pun dengan berasumsi bahwa kasus yang sekarang dikenal dengan sebutan Buloggate II itu akhirnya akan masuk ke meja hijau. Bila Habibie betul-betul seorang patriot, seperti acap kali diucapkannya, ia akan memilih memberi kesaksian apa adanya. Sebab, dengan melakukan hal ini, Habibie akan menyumbangkan peluang emas bagi rakyat Indonesia untuk memutuskan sebuah ikatan masa lalu yang sangat membebani gerak reformasi. Paradigma lama bahwa partai yang berkuasa boleh seenaknya saja menggunakan dana publik akan berubah menjadi paradigma baru yang menegaskan siapa pun pencuri uang negara akan mengalami konsekuensi hukum yang seharusnya, tanpa kecuali. Sebaliknya, bila Habibie memutuskan untuk menyelamatkan diri tanpa peduli pada nasib bangsa, ia akan dikenang sebagai pengkhianat besar Republik. Ia akan menjadi simbol perlawanan Orde Baru terhadap reformasi. Kebijakan-kebijakannya ketika menjadi kepala negara, yang sekarang ini dianggap sangat reformis seperti pembebasan partai politik dan pers, akan ternoda oleh kecurigaan bahwa itu semua dilakukan semata-mata karena terpaksa, demi mempertahankan kekuasaan belaka. Bagi mereka yang merasa mengenal dekat Bacharuddin Jusuf Habibie, pilihan menjadi pengkhianat bangsa dianggap sebagai sebuah kemustahilan. Namun, bukan berarti ia dipastikan akan memutuskan untuk memberi kesaksian apa adanya. Kekuatan dan sekaligus kelemahan Habibie adalah loyalitasnya yang tinggi kepada kalangan yang dianggapnya sahabat atau anak buah. Padahal, orang ramai telah menyaksikan begitu banyak tokoh jahat yang mendekat-dekatkan diri pada Habibie, terutama saat ia menjadi orang nomor satu di republik ini. Kini Habibie telah lebih dari dua tahun menjalani masa pensiunnya. Besar harapan ini adalah waktu yang cukup baginya untuk memilah siapa kawan sejati dan mana yang bukan. Setidaknya sebagian besar mereka yang oportunis pasti telah terlihat wajah aslinya. Walhasil, Habibie tak harus berpikir dua kali untuk memberikan kesaksian apa adanya yang memberatkan mereka. Bahkan sebenarnya yang memberatkan kawan sejati pun tetap harus dilakukan. Pengakuan tulus seorang Habibie boleh jadi akan memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh yang lain untuk membeberkan sejarah bangsa ini sejujurnya. Anak cucu kita, yang kini terbebani oleh utang segunung dan beragam krisis di berbagai pelosok Nusantara, mempunyai hak untuk tahu mengapa mereka mendapat warisan seperti ini. Demi merekalah pengakuan tulus seorang Habibie terasa menjadi begitu penting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus