Di suatu siang, tujuh tahun silam, di bawah naungan bayang-bayang dedaunan tumbuhan Kebonpala, Teguh Karya bergumam, "Saya ingin membuat film, satu, layar lebar. Yang bercerita tentang rasa kangen. Kamu ada cerita?"
Ditanya begitu oleh seorang empu film, saya setengah gugup menjawab, "Di sana-sini, tersimpan di komputer dan belum layak terbit…."
Teguh Karya, saat itu sudah mencapai 60 tahun, tengah menyelesaikan—dengan agak terengah-engah—film televisi Perkawinan Zubaedah, yang dibiayai oleh Universitas John Hopkins. "Gua nggak percaya kalau belum layak. Coba ceritakan satu saja."
Saya menceritakan satu kisah yang memang terinspirasi dari rumah Teguh Karya yang luas, teduh, dan penuh pepohonan. Seorang aktor tua yang gemar mengelus piala kejayaannya. Seorang tetangga waria. Seorang tetangga pemain lotere…, dan mereka semua kembali ke dalam sebuah masa lalu melalui sekelabatan mimpi-mimpi….
"Saya juga sudah lama ingin bikin film seperti itu. Seorang tua yang bermimpi tentang masa lalunya. Tapi gua lebih suka fokus sama satu orang. Dan saya lebih setuju jika peran utamanya seorang aktris. Jangan aktor," katanya bersemangat.
"Kenapa mesti perempuan?"
"Karena perempuan selalu lebih banyak memiliki tantangan, banyak problem dan tuntutan dari masyarakat. Menjadi primadona di dunia film jauh lebih pedih daripada menjadi aktor lelaki," katanya seraya duduk di depan saya. Saya menggaruk kepala sembari merasa tak yakin. Mosok, sih? Saya membayangkan para primadona alumni "tangan" Teguh Karya yang dahsyat-dahsyat langganan pemegang Piala Citra: Tuti Indra Malaon, Christine Hakim, Ninik L. Karim. Apa mereka pedih? Pembicaraan tak berlanjut. Teguh kembali memotongi daun tumbuhannya sembari berceloteh soal mobilnya yang hilang dicuri dan saya sibuk mencatat hasil wawancara saya untuk harian Media Indonesia, tempat saya berlabuh saat majalah ini dibredel.
Hanya beberapa saat setelah itu, Teguh meminta salah seorang anak buahnya menelepon saya. Ia menyatakan sudah lama ia memikirkan cerita film itu dan bahkan ia sudah menyiapkan judulnya, Layar Perak yang Terkoyak. Ceritanya sendiri tak pernah saya ketahui perkembangannya. Pembicaraan itu hanya menjadi pembicaraan, seperti halnya banyak ide Teguh Karya yang lain yang belum sempat terwujud karena sang tubuh digerus usia. Setahun kemudian, Teguh terserang stroke, dan saya tak tahu apakah ia sempat mewujudkan ide itu menjadi sebuah skenario, seperti halnya saya tak tahu seberapa banyak ia bisa mengingat kami, para wartawan, di tahun 2001, ketika sudah hidup di dalam dunianya yang sunyi.
Ketika akhirnya ia tidur untuk selamanya pada 11 Desember silam, ia bukan hanya menyiapkan sebuah judul, tetapi juga sebuah "rumah abadi" bagi dirinya, yakni di dalam sebuah guci yang menyimpan abu kremasi tubuhnya yang kemudian diletakkan oleh Slamet Rahardjo—murid, aktor, sutradara "alumni" tangannya—di sebuah lubang sedalam tiga meter yang sudah dipersiapkan lima tahun silam.
Lahir di Pandeglang, Banten, 22 September 1937 dengan nama Lim Tjoan Hok—dengan nama baptis Steve Lim—sebagai anak sulung dari lima bersaudara, Teguh Karya adalah salah satu pilar perfilman Indonesia (seperti juga Arifin C. Noer) yang berangkat dari dunia teater. Setelah lulus dari Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan bekerja sebagai manajer panggung di Hotel Indonesia, Teguh dengan Teater Populer mementaskan 27 drama sejak tahun 1968 hingga 1991.
"Saya ingat sampai sekarang cara dia mendidik kami, sangat keras. Jadi, bertahun-tahun kami dianggap sebagai gladiator. Jadi, nyaris tidak boleh berpikir lain selain teater dan ke-senian. Jadi, 24 jam itu betul-betul pikiran kita, energi kita, digedor hanya untuk memikirkan itu," tutur N. Riantiarno.
"Kami" di sini tentu saja para cikal bakal pilar teater (dan film) modern Indonesia: Slamet Rahardjo, N. Riantiarno, Tuti Indra Malaon, Franky Rorimpandey, Sylvia Widiantono, Henky Solaiman, George Kamarullah, Dewi Sawitri, dan seterusnya. Dan istilah "gladiator" itu juga digunakan Slamet Rahardjo ketika menggambarkan Teguh Karya. "Dia gladiator yang tak kenal lelah. Ia pekerja keras yang seharusnya lahir di Sparta," kata Slamet Rahardjo, murid kesayangan Teguh yang dipercaya almarhum untuk mengurus abu kremasinya.
Menjadi murid dan kawan Teguh Karya memang merupakan bagian dari keluarga besar Teater Populer. Pada tahun 1970-an hingga akhir 1980-an, Gang Pala, sebuah rumah tua luas yang teduh, rimbun, dan inspiratif—dan lokasi yang sering digunakan untuk syuting film-film Teguh—adalah sebuah padepokan tempat seniman teater dan film berguru.
Tak semuanya terus-menerus bercokol di situ. Tapi toh mereka tetap merasa seperti satu keluarga besar. Itu terlihat terutama justru ketika Teguh Karya sudah jatuh sakit hingga meninggal dunia, maka keluarga Teguh terdiri dari saudara-saudaranya dan kelompok Teater Populer.
Setelah mendirikan Teater Koma—seperti juga alumni Teater Populer lainnya—Riantiarno mengaku bahwa "apa yang ditanamkannya menjadi dasar dari pekerjaan kami sekarang". Ketika teater di Indonesia mulai berpaling memilih paradigma baru—dengan bereksperimen kepada keragaman ekspresi bahasa yang membuat teater tak hanya bisa digolongkan pada suatu aliran tertentu—Teguh Karya dengan Teater Populer (dan juga Studi Teater Bandung) tetap "bersetia" kepada bentuk tradisional dengan mengadaptasi drama-drama Barat kepada randai atau Bali. Menurut penyair Goenawan Mohamad, yang perlu diperhatikan dari konsistensi Teguh Karya adalah "kemungkinannya untuk mengembangkan seni peran, sesuatu yang tenggelam di pentas Indonesia akhir-akhir ini."
Di dunia film, Teguh Karya adalah empu artistik. Dari Wajah Seorang Laki-Laki, Cinta Pertama, Ranjang Pengantin, Kawin Lari, Badai Pasti Berlalu, November 1828, Di Balik Kelambu, hingga Doea Tanda Mata, Teguh lazim menjadi pemborong piala Festival Film Indonesia. Dari tangannya lahir aktris tangguh macam Christine Hakim, Ninik L. Karim, Tuti Indra Malaon, dan aktor/sutradara serius seperti Slamet Rahardjo, yang hingga kini masih setia menyiram dan memberi pupuk pada dunia film yang kering-kerontang itu.
"Dia terlahir untuk memberi," kata Ninik L. Karim terharu. "Kemarin saya buka lemarinya. Saya menangis karena hanya menemukan beberapa lembar hem batik dan beberapa kaus. Tidak ada yang menonjol," kata Ninik. Kesederhanaan Teguh tidak berarti ia tidak cukup selera yang subtil dan teliti dengan berbagai pernik, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menentukan film. "Memperlihatkan orang kaya dengan Mercedes itu ide karatan," kata Teguh suatu hari kepada TEMPO, "seperti halnya ibu-ibu kaya yang selalu diperlihatkan dengan kalung berlian dan bahasa Indonesia aksen Jawa yang feodal. Karatan!" Pernah pula dia cekikikan geli ketika Festival Film Indonesia menampilkan piala film terbaik yang digotong puluhan dara cantik berpakaian Jawa dengan upacara yang luar biasa lamban dan membosankan. "Sampai kapan Indonesia tenggelam dalam feodalisme seperti ini, ya," katanya sembari meletakkan piala itu di lantai dengan gaya santai.
Gang Pala akan tetap menjadi sebuah padepokan kesenian. Itu dipastikan oleh Slamet Rahardjo, "Karena Steve ingin kesenian terus berjalan, meski ia sudah tak ada," katanya. Slamet berkisah, bahkan ketika mereka mendirikan yayasan, Teguh menolak ketika ada yang mengusulkan menamakan yayasan itu sebagai Yayasan Teguh Karya. "Dia tak ingin dikultuskan," kata Slamet. Mudah-mudahan, Slamet dan kawan-kawannya dari Teater Populer bisa meniupkan napas gladiator di rumah itu, yang pernah dengan begitu fantastik melahirkan banyak karya. Di kebun samping rumah itu, di bawah naungan pohon kesayangannya, abu sang gladiator bersemayam untuk menemani mereka.
Leila S. Chudori, Kurniawan, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini