Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bolos Berlatih demi Tuhan

31 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIANG-malam Taribo West bekerja keras. Pemain yang punya gaya rambut nyentrik dengan kuncir warna-warni ini ingin meninggalkan kemiskinan yang dilaluinya sejak kecil. Dia mengejar mimpinya menjadi pemain sepak bola terkemuka, demi kehidupan yang lebih baik.

Akhirnya, ketika makin sukses menjadi pemain sepak bola pada akhir 1990-an, West mendapatkan segalanya. Namun harta yang berlimpah-ruah membuatnya kosong. Setelah melirik ke agama, dia pun merasa terlahir kembali sebagai seorang kristiani. Dia menemukan Tuhannya. Ketika bermain untuk Inter Milan, West mulai belajar agama. Dia pun mendirikan gereja dengan jemaah kaum migran dari Afrika.

Selepas kontraknya habis, dia bermain untuk Derby County, Inggris. Ini yang jadi masalah. West kerap pergi ke Milan untuk beribadah tanpa memberi kabar kepada klubnya. Derby County pusing menghadapi ulahnya. Kontraknya pun habis sebelum waktunya.

Beruntung, namanya masih laku. West kemudian mondok di Kaiserslautern, Jerman. Eh, lagi-lagi masalah datang. Dia ogah berlatih pada hari Minggu. Dia pun dipecat. Si hitam asli Nigeria ini sama sekali tidak menyesal dengan keputusannya. ”Tuhan lebih penting ketimbang sepak bola,” kata pemain yang kini berusia 33 tahun itu.

Ada lagi pemain yang berkelakuan seperti West: Carlos Roa, kiper Argentina. Keputusan berani dibuatnya tujuh tahun lalu, ketika kariernya sedang mencorong. Arsenal dan Manchester United ngebet meminangnya. Namun Roa memilih mundur. Alasannya, agamanya melarang dia bermain atau berlatih pada hari Sabtu.

Bukan itu saja, dia juga mengatakan di akhir milenium lalu dunia akan mengalami banyak musibah. ”Kelaparan, badai, dan banjir akan terjadi di mana-mana. Mereka yang tidak percaya kepada Tuhan akan mengalami kesulitan besar,” katanya dalam sebuah wawancara. Roa pun meninggalkan Real Mallorca, klubnya, dan memilih menjadi petani di perkampungan di Santa Fe, Argentina.

Roa memang berbeda dengan Kaka. Baginya, kecintaan kepada Tuhan harus diwujudkan dengan cara meninggalkan kehidupan duniawi. Karier sebagai pemain sepak bola sudah dianggap tak berarti. Padahal dia termasuk pahlawan Tim Tango. Salah satu momen istimewanya adalah mengandaskan tendangan penalti David Batty dalam Piala Dunia 1998 di Prancis.

Namun Roa sadar pendapatan sebagai petani tak cukup. Tabungannya habis, dia pun kembali merumput. Untung, Real Mallorca, Spanyol, masih mau menerimanya. Namun belakangan kemampuannya menurun. Pada musim pertandingan 2000/2001, ia hanya diberi kesempatan turun dalam beberapa pertandingan.

Kariernya terus ambles, sampai kanker testis yang dideritanya membuatnya harus melupakan sepak bola. Setelah bermain di klub kecil, Olimpo, di negerinya, Roa benar-benar memutuskan pensiun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus