Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Boy, Di Balik Kekalahan Pical ?

Ellyas pical, juara dunia kelas bantam yunior IBF, kalah angka oleh Cesar Patico Polanco dari Dominika. Simson menuduh Boy mendalangi kekalahan Pical. Boy akan mengundurkan diri sebagai promotor.

22 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ELLYAS Pical berdiri kuyu. Dahi kanannya terlihat robek luka yang menganga. Juara tinju dunia kelas bantam yunior versi IBF ini hanya termangu setelah mendengar lewat pengeras suara: ia dinyatakan kalah angka dari penantangnya Cesar Patico Polanco dari Dominika. Sekitar 12.000 penonton Istora Senayan, Sabtu malam pekan lalu, itu bersikap serupa. Terhenyak dan terperangah. Hasil pertandingan 15 ronde yang baru saja usai itu -- dua dari tiga wasit menyatakan Polanco menang mutlak -- tak ayal, memang telah meluluhlantakkan semua kebanggaan mereka, sebagai pemilik juara tinju dunia selama sekitar 10 bulan. Suasana memang tampak galau. Pical kemudian dipapah beberapa pemuda ke kamar ganti pakaian. Sementara itu, ibu, keluarga, dan pelatihnya, Simson Tambunan, bangkit dari duduk mereka dan menggerutu. "Dari mana jalannya Elly bisa kalah? Saya sungguh tak habis pikir. Saya curiga ini semua disengaja," kata Simson setengah berteriak. Wajah pelatih ini tampak gemas. Dia mengakui Polanco memang lebih banyak melontarkan pukulan. "Tapi pukulannya tanpa power," tukasnya cepat sambil bergegas mengikuti rombongan anak asuhannya. Di kamar ganti dia kemudian memeluk ElIyas Pical beberapa saat dan kemudian memeriksa dahi kanan petinju yang baru jadi pecundang itu. Beberapa tokoh tinju, di antaranya Ketua Umum KTI Solihin GP tak berapa lama kemudian datangan. Tapi, suasana berubah agak panas ketika Promotor Boy Bolang masuk. Ia langsung saja mendekati Simson dan Pical. Tapi baru saja promotor ini memegang bahu Simson dan ingin menyatakan sesuatu, pelatih yang sedang terpukul itu bangkit. Lalu, sambil menepiskan tangan Boy dari bahunya, Simson kemudian menghardik keras, "Sudah, sudah, saya tahu ini semua permainan." Boy terkesiap. Beberapa pemuda lalu menyabarkan Simson. Salah seorang di antaranya malah mengatakan mereka siap menghajar Boy, jika Simson menginginkannya. Beberapa saat suasana di kamar ganti itu tegang. Tapi, untung, tak terjadi insiden sampai Boy kemudian keluar dari kamar ganti tersebut. Namun, tak bisa ditutup-tutupi, setelah kekalahan Pical, promotor yang sudah menyatakan mau mengundurkan diri itu memang diam-diam dicurigai. Tak hanya oleh kubu Garuda Jaya, seperti diperlihatkan lewat sikap keras Simson tadi, tapi juga oleh penonton Istora. Beberapa penonton, misalnya, berteriak-teriak menuding Boy sebagai pengatur hasil pertandingan itu. Tuduhan Simson dan beberapa penonton itu tentu saja dibantah promotor yang suka berdandan rapi itu (lihat Bagaimana Mengatur Pertandingan). Memang, sedikitnya ada dua kemungkinan penyebab kekalahan Ellyas Pical. Pertama, karena faktor nonteknis seperti yang dilontarkan Simson Tambunan. Kedua, karena sebab teknis. "Elly hanya main dengan satu tangan. Dia juga terlambat melakukan gempuran," kata Ketua Umum KTI Solihin GP. Rahasia kekuatan petinju asal Saparua ini memang ada di tangan kirinya. Adalah pukulan ini, Mei 1985, yang menganvaskan pemegang mahkota kelas bantam yunior IBF Ju Do Chun dan langsung mengorbitkan Pical ke singgasana tinju dunia. Malah, wasit senior IBF, Joe Cortez dari New York, setelah Pical meng-KO-kan Chun, berani memastikan waktu itu bahwa pukulan kiri juara dunia baru itu, "sulit diimbangi petinju mana pun di kelasnya." Tapi itulah Senjata pemungkas Pical ini tak jalan ketika menghadapi Polanco. Sebagian besar bisa dimentahkan atau dielakkan sang penantang ini. -- karena mereka rupanya memang hafal betul keistimewaan Pical itu (lihat Kubu Polanco Mengintip Pica). Menurut catatan TEMPO sepanjang pertandingan, 59 kali pukulan kiri Pical yang dilontarkannya dengan kekuatan penuh bisa dielakkan Polanco. Akibatnya, bujangan lugu berusia 26 tahun ini jadi sering tampak terengah-engah dan kebingungan. Kekuatan staminanya juga tampak cepat mengendur. Baru di ronde terakhir, Pical kelihatan agak menggebrak: satu hook kirinya sempat membuat Polanco terhuyung. Di ronde inilah penonton paling seru bersorak-sorai memberi semangat. "Kalau gempuran seperti dilakukan pada ronde-ronde sebelumnya, Elly pasti menang," kata Solihin yang tampak agak menyesal karena menganggap Simson terlambat mengambil keputusan seperti itu. Tapi, Simson tak merasa ada yang salah dalam strategi bertanding Pical. Ia bersikeras bahwa petinjunya tidak kalah. Pelatih terbaik pilihan SIWO PWI Jaya 1985 ini menganggap faktor wasitlah yang menyebabkan petinjunya kalah. Itulah sebabnya, karena kesal dengan permainan yang dicurigainya didalangi Boy Bolang, ia lalu memutuskan untuk tidak berurusan lagi dengan promotor beken itu dan juga IBF. "Masih ada wadah tinju WBA dan WBC, mengapa harus bergantung terus pada IBF," katanya. Sikap Simson yang menuduh itu dianggap tidak sportif. Bekas petinju nasional Paruhum Siregar dari Medan, misalnya, menganggap 50% kekalahan Pical karena kesalahan pelatih. Pelatih yang antara lain sudah mencetak beberapa petinju andal itu melihat setelah ronde keempat sebenarnya sang juara dunia sudah kebingungan menghadapi permainan pertahanan bagus Polanco. Tapi, pelatih tetap tak dilihatnya memberi Pical petunjuk. Dia juga tak melihat ada kombinasi pukulan Pical. "Peranan tangan kanan tak ada sama sekali. Padahal, di koran-koran Simson pernah bilang tangan kanan Pical sudah hidup," kata Paruhum kepada wartawan. Simson boleh jadi memang orang yang bertanggung jawab atas kekalahan Ellyas Pical. Ia bisa dikritik dan juga dikecam. Tapi mahkota juara toh sudah lepas. Padahal, gelar itu menghasilkan duit. Terutama buat Pical, yang dari tiga kali pertarungan tingkat dunia yang dijalaninya kurang dari setahun itu bisa menerima hasil bersih sekitar Rp 125 juta (setelah dipotong pajak, pajak KTI, dan pembagian dengan sasana Garuda Jaya). Ini tentu di luar perolehan tambahan dari klien, misalnya, dari kontrak dengan produsen pasta gigi Pepsodent dan hadiah rumah Rp 25 juta dari pengusaha Probosutedjo. Apakah Pical masih mampu merebut gelar lagi? Kepada TEMPO setelah menerima sisa pembayaran terakhir dari Boy Bolang di kantornya Senin pekan ini, bekas juara dunia yang dahi kanannya tampak masih diperban itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil melempar senyum getir. "Beta tak tahu. Mau lawan siapa nanti juga belum tahu. Itu tergantung Bos. Tugas beta setelah istirahat, berlatih, latihan lebih keras," katanya. Setelah kekalahan Pical, dunia tinju bayaran Indonesia memang murung lagi. Sebab, setelah kehilangan gelar dunia satu satunya itu, kebanggaan yang tadinya diharapkan mampu memancing banyak petinju lainnya tampaknya akan terpengaruh. Boy Bolang, promotor yang pintar menjual ini, sudah pula menyatakan tekadnya mau berhenti -- entah sampai kapan -- dari kegiatan promotor. Masa suram malah akan berangsur-angsur datang ke gelanggang tinju bayaran itu, jika Herman Sarens Sudiro -- Ketua Perhimpunan Promotor Indonesia, yang tiga pekan lalu sudah pula menyatakan rencananya mau mengundurkan diri dari kegiatan promotor, gara-gara ribut dengan petinju asuhannya bekas juara OPBF Polly Pesireron -- benar-benar melaksanakan rencananya. Itu semua tak ayal menyebabkan kalangan tinju sendiri mulai merasa bahwa tinju pro mulai memasuki masa lesu. "Saya teramat sedih, jika keadaan itu terjadi nanti," kata Setiadi Laksono, promotor kawakan dari Surabaya, kepada Jalil Hakim dari TEMPO. Manajer sasana Sawunggaling ini terus terang menilai kemunduran bakal terlihat jelas terutama karena hilangnya Boy Bolang dari dunia promotor. "Saya tak bermaksud mengagung-agungkan Boy. Tapi, dengan fakta harus kita akui dia itu satu-satunya promotor yang punya hubungan luas dengan pelbagai organisasi tinju dunia (IBF WBC, WBA) dan betul-betul mengerti seluk-beluk pertinjuan," ujar Setiadi. PENDAPAT Setiadi dibantah Promotor Tinton Suprapto yang tahun lalu menyelenggarakan pertandingan tinju perebutan peringkat WBA, di Jakarta. "Tak ada masalah jika Boy mundur. Yang penting, asal penyelenggaranya kuat keuangannya, kegiatan tinju pro tak akan mandek," kata Tinton. Ia menyatakan, sebenarnya tinju bayaran akan tetap bisa ramai, kalau kriteria promotor dipertegas. Sebaiknya pemerintah mengharuskan promotor itu merangkap investor. Dengan demikian, biaya bisa ditekan lebih rendah dari yang sekarang. Ia menilai, promotor seperti Boy Bolang cenderung menetapkan tarif dan biaya penyelenggaraan seenak sendiri, untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. "Petinju misalnya dibayar berlebih-lebihan agar promotor bisa dapat komisi lebih besar. 'Kan sepuluh persen dari total penyelenggaraan," kata Tinton. Cara ini memang sudah diperkenalkan Boy, yang untuk penyelenggaraan pertandingan Pical-Polanco mendapat komisi kotor sekitar Rp 41 juta. Ini perolehan dari komisi 10% dari total biaya pertandingan itu sekitar Rp 410 juta, dana yang berasal dari pemilik grup PT Mertju Buana, Probosutedjo. Tak begitu jelas apakah kelak setelah kekalahan Pical dan tak aktifnya Boy Bolang pertandingan-pertandingan tinju pro akan seramai akhir-akhir ini. Maklum, KTI sudah pernah mengumumkan akan menerapkan pembatasan-pembatasan terutama dalam hal tarif bayaran petinju. Yakni, dengan menetapkan tarif maksimal. Pernah disebut-sebut, juara dunia seperti Pical hanya boleh menerima Rp 50 juta. "Tujuannya agar bisnis tinju ini betul-betul realistis dan tak merugikan investor," kata Solihin, sekitar dua bulan lalu. Seusai pertarungan Pical-Polanco, Solihin sudah akan mulai mengadakan perubahan-perubahan. Di antaranya dengan mengharuskan semua proposal pertandingan tinju pro diperiksa dulu oleh KTI, feasible atau tidak. "Kami akan kerja sama dengan bank untuk menghitung studi kelayakannya," kata Mang Ihin, tanpa merinci dengan bank mana kerja sama itu dilakukan. Namun, itu memang baru rencana. Tujuannya agar semua pertandingan tinju pro bisa terselenggara tanpa terlalu merugikan terutama para pemilik dana. Marah Sakti Laporan Toriq Hadad dan Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus