MEMBAJAK buku masih tetap menjadi bisnis yang ramai. CV Tohaputra, penerbit di Semarang, karenanya tak usah heran bila omset penjualannya menurun drastis. Dua buah buku terbitannya, Risalah Tuntunan Sholat Lengkap dan Pendidikan Agama Islam untuk SMP, yang pada 1984 masing-masing bisa terjual sekitar 300 ribu eksemplar, mendadak melorot tahun lalu. "Kami hanya bisa menjual 50 ribu eksemplar saja," tutur Hasan M.B.A., Manajer Keuangan Tohaputra. Dia pikir, tentu ada yang tak beres. Untuk melacak di mana letak ketidakberesan, Hasan menurunkan seorang "detektif"-nya. Hendra Lukas, karyawan Tohaputra itu, langsung mengamati pasar di Jawa Timur, Surabaya khususnya. Hampir di semua toko buku, kedua buku terbitan Tohaputra itu ternyata cukup banyak. Buku Tuntunan Sholat dijual dengan harga Rp 450, sedangkan Pendidikan Agama seharga Rp 975. Harga yang wajar. Yang tidak wajar adalah bentuk bukunya. Selain agak berbeda, penjilidannya menggunakan lem. Beda dengan buku asli, yang menggunakan jepitan kawat. Tak salah lagi, yang banyak beredar adalah buku-buku bajakan. Berkat pelacakan Lukas, tiga tersangka pembajak bisa diketahui. Dan, Jumat pekan lalu, Hasan mengirim surat ke Kapolda Jawa Timur. Agar kasus pembajakan itu bisa ditangani dengan serius. Tersangka pertama yang dijumpai Lukas bernama Arifin. Dengan berpura-pura sebagai pedagang buku, Lukas memesan kedua judul buku terbitan Tohaputra. Potongan harganya sungguh istimewa: sampai 50%. Arifin juga menyatakan, ia bisa menyediakan buku terbitan mana saja dalam jumlah tak terbatas. ESOKNYA, Arifin ditemui Hasan. Dengan setumpuk bukti, Arifin akhirnya mengaku sebagai pembajak buku. Hasan, yang tak mau urusannya menjadi berlarut-larut, menawarkan jalan damai -- dan disetujui. Di atas kertas segel, Arifin menyatakan bersedia memberi ganti rugi sebesar Rp 25 juta, dan menyerahkan film serta plate buku. Pada hari yang dijanjikan, ternyata bukan Arifin yang datang menemui Hasan, melainkan seorang oknum polisi. Si oknum mencoba menggertak agar surat perjanjian yang dibuat Arifin, disaksikan istrinya dan ketua RW setempat, diserahkan kembali. Hasan tentu saja menolak, dan segera menghubungi Pomdam Brawijaya. Akhirnya urusan sampai ke Polda Jawa Timur. Dan saat diperiksa, Arifin mungkir. Ia menolak dikatakan sebagai pembajak. Ia hanya mengaku membeli buku bajakan dari orang bernama Son Hadi dan Muslim sedang mereka entah membeli dari siapa. Tentang kesanggupan memberi ganti rugi Rp 25 juta, Arifin juga berkelit. Surat perjanjian itu, katanya, dibuat atas tekanan dari pihak Hasan dan ia menandatanganinya karena merasa terancam. "Kalau Mas Arifin sendiri yang membikin, tidak mungkin kami mau bayar Rp 25 juta. Lha, duitnya dari mana? Rumah saja masih 'ngontrak," kata istri Arifin kepada TEMPO di rumahnya di Platuk Tauladan 10 A. Biar polisi yang mengurus lebih lanjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini