SUATU hari di musim dingin 1962, seorang bocah berusia 13 tahun,
agak pemalu, melangkah masuk ke gedung Perkumpulan Catur
Manhattan (MCA), New York. Tak ada yang mempedulikan
kehadirannya. "Nama saya Walter Shawn Browne. Saya mau belajar
catur di sini," katanya pada resepsionis MCA. Ia lalu diantar ke
ruang berlatih bagi anak-anak sebayanya.
Di MCA, prestasi Browne, kelahiran Australia, tak terlalu
menonjol. Ia lebih banyak kalah ketimbang menang. Kegagalan
Browne umumnya karena ia suka mengulur waktu. Untuk satu
langkah, terutama dalam posisi terjepit, bisa ditekuninya sampai
puluhan menit. Tak heran bila dalam langkah lanjutan Browne
sering main tergesa-gesa--diuber tempo yang tersisa. UnNk satu
partai, waktu yang tersedia bagi masing-masing pemain 150 menit.
Ketika Browne terdaftar dalam Turnamen Catur Grandmaster (TCG)
1982 di Sala dan Denpasar, dari 8 Februari sampai dengan 12
Maret, tak banyak orang yang menjagoinya. Penonton umumnya
memilih Grandmaster (GM) Larry Chrishansen dari Amerika Serikat
sebagai kandidat utama pemenang kejuaraan. Alasannya:
Chrishansen peserta yang memiliki ELO Rating tertinggi -- 2.585.
Nilai ini dicapai berdasarkan angka kemenangan dalam suatu
turnamen.
Sikap meremehkan Browne mulai berubah ketika satu per satu lawan
dipecundanginya. Seusai babak ke-12 di Sala, Browne berhasil
menempati kelompok 5 Besar. Ketika itu urutan teratas diduduki
oleh GM Vlastimil Hort dari Cekoslowakia. "Turnamen, belum
berakhir," kataBrowne menjelang bertolak ke Denpasar. "Saya
masih punya peluang untuk menjadi juara."
Kegagalan di Sala berangsur ditebus Browne di Denpasar. Tak ada
lawan yang diberinya ampun. Terakhir yang dikalahkannya adalah
Master Nasional (MN) Jacobus Sampouw dari Indonesia. Dari 25
partai Browne mengantungi angka kemenangan 17,5--pemain lain
yang mendapat nilai sama adalah Ronald Watson Henley dari AS.
Tapi Browne unggul dalam perhitungan Sonneborn Berger (SB),
hingga otomatis jadi juara. Ia mengantungi SB 202,75. Sedang
Henley cuma 196,75. (SB dipakai untuk menentukan urutan juara
bila beberapa pemain mengantungi angka kemenangan yang sama.
Caranya dengan menambahkan nilai dari partai lawan yang ditahan
remis, maupun dikalahkan).
Untuk mendapatkan Piala Ibu Tien Soeharto yang diperebutkan
dalam TCG 1982, bersaing dengan 25 peserta, Browne bukan tak
melalui karir yang panjang. Waktu di MCA belum ada gelar yang
disandangnya. MN baru direbutnya 1968 -- tahun kepulangannya ke
Australia. Tahun 1969 ia meraih Master Internasional (MI) dari
Turnamen Catur Zone Asia di Singapura. Sedang titel GM
disabetnya di San Juan, AS, di tahun yang sama.
Faktor X
Tahun 1974 Browne hijrah lagi ke AS. Sejak itu permainannya
makin mantap. Ia pernah menjuarai Turnamen Hoogoven di Wijk aan
Zee--salah satu kejuaraan yang dinanti-nantikan para pemain
catur dunia. Di tingkat nasional AS, dominasinya hampir tak
tergoyahkan oleh pemain top dan bertitel GM seperti Chrishansen,
Larry Evans, maupun Yasser Seirawan--sejak 1974. Tak aneh jika
sekarang Browne mulai dijagoi untuk menantang kampiun dunia
Anatoly Karpov dari Uni Soviet.
Di mata peserta TCG 1982, yang lebih dari separuh bergelar GM,
Browne dipuji sebagai pemain luar biasa--bertahan maupun
menyerang sama baiknya. Ia cuma lemah dalam masalah non teknis.
Browne dikenal sebagai atlet bertemperamen tinggi, dan sering
ribut dengan panitia penyelenggara turnamen. Di Sala, misalnya,
Browne memprotes Panitia TCG 1982 atas pemakaian papan catur
yang mengkilap dan sistem penerangan yang tak sempurna.
Akibatnya: pertandingan terpaksa ditunda satu hari.
Browne, 33 tahun, selain memboyong Piala Ibu Tien Soeharto dari
TCG 1982, juga mengantungi hadiah uang sebesar US$ 15.000 --
sama dengan hakdiah turnamen untuk meraih tiket kandidat
penantang gelar dunia. Ia menilai TCG 1982 takkalah beratnya
dibandingi Turnamen Hoogovens.
Atlet Indonesia, jumlahnya enam orang (lima diantaranya
menempati urutan paling bawah), tak kebagian gelar dalam TCG
1982. Semula Persatuan Catur Indonesia (Percasi) ingin
mengorbitkan MI Ardiansyah dan MN Eddy Handoko mencapai titel GM
dan MI. Hal ini karena TCG 1982 termasuk pertandingan kategori
IX--kriteria ini ditentukan berdasarkan ELO Rating peserta.
Angka rata-rata pemain tercatat 2.500. Untuk mendapatkan titel
GM di sini cuma diperlukan 75% kemenangan.
Mengapa gagal? "Gangguan faktor X," kata Ardiansyah, yang
menduduki urutan ke-14. Ia, misalnya, mempersoalkan uang saku
yang kecil dan fasilitas yang kurang dibandingkan peserta asing.
Belum lagi curiga sesama teman. "Bagaimana bisa berkonsentrasi,"
lanjutnya. Satu-satunya atlet yang berhasil mencapai GM adalah
Henley--sebelumnya MI.
Suguhan Tamu
Ketua Panitia Penyelenggara TCG . 1982, Begug Purnomodisi SH,
membantah adanya perbedaan pelayanan antara atlet lokal dan
asing. "Tujuan TCG 1982 justru untuk mengangkat atlet nasional,"
katanya. Kabarnya, agar pemain nasional bisa mengkonsentrasikan
diri, Begug bahkan mengulurkan bantuan pada keluarga atlet yang
di rumah. Untuk menyelenggarakan TCG 1982 ia mengeluarkan dana
sebesar Rp 220 juta.
Pemain tarnu menilai penyelenggaraan TCG 1982 justru sangat
baik. Selama di sini mereka juga diberi kesempatan meninjau
objek pariwisata dan disuguhi kesenian daerah Jawa dan Bali.
"Daftarkan nama saya untuk TCG yang akan datang," kata GM
Raymond Keene dari Inggris kepada panitia TCG 1982. Ia adalah
sekondan Viktor Korchnoi dalam dua kali kejuaraan dunia 1979 dan
1981. Tercatat 15 GM yangjuga mengikuti jejak Kavaleri untuk
kembali ke Indonesia mengikuti TCG 1984.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini