Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Pontang-panting mencari sponsor

Dunia balap mobil maupun motor makin sepi. sponsor segan, karena dianggap tak menguntungkan. para sponsor menganggap pengelolaan dunia balap & rally makin tidak profesional. (or)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMPU kuning sudah menyala lama di arena balap mobil dan motor Indonesia. Sejak 1975, peserta kejuaraan melorot terus. "Kini sulit mendapatkan sponsor," kata pembalap nasional Dadang Taruma yang akhir-akhir ini sering absen berlomba. Ia, misalnya, menjelang Jackie Steuart Race di Sirkuit Ancol, dua pekan lalu, terlihat pontangpanbng menghubungi sponsor untuk mendapatkan ban bagi mobil balapnya. Toh tetap gagal. Apa pasal? "Promosi di arena balap Indonesia belum menguntungkan," kata Direktur NV Mass, Dolly Indra Nasution, yang memegang keagenan Mercedes Benz. Dolly yang juga pembalap, melihat perhatian media massa di sini, terutama dalam menuliskan nama sponsor,belum seperti di Eropa dan Amerika Serikat. Di Indonesia, menurut Dolly, kalau ada Coca Cola Rally, misalnya, yang ditulis pers cuma suatu rally sedang berlangsung, tanpa menyinggung perusahaan sponsor. Pendapat itu ditopang oleh Manajer Promosi Good Year, Taufik Mampuk. "Hanya sekitar 8% yang membeli ban Good Year karena terpengaruh publikasi lewat balap atau rally," kata Taufik. Di gelanggang balap dan rally, Good Year Indonesia cuma mengeluarkan dana sponsor Rp 25 juta pertahun--15% dari anggaran promosi yang disediakan. Bandingkan: di sirkuit Indianapolis, Amerika Serikat, pabrik ban multi nasional itu berani memakai dana promosi sarnpai jutaan dollar--untuk spanduk maupun mensponsori pembalap. Sebab pers meliput lomba tersebut secara luas dan tak lupa menyebut sponsor. Toyota Astra Motor (TAM), di tahun 1976, pernah menurunkan tim dalam Enduro Race di Ancol. Mereka berhasil menyabet lima tempat terhormat urutan kedua sampai enam. "Omset penjualan naik sedikit," kata Direktur Pemasaran TAM, Ir. Sutomo, tanpa menyebut angka. Biaya yang dikeluarkan, di luar penyediaan mobil, Rp 200.000 tiap pembalap. Berbeda ketika Mini Coper sedan buatan Inggris, menjuarai lomba ketahanan mobil Le Mans di Monaco, 1960-an, hampir semua orang tergila-gila dengan mobil kecil itu. Angka penjualannya naik luar biasa. Seusai Enduro Race 1976, TAM tak pernah mensponsori pembalap lagi. Sutomo menolak membeberkan alasan. Di duga tanpa tampil di sirkuit, kendaraan merk Toyota tetap laris di Indonesia. Nyatanya tahun 1980 TAM memproduksi sekitar 10.000 unit sedan--tertinggi di antara merk lainnya. Banyak pihak beranggapan, sistem pasar di sin nampaknya memang tidak memberi peluang tumbuhnya duniabalap. Tanpa turun di arena balap merk mobil tertentu bisa dapat jatah untuk memenuhi kebutuhan mobil untuk pemilu misalnya. Kini yang tetap aktif di dunia balap dan rally tinggal PT National Motor, agen Mazda, dan PT Imora Motor, agen Honda. "Kami mensponsori balap karena kami pencinta olahraga itu," kata Idat lubis dari PT National Motor. Ia mengakui promosi yang didapatkannya dari sirkuit balap atau rally sangat kecil. Menurut Jackie Stewart, bekas juara dunia balap mobil, yang dua minggu lalu berkunjung ke Indonesia, arena balap sebetulnya merupakan tempat yang bagus untuk mempromosikan suatu produk. Tidak hanya mobil, juga produksi lain seperti alat kosmetik maupun rokok. Contoh sirkuit balap Monaco, menurut Stewart, merupakan arena promosi internasional paling kesohor. Tidak heran untuk mendapat tempat pemasangan spanduk maupun billboard di lokasi paling strategis, banyak perusahaan berani membayar mahal. Hiburan Di Monaco yang menonton balap mobil tercatat sekitar 400.000 orang-empat kali lipat penonton pertandingan final Pra-Olimpiade 1976 di stadion utama Senayan. Belum terhitung media massa yang meliputnya. Stasiun televisi American Broad casring Company (ABC), misalnya, menyiarkan acara balap mobli di Monaco selama tiga jam. Sepanjang siaran berbagai merk barang terpampang di layar televisi itu dan dilihat oleh jutaan pirsawan. Di Indonesia, walau televisi telah mengharamkan iklan, menurut Stewart, olahraga mobil dan motor bukan tak bisa maju. "Negeri ini punya penduduk 150 juta," katanya. Ia menambahkan rute rally di sini umumnya pun melalui daerah padat penduduk. "Itu pasti menguntungkan sponsor." Belum termasuk pecandu balap di sirkuit Ancol yang jumlahnya sudah puluhan ribu. Balap mobil dan motor sebetulnya sydah pernah menjadi tambang uang. Di tahun 1975, misalnya, dari tiket pengunjung saja, Panitia Penyelenggara Grand Prix (GP) memperoleh pemasukan sebesar Rp 60 juta. Belum terhitung dari sponsor. Sedang biaya yang dikeluarkan cuma separuhnya. Pembalap yang bertarung, antara lain, dari Jepang, Australia, Malaysia, Hongkong, dan lainnya. Mulai tahun 1979 grafik pemasukan melorot terus. Waktu itu penitia GP rugi Rp 7 juta. "Sampai kami punya utang di mana-mana," kata tokoh balap, Mochtar Latif, "bahkan hadiah untuk pembalap tak bisa kami bayar sampai sekarang." GP 1981, menurut Mochtar, juga rugi. Angkanya tak disebutkan. Mengapa merosot? "Pengelolaan dunia balap dan rally kita makin tidak profesional. Bagaimana sponsor mau percaya?" kata Idat Lubis. Ia betul. Lihat saja: penyelenggara GP 1981 tidak mengungkapkan pendapatan maupun pengeluaran mereka. Yang dilaporkan cuma rugi--juga tanpa angka. Faktor penyebab lain, menurut Idat panitia penyelenggara balap belakangan Ini sering menjual nama pembalap asing berlomba di Indonesia tanpa mendatangkannya. Juga kalender acara makin tidak teratur. GP 1980, misalnya, tidak diselenggarakan. Padahal kalau baap dan rally di Indonesia teratur, para pembalap asing tidak mustahil memasukkan acara di sini dalam kalender kegiatan mereka seperti dulu lagi. Akan Ikatan Mobil Indonesia (IMI), dulu maupun sekarang, tetap tak banyak bereaksi menghadapi masalah yang merongrong dunia balap di sini. "IMI sudah impoten," kata seorang tokoh balap yang tak mau ditulis nama. Olahraga mobil ini nampaknya sudah bergeser ke arah hiburan. Hampir setengah bulan sekali ada lomba-lomba ketangkasan. Pabrik Cat Warna Agung yang klub Galatamanya turun pamor dalam musim kompetisi 1980-1981, ikut-ikutan menyelenggarakan slalom test di Parkir Timur Senayan 14 Maret. Hampir 200 peserta ambil bagian. Kegiatan ini cukup menguntungkan. Selain peserta harus membayar uang pendaftaran Rp 20.000, uang juga masuk dari sticker yang dipasang di mobil peserta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus