UNTUK pertama kali Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia
(Pordasi) menjadi tuan rumah Lomba Berkuda Internasional Junior
(12-14 Maret) di Parompong, Lembang, Bandung.Perlombaan yang
diikuti 70 atlet dari Australia, Hongkong, Malaysia, Singapura,
Muangthai, Filipina, Korea, Jepang dan Indonesia itu
diselenggarakan di kompleks Pusat Kavaleri Berkuda, 10 km
sebelah barat Bandung.
Sebuah lapangan bola di situ disulap menjadi arena lomba
Tunggang Serasi dan Lompat Berkuda. Sedangkan nomor Daya Tahan
dilarikan di bukit-bukit terjal sebelah selatan kompleks,
melintasi hutan cemara dan kebun teh, menempuh jarak 9 km.
Jalan menuju Parompong itu terpercik mujur juga Untuk menyambut
para peserta dan penonton, jalan sepanjang 10 km yang dulu
benjol-benjol, sudah dapat aspal yang licin. Kandang kuda di
kompleks Puskavkud juga dibenahi. Rumput di lapangan bola di
situ yang selama ini ditumbuhi semak-semak, dipangkas. Di
pinggir lapangan ini malahan dibangun pula sebuah wc untuk para
penunggang kuda.
Hotel Jayagiri di Lembang juga dapat untung. Selama seminggu
hotel itu dicarter panitia untuk menginap para atlet berikut
pelatih.
Ketua Panitia Pelaksana, Brigjen Herman Sarens Sudiro
kelihatannya mau membuat perlombaan 3 hari itu berlangsung
dengan memuaskan. Kuda-kuda pilihan sebanyak 43 ekor dari jenis
pony dan tboroughbred (harganya sekitar Rp 6 juta seekor)
disediakan untuk para peserta. Delapan ekor dari Satria
Kinayungan Stable milik Herman Sarens, 11 dari Pamulang Riding
Scnool punya Nyonya Suhardjono, 15 milik Puskavkud dan 9 ekor
lainnya milik perorangan. Uang yang dikeluarkan untuk perlombaan
internasional itu mencapai Rp 500 juta. "Semua biaya
penyelenggaraan adalah uang pribadi, pinjaman bank dan dari
beberapa teman dekat," kata jenderal yang gemar memakai jeans,
sepatu lars dan topi koboi itu.
Hujan
Anaknya sendiri, Yanti Sudiro (16 tahun turut dalam perlombaan.
Tapi cita-cita yang disandang Herman bukan hanya
terselenggaranya pertandingan yang katanya juga jadi incaran
banyak negara Asia--juga untuk menghidupkan pariwisata di daerah
Bandung itu. "Dan dengan lomba ini saya ingin menghilanghn
mage, olahraga berkuda itu milik golongan elite. Saya ingin
agar olahraga berkuda ini juga bisa dinikmati tukang cendol,
tukang kacang dan masyarakat kecil yang lain," katanya kepada
TEMPO.
Herman rupanya tahu, di sekitar lapangan juga terdapat tukang
cendol dan tukang kacang yang memang sengaja datang mengadu
untung ke situ. Kalau sedang tak ada pembeli mereka kelihatan
melongokkan kepala menyaksikan perlombaan.
Para peserta nampaknya cukup puas dengan persiapan panitia.
Kekurangan panitia, menurut mereka, adalah tidak memperhitungkan
cuaca. "Hujan yang turun setiap hari membuat medan yang sulit
itu menjadi licin. Sebaiknya kejuaraan semacam ini
diselenggarakan di musim kemarau," kata Amelia Mokhtar (17
tahun) penunggang kuda dari Malaysia. Cuaca itu juga yang
menghalangi penonton menikmati perlombaan yang gratis itu. Hari
terakhir perlombaan disaksikan sekitar 15.000 penonton.
Prestasi Indonesia tidak terlalu buruk. Oki Satiagraha yang
menunggang kuda hitam legam bernama Gagak Ngampar dari stable
Suka Bahagia Cianjur menduduki nomor 2 untuk perorangan. Pada
hari pertama dan kedua untuk nomor Tunggang Serasi dan Lintas
Alam, siswa SMP 56 Kebayoran Baru, Jakarta, itu sudah unggul.
Tapi pada nomor Lompat di hari terakhir, saingan ketatnya Scott
Keach dari Australia berhasil melompati i4 rintangan dengan
mulus, hingga dia melonjak ke tempat teratas. Nomor 3 diraih
Catharina Mantinala (Filipina).
Australia mendominasi trilomba berkuda itu dengan memenangkan
pula nomor beregu. Regu Indonesia A kedua dan regu Indonesia B
nomor 3. Singapura, Hongkong, Korea Selatan, Malaysia dan Jepang
tidak mujur. Tak satu medali pun yang berhasil mereka rebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini