PEMBALAP muda berkaca mata, Laurent Fignon menemukan kebahagiaan
yang diangan-angankan orang Prancis ketika band militer
memainkan lagu kebangsaan, Marsellase. Ratusan ribu orang
bersorak-sorai sepanjang Champs-Elysees menyambut pemuda berumur
23 tahun itu sebagai juara Tour de France, Senin lalu.
Dia melayang melintas garis finish di atas sepeda yang berbobot
hanya 8 kg. Itulah akhir penderitaan Fignon melawan kelelahan
dan panas musim panas yang mengganas sepanjang perlombaan
menempuh rute 3.750 km Dimulai 1 Juli dan berakhir dalam 24
hari.
Sewaktu 140 peserta mulai ngebut dari garis start di tenggara
Kota Paris, orang bertanya-tanya siapa yang bakal jadi kampiun
sekali ini. Favorit Bernard Hinault, juara empat kali, absen
karena lutut kirinya cedera.
Pada etape-etape permulaan, kaus kuning (tanda pembalap yang
memimpin) terus-menerus berganti-tangan dari pembalap Irlandia,
Sean Kelly, ke pembalap tuan rumah Pascal Simon dan Jean-Rene
Bernaudeau serta Philip Anderson dari Australia. Fignon sendiri
hanya menempel dari belakang. Dia rupanya mencadangkan tenaga
untuk duel yang menentukan ketika perlombaan memasuki daerah
Pegunungan Alpen, terutama di Pyrenees.
Di daerah berbukit-bukit itu perlombaan melaju menjadi
pertarungan yang melelahkan. Pembalap terkadang harus menanjak
mencapai puncak bukit yang tingginya sampai 2.600 meter. Membuat
kecepatan melorot rata-rata 30 km per jam. Sedangkan kalau
menurun bisa bergulir dengan rata-rata 90 km per jam. Sepertiga
dari peserta minta ampun dan menyerah di sini.
Pada hari ke-18 di daerah pegununan yang ganas itulah, Pascal
Simon, jago dari tim Peugeot bertabrakan, terlempar dari sadal
dan tulang bahunya remuk. Fignon tampil ke depan dan merebut
kaus kuning.
Kaus kuning kemenangan buat anak muda kelahiran Paris itu
rupanya tidak saja memberikan rasa bangga. Tapi juga sumber
tenaga yang gaib. "Kaus kuning ini mengubah manusia," ucap
Fignon. "Anda akan mengayun lebih keras, dan menderita lebih
banyak. Kaus kuning ini menolong saya untuk berbuat melebihi
kemampuan saya sendiri," katanya pula.
Sejak dari Pyrenees secara taktis, dia mempertahankan posisi.
Dan bakatnya yang hebat dia pertontonkan dengan memenangkan time
trial sepanjang 50 km di Dijon. "Kemenangannya di time trial itu
menempatkan dirinya sejajar dengan Anquetil, Hinault, dan saya,"
komentar Eddy Merckx yang pernah menjuarai Tour de France lima
kali bersama Anquetil.
Fignon malahan lebih hebat dari mereka semua. Karena lomba
kemarin merupakan penampilannya yang pertama. Tak pernah ada
pemenang semuda Fignon. Ia menempuh seluruh rute lomba keliling
Prancis itu dalam 105 jam 7 menit 52 detik.
Buat kemenangan dari perlombaan yang menyiksa selama hampir
sebulan itu, Fignon merebut sebagian besar dari hadiah berjumlah
US$ 300.000. Tidak ada artinya dibandingkan dengan kemenangan di
lapangan tenis maupun golf.
Tetapi para pembalap dari berbagai negara tetap mau ambil bagian
karena daya tarik lomba itu sendiri. Ia sudah merupakan bagian
dari cara orang Prancis memperingati Hari Kemerdekaan Nasional,
14 Juli. Sekalipun hadiahnya kecil, peserta tetap merasa puas.
Karena paling tidak mereka bisa menikmati bagaimana rasanya
mengayuh dengan kawalan mobil yang hanya bisa dinikmati seorang
presiden. Dan ditonton sekitar 18 juta orang yang berdiri di
sepanjang rute yang dilalui. Belum lagi dihitung sekitar 100
juta penonton televisi.
Masyarakat Prancis sendiri bukan main bangganya dengan lomba
ini. Bisa dimaklumi. Karena lomba gaya Prancis yang sudah
berumur 80 tahun ini sudah menjadi sejarah dan mengilhami
rupa-rupa lomba daya tahan mendayung pedal. Mulai dari Italia,
Spanyol, Ceko, Mesir, Tunisia, dan jangan lupa Tour de Jawa yang
mulai menggelinding minggu depan. Tak heran orang-orang Prancis
menganggap Tour de France merupakan arena olah raga tahunan
paling menarik. Hanya bisa ditandingi Olimpiade dan Piala Dunia
(sepak bola) yang berlangsung empat tahun sekali itu.
Tetapi bagaimanapun menariknya balapan ini dia punya kelemahan.
Tak sepeser uang masuk yang bisa ditarik dari penonton. Karena
arenanya jalan raya. Beberapa tahun yang lalu panitia nyaris
bangkrut. Tapi lomba tahun ini, yang disponsori dua perusahaan
pers yang masing-masing menerbitkan Le Parisien Libere dan
L'Equipe (sebuah harian olah raga) pulang modal. Biaya
perlombaan yang mencapai US$ 4 juta (sekitar Rp 4 milyar)
ditutup dari iklan. Juga dari beberapa kotapraja yang
menginginkan iring-iringan pembalap melalui dan mengmap di kota
mereka. Ongkos mampir cara Prancis ini bisa mencapai Rp 75 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini