PENDUDUK Pulau Komodo geger. Ternak piaraan mereka diterkam babi
hutan. Ternyata itu bukan omong kosong. Dua pekan lalu Kepala
Konservasi Sumber Daya Alam VII Abdul Bari T.S. bahkan melihat
sendiri beberapa ekor babi hutan mengeroyok seekor kambing.
Akhir-akhir ini serangan babi hutan terhadap ternak penduduk
memang semakin gencar. Ketika Gubernur NTT Ben Mboi dan
rombongan berkunjung ke Taman Nasional Komodo, Juni lalu, bahkan
sempat menonton porsi bangkai yang disediakan buat komodo
digasak babi hutan. Seorang petugas yang mengantar turis asing
di tempat pengamatan Banu Gulung Loh Liang di Pulau Komodo
berceritera: "Wah, tamu puas sekali karena bisa melihat
pertarungan komodo dan babi hutan memperebutkan umpan kambing."
Rebutan makanan itu terjadi antara seekor babi hutan betina
melawan tiga ekor komodo. Meskipun jumlah komodo lebih banyak,
karena belum dewasa, mereka toh kewalahan juga.
Tadinya, komodo (varanus komodoensis) diancam kepunahan karena
seringnya terjadi kebakaran hutan. Kemudian muncul ancaman
anjing pemburu yang ditinggal tuannya dan kemudian beranak
pinak. Seperti juga babi hutan kini, anjing-anjing itu gemar
sekali akan daging rusa atau kambing. Ancaman anjing berkurang
setelah petugas melakukan tindakan drastis dengan menembaki
binatang tersebut. Populasi anjing terbanyak hanya di Pulau
Padar.
Tapi populasi babi hutan merata terdapat di empat pulau terbesar
(Komodo, Padar, Rinca, dan Gilimotang). Tentang kegemaran babi
hutan (sus scrofa) menyantap bangkai, Abdul Bari cenderung
menuding perubahan tingkah laku itu dikarenakan oleh keadaan
alam NTT yang tandus. Sehingga babi hutan tersebut tak mudah
memperoleh umbi-umbian.
"Babi hutan adalah binatang pemakan tumbuh-tumbuhan maupun
daging," kata Ketua Jurusan Zoologi Fakultas Kedokteran Hewan
IPB, Prof, Dr. Soenarjo kepada Yulia Madjid dari TEMPO. Ia
menambahkan sebagai binatang pemakan tumbuh-tumbuhan dan daging
(omnifora) biasanya babi hutan mencari umbi-umbian di samping
tikus, jangkrik, atau cacing.
Jadi kegemaran babi hutan memakan bangkai bukan hal yang aneh.
Sebab "peri laku babi hutan memang dapat berkembang," kata
Kepala Museum Zoologicum Bogoriense, Soemartono Adisoemarto,
PhD. Kejahatan babi hutan lainnya, menurut Soemartono, adalah
ketika babi itu menggali-gali tanah, telur komodo yang biasanya
dipendam oleh induknya di tanah, jadi santapan lezat juga. Jelas
bahwa babi hutan merupakan ancaman terbesar dari bahaya-bahaya
lain yang bisa memusnahkan komodo. Terutama bila populasinya
berimbang.
Berapa jumlah babi hutan di daerah suaka alam Komodo? "Sensus
babi hutan belum pernah kami lakukan," kata Direktur PPA Bogor
Syafei Manan, MSc. Yang diketahui baru populasi komodo. Menurut
Abdul Bari, jumlah komodo berdasarkan sensus April 1983 tinggal
1.760 ekor -- empat tahun sebelumnya jumlah mereka tercatat
2.001 ekor. "Tapi ini masih dalam perkembangbiakan normal," kata
Abdul Bari.
Masalah lain yang dicemaskan adalah berubahnya babi hutan
menjadi buas setelah keenakan memakan daging. Akibatnya komodo
yang lemah akan menjadi santapannya. Sehingga berlakulah hukum
siapa yang kuat yang akan menang bagi masyarakat komodo.
Soemartono mengkhawatirkan bahwa semakin lama babi hutan
menikmati empuknya daging rusa atau kambing, "daya tahannya
semakin lebih besar." Dia kemudian menyamakan manusia pemakan
daging akan lebih sehat dibandingkan dengan manusia yang hidup
sebagai jenis herbafora (pemakan tumbuh-tumbuhan). Jelas kalau
desakan babi hutan terhadap komodo semakin besar Pulau Komodo
akan berubah menjadi Pulau Babi.
Meskipun babi hutan bukan berupa kompetitor langsung dari
komodo, toh "kini dia merupakan pengganggu makanan komodo.
Perlukah babi hutan dihabisi? Soenarjo tidak setuju untuk
memusnahkan sama sekali babi hutan tersebut. Sebab binatang itu
juga merupakan keseimbangan dari alam. "Tapi perlu dicek berapa
komodo dan berapa babi hutan yang boleh tetap lestari di situ."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini