TUAN rumah selalu berada pada posisi menguntungkan. Dukungan publik pasti gencar, tapi Korea Selatan masih mengerahkan ”pendukung” yang lain: wasit yang suka merugikan lawan. Jadilah ajang olahraga di Korea Selatan sebagai ”neraka” bagi tim tamu—yang kurang kuat mental atau prestasinya memang pas-pasan.
Asian Games Busan tak lepas dari ”dukungan” wasit itu. Sejumlah protes resmi datang dari Indonesia, Thailand, dan Yordania—tiga negara yang merasa dicurangi, dan sialnya memang prestasinya pun pas banderol. Yang menarik, tidak satu pun protes itu digubris.
Pertandingan final bulu tangkis beregu putra, antara Indonesia dan Korea Selatan, Rabu pekan lalu, adalah contoh yang mencolok. Tunggal pertama Indonesia, Taufik Hidayat, ngambek setelah beberapa kali hakim garis memberikan keuntungan bagi pemain tuan rumah Shon Seung-mo. Setelah terhenti dua jam, Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia, Wismoyo Arismunandar, memaksa pemainnya kembali bermain. Wismoyo berharap Indonesia meraih emas untuk mengejar target perolehan medali yang kedodoran. Sayang, akhirnya Indonesia hanya memungut medali perak dari pertandingan itu.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Bulu Tangkis Asia, Punch Gunalan, mengaku prihatin dengan peristiwa itu. Bekas jago tunggal putra asal Malaysia itu ingat sebuah peristiwa yang terjadi 16 tahun lalu. Tim Indonesia bertanding melawan tuan rumah di semifinal putra di Asian Games di Seoul. Kejadiannya sama, wasit merugikan pemain Indonesia soal bola masuk atau keluar garis. Untuk menangkal aksi wasit tuan rumah yang ”miring”, Gunalan punya usul untuk menggunakan bantuan rekaman video—yang bisa diputar ulang jika terjadi keraguan soal bola in atau out.
Selain di cabang bulu tangkis, tim Indonesia juga merasa dicurangi dalam pertandingan semifinal beregu tenis putri. Kala itu Wynne Prakusya, yang turun di tunggal pertama melawan Jeon Mi-ra, dibuat jengkel penjaga garis yang kerap ”ngaco”. Namun, Wynne rupanya lebih sabar ketimbang Taufik Hidayat, bekas pacar Wynne itu. Wynne terus meladeni Mi-ra, yang kemudian mundur karena cedera.
Di nomor balap sepeda, Uyun Muzizah mengaku didorong pembalap sepeda Korea Selatan, Kim Yong-mi, yang juga luput dari pantauan wasit di nomor individual road race. Uyun pun gagal meraih emas.
Dari ring tinju, protes meluncur dari kontingen Thailand dan Yordania setelah melawan petinju tuan rumah. Di babak perempat final, wasit menghentikan pertarungan antara petinju Thailand, Sayota Pichai, dan petinju tuan rumah, Baik Jong-sub. Di pertengahan ronde kedua, wasit langsung memberikan kemenangan bagi Jong-sob dengan alasan Sayota tidak sanggup menahan pukulan lawan. ”Memang dia mendaratkan satu-dua pukulan, tetapi itu tidak melukaiku,” kata Sayota. Pelatih Thailand asal Kuba, Ismael Salas, terheran-heran karena sepanjang pertandingan anak didiknya unggul dalam pengumpulan nilai. ”Mereka bisa melakukannya karena menjadi tuan rumah. Tetapi caranya sangat menjijikkan,” komentar Salas.
Kejadian lucu juga ada di arena golf. Saat itu penonton melihat pukulan atlet tuan rumah Kim Hyun-woo sudah di luar jangkauan, bahkan wasit sudah mengangkat bendera. Namun, setelah dua orang ofisial Korea mendekati wasit, Kim dinyatakan lolos ke babak play off dan akhirnya meraih medali perunggu.
Alat elektronik ternyata bisa juga diakali. Itu terjadi di nomor bowling. Sistem penilaian otomatis tiba-tiba macet, sehingga nilai yang dikumpulkan Taiwan menjadi kacau. Tuan rumah yang sebelumnya tertinggal kemudian menyalip dan mencaplok medali emas.
Ketenaran Korea menghalalkan segala cara untuk menang tidak diragukan lagi. Dalam Olimpiade Seoul 1988, petinju Amerika Roy Jones dirampok medali emasnya oleh petinju tuan rumah, Park Si-hun. Padahal wasit sempat memberi hitungan untuk Park yang goyah di ronde kedua. Selain itu: Jones mendaratkan 86 pukulan, sementara dia hanya menerima 32 pukulan. Anda mau tahu siapa Roy Jones itu sekarang? Dia juara kelas menengah ringan versi tiga badan dunia tinju sekaligus—IBF, WBC, WBA.
Proyek ”wasit” itu, dan tentulah prestasi atletnya yang maju, membawa Korea Selatan ke tempat kedua di Asian Games kali ini.
Agung Rulianto (Jakarta) dan Firman Atmakusuma (Busan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini