MULAI ada persekongkolan di kalangan wakil rakyat—yang dulu terhormat—dalam menuntaskan kasus suap. Untuk kasus amplop yang diterima wakil rakyat dari PDI Perjuangan, penyelesaiannya sudah mendekati skenario akhir. Yakni amplop itu tidak berkaitan dengan divestasi Bank Niaga, dan kalaupun ada anggota fraksi yang menerima amplop dari BPPN, itu menjadi urusan pribadi. Masih ditambahkan komentar lain, misalnya sudah terbiasa anggota Dewan menerima uang terima kasih dari pemerintah atau pemimpin BUMN atau konglomerat. Lalu ditambah pernyataan klise bahwa anggota Dewan tidak meminta, tapi diberi, dan jika uang diterima tidak mengurangi kredibilitas anggota Dewan.
Sikap untuk menutup kasus ini pun sudah dilakukan oleh para petinggi partai berlambang banteng itu. Salah satu caranya adalah melarang anggota fraksinya, Meilono Suwondo, berbicara lagi kepada pers menyangkut amplop ini. Jelas, ini dimaksudkan agar kasus suap yang memalukan itu tidak lagi menjadi berita dan syukur-syukur kalau kemudian cepat hilang digantikan oleh isu lain.
Sementara itu, ada pula upaya untuk membersihkan diri, yang dilakukan anggota Fraksi PDI Perjuangan, Permadi. Sebenarnya bukan membersihkan diri, tapi menunjukkan kekotoran "pihak lawan" sehingga sama-sama jadi kotor. Seperti teori yang ditawarkan iklan sabun cuci, kalau semua anggota Dewan terlihat kotor, yang kotornya sedikit itulah yang bersih. Permadi melontarkan isu suap Rp 20 miliar yang konon ditawarkan kepada dirinya oleh Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa.
Dituduh begitu, A.M. Fatwa berang sesaat, dan bersumpah tidak pernah melakukan seperti yang dituduhkan. Tapi seberapa banyakkah orang percaya kepada sumpah? Semua pejabat publik, termasuk Jaksa Agung, sudah bersumpah sebelum memangku jabatannya, tapi tetap saja ada harta yang berjibun dan tidak masuk akal jika dilihat dari komponen gaji yang diterima. Amplop, uang terima kasih, hadiah perkawinan, apa pun namanya yang diterima pejabat publik itu pasti ada kaitan dengan jabatannya. Semakin dibantah dan ditutup-tutupi, semakin terbuka belangnya.
Tudingan Permadi sebenarnya bagus untuk diusut, cuma sikap A.M. Fatwa yang agak aneh. Ia berkesan tidak mau menanggapi tuduhan Permadi dengan alasan itu merupakan isu murahan yang bersifat politis. Kalau Fatwa memang betul-betul bersih atau kadar kotornya di bawah kotor anggota Dewan yang lain, semestinya ia menantang Permadi untuk membuktikan tuduhan itu. Jika perlu, mengadukan Permadi ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Dan polisi, kalau memang ingin membantu rakyat untuk mengungkap kelicikan para anggota Dewan yang tak tahu malu dalam memperkaya diri sendiri ini, semestinya pula proaktif mengusut kasus itu. Apa yang dituduhkan Permadi memang ada kerangka ceritanya, ada pertemuannya, dan ada obyek yang memungkinkan anggota Dewan melakukan pemerasan, atau yang lebih ringan memungkinkan anggota Dewan mendapatkan amplop, uang terima kasih, uang rokok, uang jalan, dan berbagai nama lainnya lagi. Tapi apakah Pak Polisi mau proaktif begitu? Kasus amplop yang dibeberkan Meilono Suwondo dan Indira saja dibiarkan mengambang.
Masyarakat ingin kasus-kasus seperti ini dituntaskan dan kalau ada indikasi penyalahgunaan jabatan, pelakunya diproses secara hukum. Sehingga masyarakat tahu seberapa banyak anggota Dewan yang kotor sampai lumutan dan seberapa yang agak kotor. Biarkan proses hukum itu diikuti oleh rakyat secara transparan. Bahwa nanti terbukti ada anggota Dewan yang kena hukuman dari kasus suap, itu berarti ada iktikad baik untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, meski ini baru iktikad doang, dan tak akan mampu memaksa anggota Dewan itu mundur, apalagi mengharapkan mereka masuk penjara. Wong Ketua Dewannya sudah memberi contoh kotor, sudah jadi terhukum tapi tetap ngotot menduduki kursinya. Ya, mau bilang apa lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini