SEPANJANG pekan lalu, ada satu pertanyaan besar yang tak berjawab: tindakan apa yang diambil Presiden Megawati Sukarnoputri terhadap Jaksa Agung M.A. Rachman—yang diketahui tidak memasukkan sebuah rumah mewah dalam daftar kekayaannya? Sebenarnya Megawati punya banyak pilihan. Ia bisa langsung memberhentikan Jaksa Agung, menyuruhnya mundur, memintanya non-aktif selama kasusnya diselidiki, atau meminta polisi segera memeriksa Rachman. Apa yang dipilih Mega? Sampai akhir pekan ini, tidak satu pun. Kasus Rachman seperti dibiarkan begitu saja. Bisa jadi Mega menunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut dari Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara atas Rachman, keluarganya, dan "kawan-kawan" dekatnya. Atau, siapa tahu, Mega memang belum memikirkan apa yang harus dilakukannya dalam urusan Jaksa Agung ini.
Kami berharap sikap diam—yang bukan kali ini saja dilakukan—Megawati merupakan bentuk kehati-hatiannya dalam menentukan tindakan yang tepat untuk seorang pejabat setinggi Jaksa Agung, walaupun ada kerugian yang nyata jika ia tidak memberikan sinyal apa pun tentang apa yang akan dilakukannya. Pihak-pihak yang terlibat kasus ini bisa punya penafsiran sendiri tentang diamnya Presiden, bahkan memanfaatkan penafsiran itu untuk melakukan "tindakan balasan". Jaksa Agung mungkin saja menangkap diamnya Mega ini sebagai isyarat bahwa Presiden menganggap kesalahannya hanya soal ketidaktertiban administrasi. Kelalaian begitu, mungkin demikian tafsir Jaksa Agung, tak perlu "ditebus" dengan pengunduran diri. Jaksa Agung, yang semula diberitakan berencana mundur, kemudian memilih bertahan. Bahkan para bawahannya melantunkan ikrar kesetiaan untuk mendukung sikap bosnya.
Kusut dan runyam. Fokus persoalan menjadi kabur. Ada dua soal berlainan yang diaduk-aduk sampai bagi kita pun tidak jelas mana persoalan primer dan mana yang sekunder. Padahal, kalau mau sedikit tenang, persoalan pertama jelas: seorang pejabat tinggi ternyata tidak melaporkan kekayaannya dengan benar. Baru kemudian muncul persoalan kedua: diduga kekayaan yang tidak dilaporkan itu asal-usulnya adalah hasil korupsi. Kekacauan itu makin tak menentu karena Megawati tidak segera mengambil tindakan.
Seharusnya yang pertama kali dilakukan Megawati adalah mengembalikan fokus urusan ini, yaitu Jaksa Agung Rachman tidak melaporkan kekayaannya dengan benar kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. Secara prima facie, seketika itu juga dan langsung, Rachman sudah bisa disalahkan karena ternyata tidak semua hartanya dicantumkan dalam laporan yang diserahkannya ke Komisi Pemeriksa pada Juli 2001 ketika ia masih menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Umum.
Dengan begitu, soal Rachman lalai melapor, keliru melapor (tidak memasukkan harta atas nama anaknya ke dalam laporan), atau apa pun kualifikasinya, menjadi kurang relevan terutama karena yang melakukannya adalah seorang pejabat tinggi Kejaksaan Agung yang sepantasnya paling tertib dan diharapkan paling jujur-bersih dalam soal aturan hukum.
Setiap pejabat yang mengisi laporan kekayaannya telah membuat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai bahwa, "Apabila di kemudian hari ternyata ada kekayaan saya dan keluarga saya yang dengan sengaja tidak saya laporkan, maka demi tanggung jawab moral sebagai penyelenggara negara dengan ini saya menyatakan rela dan ikhlas untuk diberhentikan."
Kalimat "…rela dan ikhlas untuk diberhentikan" jelas tidak sama dengan menyatakan rela berhenti sendiri. Karena itu, kurang tepat kalau menuntut Jaksa Agung Rachman agar mengundurkan diri, walau secara etis ada juga dasarnya kalau kita mengharapkan pejabat itu berjiwa kesatria. Sayangnya, perkembangan terakhir kasus ini menunjukkan kepada kita betapa sia-sianya berharap pada sikap kesatria, jiwa besar, perilaku adiluhung, dan sejenisnya itu. Dengan pernyataan sikap dukungan secara terbuka kepada Jaksa Agung yang dilakukan oleh para jaksa agung muda dan kepala kejaksaan tinggi bawahan Rachman, tampak jelas ada perlawanan yang diorganisasikan dari dalam. Penghayatan tentang tanggung jawab moral sudah berbeda sama sekali dengan yang diharapkan masyarakat. Korps Kejaksaan Agung sudah diseret melakukan pembelaan subyektif terhadap masalah obyektif, yaitu perbuatan melanggar norma yang ada.
Maka yang lebih penting didesak ialah pihak yang berwenang untuk memberhentikan si pejabat tadi, yaitu atasan Jaksa Agung. Sang atasan harus menjalankan apa yang semestinya dilakukan: memberhentikan pejabat yang sudah rela dan ikhlas diberhentikan itu. Ironi dari skandal ini ialah Megawati rupanya belum ikhlas memberhentikan, entah apa alasannya.
Jika Presiden Megawati menemukan kegagalan dalam bertindak, ini merupakan bahaya besar. Bisa-bisa kegagalan ini menjadi sumber persoalan yang lebih luas, yaitu ketidakmampuan menegakkan supremasi hukum seperti yang terjadi selama ini. Bukan hanya dalam kasus Rachman kita menyaksikan ketidakmampuan ini, tapi juga dalam kasus pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang dimenangi Sutiyoso. Hukum ternyata tidak mampu mengungkapkan dugaan permainan uang yang bukti-buktinya terlihat begitu "dekat", dan bahkan tidak ada sebuah upaya hukum pun untuk membuktikannya. Hukum yang mandul atau sengaja dimandulkan adalah penyebab utama kehancuran sebuah sistem.
Dalam sistem yang sudah hancur dan tidak berfungsi lagi, biasanya orang berharap pada kepemimpinan puncak untuk mengatasi setiap masalah yang timbul. Kalau pemimpin puncak juga sudah tidak berfungsi, terpaksa kita berpikir untuk mencari pemimpin lain yang lebih sanggup—nanti, pada tahun 2004.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini