Wismoyo Arismunandar bagai sopir taksi mengejar setoran. Pada pagi hari, Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia itu terlihat di Stadion Utama Busan. Ia menonton cabang atletik dipertandingkan di stadion di jantung Kota Busan, Korea Selatan. Siang harinya, ia muncul di Stadion Tenis Guemjeong, di bagian utara Busan. Pada sore hari, Wismoyo tampak di Stadion Gangseo, di barat Kota Busan, menunggu tim bulu tangkis berlaga. Seharian, Rabu pekan lalu itu, bekas Kepala Staf Angkatan Darat ini sudah menempuh sekitar 100 kilometer untuk mendukung atlet-atletnya.
Beban Wismoyo memang berat. Soalnya, Presiden Megawati berpesan: kalau bisa, kontingen membawa pulang 15 emas. Tapi, sampai tiga hari menjelang Asian Games Busan bubar, baru dua emas bisa dikumpulkan dari lomba layar dan tenis beregu putri.
Permintaan Megawati mungkin kelewat berat. Sejauh ini prestasi terbaik Indonesia dicapai pada 1962, ketika Jakarta menjadi tuan rumah, dengan 11 emas dan menempati urutan ketiga. Itu sebabnya KONI hanya memasang target lebih baik dari Asian Games Bangkok empat tahun lalu, ketika Indonesia meraih enam emas.
Kelihatannya, merebut enam emas pun sulit di Busan. Indonesia masih berharap emas dari bulu tangkis dan tenis ganda putri. Tapi katakanlah Taufik Hidayat atau Hendrawan dan pasangan ganda putra meraih emas, itu baru empat emas. Andaikan Angie dan Wynne Prakusya merebut emas tenis ganda putri, itu baru lima emas. Agaknya enam emas sukar digapai.
Walaupun begitu, perjuangan tetap harus maksimal. Maka, ketika tim bulu tangkis beregu putra Indonesia menghadapi Korea Selatan, Rabu pekan lalu, dan Taufik Hidayat menolak melanjutkan pertandingan, Wismoyo langsung memanggil Christian Hadinata, pelatih tim bulu tangkis Indonesia. Ia menginstruksikan Taufik kembali masuk lapangan, setelah sebelumnya dicurangi hakim garis. "Mereka sudah memperbaiki kesalahannya, ya sudah," kata pensiunan jenderal ini setelah kesalahan dikoreksi wasit.
Taufik akhirnya kalah. Tim bulu tangkis putra gagal meraih emas. Satu medali yang sudah digadang-gadang untuk mengatasi paceklik emas akhirnya lepas. Harapan terakhir meraih emas dari nomor perorangan bulu tangkis pun tidak akan segampang mengedipkan kelopak mata.
Selain dari bulu tangkis, target dua keping emas dari cabang balap sepeda juga tak dapat dicapai. Sebelum berangkat, balap sepeda berharap bisa mengulang sejarah 40 tahun lalu. Ketika itu balap sepeda menyumbangkan emas di Asian Games Jakarta. Memang dalam Sea Games tahun lalu, pembalap Indonesia memborong 11 emas. Tetapi di tingkat Asia, dari 14 pembalap yang dikirimkan, sungguh berat untuk merebut dua emas yang ditargetkan.
Pembalap putra Tonton Susanto, di nomor andalannya 50 kilometer individual time trial, harus menyerah dari tiga pembalap pecahan Uni Soviet. Kenapa? Jawaban tim klise: para pembalap ras putih itu selama ini bergabung dengan tim Eropa sehingga kekuatannya tidak terpantau. Padahal lima negara pecahan Uni Soviet ini sudah ikut dalam Asian Games Hiroshima delapan tahun lalu. Adapun emas kedua yang ditunggu lewat kayuhan Santia Tri Kusuma di nomor point race ternyata juga wassalam. Santia hanya mendapat perunggu.
Hasil paling jeblok diperlihatkan dari cabang dayung. Cabang olahraga air ini berangkat dengan 17 atlet dan menjadi cabang terbanyak mengirim jumlah atletnya. Para pedayung yang dikirimkan memang semuanya pernah memperoleh medali. Namun dominasi mereka di tingkat Asia Tenggara ini belum cukup menjadi modal bertarung melawan pedayung Cina dan Jepang.
Janji KONI hanya mengirim atlet yang berpeluang meraih medali tidak berlaku pada dayung. Namun mereka hanya menyumbang satu medali perunggu dari Rodiaman di nomor light weight four-oars putra. Sedangkan Lasmin, satu-satunya pedayung Indonesia kelas Asia, batal berangkat ke Busan. Di tengah jadwal pemusatan latihan, pedayung asal Sulawesi Tenggara ini ngotot pulang dengan alasan merasakan nyeri pada lutut kirinya. Selain itu, peraih medali perak Asian Games Bangkok (1998) ini mengaku harus mengurus surat-surat untuk melengkapi syarat menjadi pegawai negeri.
Sejak awal Lasmin memang enggan ikut pemusatan latihan di Jatiluhur, Jawa Barat. Sebab, pedayung berusia 26 tahun ini setiap hari harus nyopir mikrolet dan bercocok tanam untuk menghidupi ibu, istri, dan bayinya. "Saya butuh uang untuk makan mereka," alasan Lasmin. Dia juga ragu KONI bakal memberi hadiah mobil jika dia meraih medali emas di Busan. Dia pernah dijanjikan uang sebesar Rp 55 juta setelah dia meraih emas di Sea Games Jakarta 1997 dan Asian Games Bangkok, tapi uang itu tak kunjung dia terima. Belakangan, setelah Lasmin marah, dia mendapat Rp 5 juta dari pengurus KONI di daerahnya.
Apa penyebab semua kegagalan ini?
Menurut pengamat bulu tangkis Justian Suhandinata, tidak pada tempatnya jika kesalahan hanya ditimpakan pada para atlet. Dia mengambil contoh kejadian kontroversial di partai final bulu tangkis beregu putra. Peristiwa itu seperti ulangan kejadian di Asian Games Seoul (1986), saat tim Indonesia juga dicurangi tuan rumah di partai semifinal. Belajar dari kejadian itu mestinya kontingen Indonesia sudah menyiapkan segala kemungkinan. "Dekat-dekatilah PBSI-nya Korea," kata mantan Wakil Presiden Federasi Bulu Tangkis Dunia (IBF) ini. Sebab, menurut pemilik Klub Bulu Tangkis Tangkas Jakarta ini, yang bertanding adalah seluruh tim, sedangkan pemain hanya finishing.
Selain itu, Korea Selatan jauh-jauh hari sudah menyiapkan stretegi. Mereka menukar posisi ganda pertama dan ganda kedua. Dalam beberapa turnamen terakhir, mereka tidak menyertakan pasangan terkuatnya, Kim Dong-moon dan Ha Tae-kwon, sehingga peringkatnya di federasi bulu tangkis dunia melorot. Hasilnya, mereka bisa mencuri angka dari pasangan lemah Indonesia, Halim Haryanto dan Tri Kusharyanto. Sementara itu, mereka melepas kemenangan untuk ganda lemahnya, Lee Dong-soo dan Yoo Yong-sun. "Jangan heran kalau pasangan Indonesia Candra (Wijaya) dan Sigit (Budiarto) menang mudah," kata Justian.
Sedangkan pengamat tenis Benny Mailili melihat kekalahan Angelique Widjaja dan Wynne Prakusya di nomor perorangan karena kedua petenis putri ini terlalu capek. Dalam sembilan minggu terakhir mereka terus-menerus mengikuti turnamen dunia. Mestinya dua minggu sebelum berangkat, mereka sudah istirahat. "Sudah untung kita dapat emas dari beregu," kata Benny.
Namun, yang paling disayangkan Benny adalah sikap tidak adil ofisial Indonesia. Saat Oka Sulaksana meraih emas di cabang layar, tidak satu pun pengurus KONI yang hadir. "Mereka hanya datang ke arena yang diliput televisi, cek saja," kata Benny.
Atlet Indonesia jelas tak bisa disalahkan. Bukankah seperti kata Justian, mereka hanyalah ujung tombak dari sebuah pembinaan yang panjang. Dan pembinaan itulah yang kelihatan amburadul beberapa tahun terakhir ini. Maka, berapa pun emas yang dibawa pulang dari Busan, itulah medali emas yang mahal dari kontingen yang didanai pemerintah dan masyarakat dengan biaya Rp 32,6 miliar.
Agung Rulianto (Jakarta) dan Sapto Yunus (Busan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini