MENGHADAPI SEA Games yang akan dibuka Presiden Soeharto pekan depan, siapa lagi orang yang paling sibuk kalau bukan Mohammad Sarengat? Sebagai Sekjen KONI, ia ikut menyiapkan 500-an atlet Indonesia untuk merebut gelar juara umum pesta olah raga ini. Di tangannya berada urusan pengadaan seragam kontingen, katering makanan atlet, malah mengurus izin memasukkan peralatan latihan di bea cukai. Ia juga Sekretaris Panitia Pelaksana (OC) yang harus menyiapkan berbagai sarana pertandingan, hotel para tamu, dan sebagainya. Hingga ada yang menyebut Sarengat kini sebagai orang paling "berkuasa" dalam persiapan SEA Gamcs. Mohammad Sarengat, 47 tahun, tampaknya memang seakan dilahirkan untuk jadi bintang. Sebagai pelari, di Asian Games Jakarta 1962, dia dijuluki "manusia tercepat Asia". Ketika itu Sarengat merenggutkan dua medali emas sekaligus mematok rekor baru: 10,4 detik untuk 100 m dan 14,3 detik untuk 110 m lari gawang. Rekor lari 100 m itu baru dipecahkan oleh bintang baru, Purnomo, 21 tahun kemudian. Sedang rekor yang satu lagi sampai sekarang tetap bertahan. Pensiun sebagai pelari, perwira menengah TNI-AD ini menjadi dokter. Sejak menghadapi SEA Games, urusan praktek dokternya terbengkalai. Kantornya di Gedung KONI Senayan, Jakarta, sepanjang hari tak putus dikunjungi para tamu. Di sela-sela kerepotan itu, Sabtu pekan lalu, ia menerima wartawan TEMPO Rudy Novrianto. Berikut petikan wawancara itu: Tampaknya, Anda orang yang paling sibuk menghadapi SEA Games. Sekjen KONI sekaligus sekretaris panitia pelaksana. Bagaimana Anda membagi waktu? KONI ditugasi membentuk kontingen tangguh untuk merebut gelar juara umum. Untuk itu, sudah dibentuk satuan tugas Pelatnas yang dipimpin Bapak Soeweno, Ketua larian KONI Pusat. Sebagai sekretaris Panpel, saya menangani administrasi, di samping menangani hubungan dengan KONI-nya peserta SEA Games yang lain. Syukur alhamdulillah, berkat kerja sama dengan staf, semuanya berjalan lancar. Tapi semua urusan Anda tangani, mulai dengan bea cukai, peralatan latihan, seragam kontingen, sampai katering makanan atlet. Apa tak ada pembagian kerja? Semua melihat segala sesuatu harus lewat saya. Semua surat dan urusan memang harus melalui saya. Bukan apa-apa. Soalnya, bagi saya, ini merupakan proses belajar. Bagaimana saya mengetahui suatu persoalan jika tak menjalani dan mendalami persoalan itu? Apakah hal semacam ini akan berlanjut? Sejak terpilih setahun yang lalu, pengurus KONI sudah berkeputusan agar personel KONI harus merupakan orang yang tepat guna dan berhasil guna. Benar-benar orang kerja. Jadi, kalau Humas jangan cuma menangani soal Humas tok. Seorang pelatih tidak cuma melatih tapi harus bisa memijat, sekaligus sebagai bapak di lapangan. Itu akan menyebabkan KONI lebih efisien. Daripada banyak personel tapi kerjanya cuma lola-lolo. Kenapa hal seperti itu tak diterapkan sebelum menghadapi SEA Games? Sebagai seorang dengan latar belakang ABRI, selama setahun ini saya mempelajari medan. Nah, sekarang pengurus memberi kesempatan kepada semua personel yang ada untuk menunjukkan kemampuannya sebagai orang kerja. Saya telah memiliki catatan tentang mereka: mana yang betul-betul rajin dan punya loyalitas tinggi, mana yang suka ngomongin pimpinan di luar. Nanti saya ajak mereka bicara. Kalau mau kerja di sini setengah-setengah, maaf saja. Apa keterlibatan Anda dalam pembentukan kontingen? KONI sudah mempercayakannya kepada Satgas Pelatnas yang dipimpin Ketua Harian KONI, Soeweno. Siapa yang mengontrol kesiapan kontingen? Ya, lembaga Satgas itu. Kadang-kadang secara tidak resmi saya mendatangi atlet-atlet, menanyakan kesulitan mereka. Bagaimana makanan atau peralatan mereka berlatih. Memang, keluhan mereka mesti dicek lagi. Adakalanya mereka berbohong, sebab atlet itu 'kan juga manusia biasa. Dalam menghadapi SEA Games, ada kesan bahwa yang banyak diurusi cuma segi bisnisnya, seolah-olah persiapan kontingen terabaikan. Persiapan kontingen tak ada masalah. Ada bantuan Porkas Rp 4,5 milyar dan baru-baru ini ditambah lagi Rp 800 juta. Tapi dana untuk menyelenggarakan SEA Games masih kurang, dilihat dari kebutuhannya yang sampai Rp 10 milyar. Tak heran, Panpel menjual stiker di jalan tol, kantor telepon, maupun di tempat-tempat pembayaran listrik. Sebenarnya, itu hal yang wajar, karena untuk menunjang penyelenggaraan event besar tidak seluruh dana diperoleh dari pemerintah. Caranya mungkin kurang kena, sehingga menimbulkan kritik-kritik, membuat SEA Games kurang populer di kalangan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini