Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bethanie Mattek-Sands, 32 tahun, mencoba mendekati net untuk memotong laju bola dalam pertandingan set ketiga putaran kedua turnamen tenis Wimbledon, Inggris, Kamis dua pekan lalu. Petenis Amerika Serikat itu tiba-tiba terjatuh sembari memegangi lutut kanannya.
Sorana Cirstea, yang ada di seberang net, langsung menghampirinya. Untuk beberapa saat, tak ada yang tahu apa yang terjadi. Suasana hening di lapangan 17 itu pun pecah begitu Mattek-Sands berteriak: "Tolong saya, tolong saya!"
Para petugas medis langsung berhamburan menghampiri Mattek-Sands. Cirstea, yang pertama kali menghampiri Mattek-Sands, mengaku tak tega melihat kondisi lutut lawannya itu. "Saya belum pernah melihat posisi lutut yang aneh seperti itu dalam hidup saya. Saya benar-benar terkejut saat melihatnya," kata Cirstea, menggambarkan cedera lutut serius yang menimpa Mattek-Sands. "Dia terus berteriak-teriak kesakitan."
Setelah menjalani perawatan di rumah sakit, Mattek-Sands didiagnosis menderita patellar tendinitis, cedera yang mempengaruhi tendon penyambung tempurung lutut (patella) ke tulang kering. Petenis peringkat ke-103 dunia tunggal putri dan peringkat pertama di ganda putri ini divonis bakal absen lama dari berbagai turnamen. "Saya merasa sedih bakal kehilangan partner ganda," ucap Lucie Safarova, yang meraih tiga gelar Grand Slam terakhir bersama Mattek-Sands di nomor ganda putri.
Mattek-Sands bukan satu-satunya petenis yang mundur dari Wimbledon akibat cedera. Hingga pertengahan pekan kedua turnamen lapangan rumput ini, tercatat sudah ada 10 pemain yang tak bisa melanjutkan pertandingan lantaran cedera, termasuk mantan petenis nomor satu dunia asal Serbia, Novak Djokovic. Petenis unggulan kedua tunggal putra Wimbledon tahun ini tersebut mundur akibat cedera siku kanan.
Djokovic mundur saat menghadapi petenis Republik Cek, Tomas Berdych, di babak perempat final ketika pertandingan baru berlangsung dua set dengan keunggulan Berdych 7-6 (2), 2-0. Akibat cedera ini, Djokovic diprediksi absen dari Grand Slam Amerika Terbuka pada akhir Agustus nanti. "Dokter yang saya temui juga tak tahu pasti apa penyebab cedera ini. Bisa jadi harus dioperasi, tapi bisa juga tak perlu," ucap juara tiga kali di Wimbledon ini.
Meski tak harus mundur dari pertandingan, cedera juga mengganggu penampilan juara bertahan Andy Murray. Petenis Inggris peringkat pertama dunia ini menyerah dalam lima set 6-3, 4-6, 7-6 (7/4), 1-6, 1-6 kepada Sam Querrey di babak perempat final pekan lalu. Kekalahan dari petenis Amerika Serikat peringkat ke-28 dunia itu menjadi kejutan besar di Wimbledon tahun ini.
Meski tampak loyo, Murray tak mau menyalahkan cedera pangkal paha yang kambuh itu sebagai penyebab utama kekalahannya. "Cedera ini sudah lama ada, dan selama ini saya bisa mengatasinya," ucap petenis 30 tahun itu.
Murray menilai pertambahan usia membuat penampilannya tak sebagus beberapa tahun sebelumnya. Kambuhnya cedera kali ini pun ia anggap lebih karena proses penuaan yang normal. "Tentu saja ketika Anda semakin tua, segalanya tak akan sama seperti sebelumnya."
Cedera juga pernah membekap juara Prancis Terbuka tahun ini, Rafael Nadal. Meski kali ini mengaku lebih fit dibanding tahun lalu, petenis Spanyol itu harus mengakui keunggulan lawannya asal Luksemburg, Gilles Muller, dan menyerah 3-6, 4-6, 6-3, 6-4, 13-15 di putaran keempat Wimbledon. Tapi bukan kekalahan itu yang menjadi berita besar bagi Nadal tahun ini, melainkan bagaimana petenis yang berniat gantung raket itu bisa kembali. Salah satunya dengan menjadi juara di lapangan tanah liat di Stade Roland-Garros, Paris.
Sepanjang tahun lalu, Nadal absen dari berbagai turnamen lantaran cedera lutut dan pergelangan tangan. Tapi ia memulai tahun ini dengan apik. Pada Januari lalu, ia menembus final Grand Slam Australia Terbuka sebelum dikalahkan Roger Federer dalam lima set. Setelah itu, ia mencapai final di Miami serta menjuarai Monte-Carlo Masters, Barcelona Terbuka, dan Madrid Terbuka. "Saya sudah kembali," kata Nadal setelah menjuarai Prancis Terbuka.
Apa rahasia di balik kesuksesan Nadal mengatasi cedera panjang yang hampir menamatkan kariernya? Dalam sebuah laporan di The Daily Mail tahun lalu, tim dokter Nadal membeberkan rahasia kesembuhan yang cepat itu. Menurut mereka, Nadal menjalani terapi platelet-rich plasma (PRP) atau plasma darah kaya trombosit pada lututnya. Salah satu kelebihan PRP adalah kemampuannya dalam merangsang penyembuhan tulang dan jaringan lunak secara cepat.
Dalam pengobatan dengan terapi PRP ini, darah pasien diambil kurang-lebih satu botol kecil. Lantas darah tersebut dikocok memakai mesin pemutar untuk memisahkan sel darah kaya trombosit, yang mengandung faktor pertumbuhan dan diyakini memiliki efek regeneratif. Setelah itu, sel darah tersebut disuntikkan ke bagian yang cedera untuk penyembuhan lebih cepat.
Menurut Scientific American, penyembuhan cedera menggunakan terapi PRP untuk kalangan olahragawan lazim dilakukan sejak pertama kali digunakan pada 2008. Diperkirakan, hingga kini, sudah ribuan atlet yang menjalani terapi ini, termasuk pemain golf Tiger Woods, atlet bola basket Kobe Bryant, dan pemain football Amerika, Troy Polamalu.
Pada 2010, badan anti-doping dunia (WADA) sempat melarang penggunaan terapi PRP. Alasannya, penyembuhan ini dapat merangsang performa atlet. Namun, setelah diuji coba kembali setahun berikutnya, ternyata tak ada efek apa pun yang berhubungan dengan performa atlet. Terapi ini pun boleh digunakan lagi.
Meski penampilannya cukup mengesankan pada tahun ini, Nadal terkadang masih merasakan ngilu pada bagian lututnya. "Memang belum 100 persen sembuh. Tapi cedera ini sudah tidak terlalu mengganggu meski kadang-kadang masih terasa," ucap Nadal, yang penampilannya di lapangan rumput Wimbledon kali ini tak sebagus di lapangan tanah liat Prancis Terbuka bulan lalu. "Yang penting sekarang saya sudah bisa tampil lagi dan tak seperti tahun lalu yang cedera ini membuat saya frustrasi."
Federer, Serena Williams, dan Venus Williams juga kerap dirundung cedera. Rata-rata mereka mengalami cedera pada lutut, pergelangan tangan, atau siku. Yang menjadi pertanyaan, mengapa dalam olahraga yang tak ada kontak fisik sama sekali dengan lawan tanding ini justru cedera menjadi sangat biasa dan mengkhawatirkan?
Padatnya jadwal pertandingan dituding sebagai salah satu biang banyaknya pemain cedera. Belum lagi jenis lapangan yang berbeda-beda, tanah liat, rumput, beton, dan karpet, turut andil dalam membuat pemain mudah mengalami cedera. Murray, sebagai contoh, tahun lalu menjalani 87 pertandingan. Terakhir kali ia tampil pada 20 November. Namun, pada 30 Desember, petenis Inggris ini sudah harus mengayunkan raketnya sebelum tampil di Australia Terbuka. Artinya, Murray hanya punya masa istirahat kurang dari enam pekan.
Dokter ahli bedah Richard Berger, yang kerap menangani operasi petenis profesional, antara lain Del Potro dan Laura Robson, mengatakan terlalu banyak turnamen ATP dan WTA yang digelar dalam satu musim. "Tak banyak waktu bagi pemain memulihkan kondisi tubuh karena terlalu padatnya jadwal pertandingan," ujarnya. Menurut Berger, salah satu cara menghindari cedera adalah mengurangi tampil di berbagai turnamen, terutama turnamen bukan kelas Grand Slam.
Masalahnya, menurut mantan petenis tunggal putri nomor satu dunia Jelena Jankovic, jika pemain terlalu banyak absen di berbagai turnamen, peringkat dunia mereka bakal melorot. "Itu masalahnya. Kami tak ingin kehilangan peringkat hanya karena memilih absen di berbagai turnamen," ucap petenis Serbia berusia 32 tahun itu. Meski begitu, Jankovic menambahkan, di sisi lain mereka juga tak ingin cedera mengganggu penampilan. "Situasinya menjadi serba sulit."
Menurut Berger, sekalinya pemain mengalami cedera serius, ada peluang besar kambuh di kemudian hari. Meski asupan gizi para pemain saat ini jauh lebih baik dibanding sebelumnya, risiko cedera tetap saja ada akibat kelelahan. "Sekali terkena cedera, sulit untuk bisa kembali ke permainan puncak seperti sebelum cedera," tuturnya.
Firman Atmakusuma (BBC, Wimbledon, New York Times, Telegraph)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo