Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rudy Eka Priyambada masih asyik merekam para pemain Korea Selatan yang sedang berlatih di Lapangan ABC Senayan, tiga pekan lalu, ketika seorang asisten pelatih mereka mendadak menghampirinya. "Maaf, latihan ini tertutup, tidak boleh dilihat," ujar asisten pelatih tersebut dengan nada ketus.
Rudy memang ditugasi pelatih tim nasional Indonesia U-19, Indra Sjafri, memantau langsung latihan tim Korea Selatan. Bermodal handycam, ia pun mengendap-endap di pinggir lapangan sebelum akhirnya kepergok. "Lumayanlah sudah dapat 30 menit," katanya.
Sehari menjelang laga melawan Korea Selatan, Rudy mempresentasikan video rekaman yang telah diramu dengan sejumlah cuplikan pertandingan Korea Selatan saat melawan tim lain. "Dari rekaman pertandingan terlihat lini tengah mereka lemah, tapi sayap kiri dan kanannya bagus," ucap Rudy kepada Indra Sjafri dan para asisten pelatih.
Rudy bukan sekadar juru gambar. Ia mengantongi lisensi B dari Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) dan pernah mengikuti sekolah kepelatihan di Jerman bersama Federasi Sepak Bola Jerman (DFB). Tak mengherankan jika ia begitu lihai memetakan kekuatan Korea Selatan.
Ada Rudy (bersama koleganya, Rasiman) yang pintar menganalisis rekaman video, ada juga Syafiq Bahanan yang membeberkan kekuatan Taegeuk Warriors—julukan kesebelasan Korea Selatan—lewat angka. Ia menghitung secara detail umpan para pemain Korea Selatan; berapa yang tepat dan berapa yang salah alamat. Ia juga mencatat setiap tembakan ke gawang, dari jumlah tackling, heading, hingga penguasaan bola per pemain. Data tentang tim Korea Selatan, tim nasional U-19, dan lawan-lawan lain dikumpulkan dalam sebuah statistik berisi 33 buah parameter.
Syafiq mempresentasikan semua ini kepada tim pelatih. Bermodal hasil analisis itu, Indra Sjafri kemudian merumuskan pola latihan. Dia membuat game dan skema latihan berdasarkan statistik tersebut. "Saya sangat terbantu," katanya.
Penyuplai data tersebut—Rudy, Rasiman, dan Syafiq—adalah telik sandi yang dikirim dari High Performance Unit (HPU) bentukan Badan Tim Nasional. "Unit ini dibentuk untuk mendukung tim nasional," ujar Ketua High Performance Unit Demis Djamaoeddin. HPU menggandeng Lab Bola, lembaga penyaji statistik pertandingan sepak bola. "Mereka mencatat semua pergerakan pemain kemudian dikonversikan ke statistik."
Dari lab inilah kemudian kita jadi ngeh: ternyata jumlah umpan yang dilakukan para pemain tim nasional U-19 tak terpaut terlalu jauh dengan tim-tim Eropa. Dalam setiap pertandingan, tim nasional U-19 rata-rata melepaskan 600 kali umpan dengan akurasi mencapai 80 persen.
Bahkan, saat mengalahkan Filipina 2-0, tim ini melepaskan 688 umpan—605 di antaranya akurat. "Ini wow banget karena klub-klub Eropa biasanya melepaskan 700 kali umpan setiap pertandingan," ujar Syafiq.
Dengan jumlah umpan di atas 500 per pertandingan, gaya permainan tim nasional U-19 menjadi mirip Barcelona FC. Menurut infostradasports, klub asal Spanyol itu rata-rata melepaskan 700 umpan per pertandingan.
Statistik umpan ini kemudian menjadi rujukan bagi pelatih fisik, Nur Saelan, untuk membuat format latihan yang sesuai dengan umpan-umpan pendek. "Semakin banyak umpan, pergerakan pemain juga semakin banyak," ucapnya. Karena itu, Nur SaeÂlan selalu menyertakan bola dalam setiap latihan fisik. Kombinasi latihan dengan menu makan dan psikoterapi yang tepat melahirkan tim yang bermain secara spartan.
Alfan Nur Asyhar, dokter tim nasional U-19, menyusun menu makan khusus untuk tim nasional. Buat sarapan, ia menyediakan susu campur madu plus roti. Untuk santap siang, ia memilihkan makanan yang mengandung karbohidrat tinggi, seperti nasi dan kentang, ditambah sayur dan ikan. Menu makan malam pun tak jauh berbeda dengan makan siang.
Alfan juga membuat daftar makanan yang haram dikonsumsi, seperti sambal dan gorengan. Sambal bisa membuat perut mulas dan gorengan memicu radang tenggoÂrokan. Penyedap rasa juga masuk daftar hitam karena bisa memperlambat impuls otak—membuat respons pemain jadi berkurang.
"Klub-klub di Eropa sudah lama merapikan pola makan khusus untuk meningkatkan stamina para pemain mereka," kata Alfan. Selain mengatur pola makan, ia mempraktekkan krioterapi atau metode pemulihan sekaligus pencegahan cedera dengan menggunakan es.
Seusai latihan, setiap pemain diminta berendam di kolam renang selama 5-10 menit. Tujuannya untuk merelaksasi otot. Setelah itu, pemain masuk ke tong berisi air setinggi pinggang bersuhu minus selama dua menit.
Air bersuhu minus bisa mencegah kerusakan jaringan sekunder dan mengurangi sinyal rasa sakit ke sistem saraf pusat. Cara ini efektif menangkal cedera. "Setelah itu, mereka masuk ke air hangat agar peredaran darah yang mengecil kembali lancar sehingga ligamen lebih fresh," ujar Alfan.
Hasilnya, para pemain tim nasional sanggup bermain sepanjang 90 menit. Bahkan, saat menundukkan Vietnam di babak final Piala AFF U-19, mereka bermain selama 120 menit tanpa kehabisan napas. Menurut Indra Sjafri, VO2Max para pemain rata-rata di atas 53, bahkan ada yang sampai 60. Padahal, "Standar Asianya (hanya) 53."
V02Max adalah kapasitas maksimum tubuh untuk menyalurkan dan menggunakan oksigen selama beraktivitas. V02Max mirip tangki bensin: semakin besar ukurannya, semakin banyak pula bensin yang bisa ditampung. "Makin jauh pula mobil itu bisa jalan," kata Indra.
Indra memang tak main-main dengan timnya. Semua harus ada angka dan datanya sehingga bisa dianalisis secara akurat. "Indra Sjafri telah mengusung sepak bola modern sehingga dia juga membutuhkan tim backup," ujar Rudy Eka.
Tim pendukung tersebut tak lain adalah para telik sandi seperti dirinya, Rasiman, dan Syafiq dari High Performance Unit; tim dokter di bawah Alfan Nur Asyhar; pelatih fisik Nur Saelan; serta pelatih mental Guntur Cahyo Utomo dan Jarot Supriadi. "Juga kitman (seksi perlengkapan pemain)," kata Indra Sjafri.
Hasil kolaborasi mereka sukses memboyong Piala AFF U-19 sekaligus mengantarkan Evan Dimas cs ke putaran final Piala AFC setelah menumbangkan Korea Selatan 3-2. Sekretaris Jenderal Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Djoko Driyono pun memuji, "Ini benchmark terbaik dari manajemen youth yang ada sekarang."
Dwi Riyanto Agustiar, Gadi Makitan
Dari Sepatu Murah ke La Masia
Evan Dimas Darmono masih berusia 9 tahun ketika merengek minta dibelikan sepatu bola. Tak punya cukup uang, Ana, sang bunda, kelimpungan.
Ana hanya ibu rumah tangga biasa, sedangkan suaminya, Darmono, pedagang sayur keliling. Kondisi keuangan mereka pas-pasan. Tapi, demi sang anak sulung, Ana pun ngacir ke pasar. "Saya membelikannya sepatu bola yang harganya Rp 20 ribu," kata Ana mengenang.
Meski murah, sepatu itu sudah cukup membuat Evan kecil tersenyum lebar. Hampir sembilan tahun kemudian, giliran Ana tersenyum lebar. Bersama suami dan keluarga besarnya, ia bersorak girang ketika Evan mencetak tiga gol ke gawang Korea Selatan, yang membawa Indonesia menang 3-2.
"Begitu Evan pulang, saya langsung memeluknya," ujar Ana. Sehari setelah kemenangan itu, Ana menggelar syukuran kecil-kecilan di rumahnya. "Sebagai bentuk rasa syukur kami."
Evan kini memang telah menjelma menjadi pahlawan. September lalu, ia membawa tim nasional U-19 meraih Piala AFF U-19. Ini trofi pertama Indonesia setelah hampir dua dekade tanpa gelar. Dua pekan lalu, Evan membawa tim nasional U-19 melenggang ke putaran final Piala Asia U-19 setelah mengalahkan Korea Selatan, Filipina, dan Laos. Total ia mengoleksi empat gol di ajang ini.
Torehan itu membuat nama pemain kelahiran 13 Maret 1995 ini tak kalah kinclong dibanding Andik Vermansyah atau Boaz Solossa, dua bintang di tim nasional senior.
Bahkan nama Evan Dimas lebih dahsyat karena ia pernah menimba ilmu di La Masia, akademi sepak bola milik Barcelona. Ia digojlok langsung oleh Josep Guardiola.
Meski begitu, Evan tetap seorang pendiam. Nama besar dan torehan prestasi tak membuatnya jemawa. Saat diwawancarai Tempo setelah mencetak hat-trick ke gawang Korea Selatan, ia bahkan hampir tak pernah mengangkat dagunya. "Saya menjaga diri saya agar tidak sombong," katanya.
Dwi Riyanto Agustiar, Gadi Makitan, Nurul Chumaidah (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo