Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemberantasan Korupsi semestinya segera menyelidiki kasus sengketa pengelolaan Pasar Tanah Abang Blok A. Kecurangan PT Priamanaya Djan International, yang mengakali Perusahaan Daerah Pasar Jaya, sudah terbukti dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Jakarta. Kerugian Pasar Jaya bisa mencapai Rp 300 miliar.
Sengketa antara Pasar Jaya dan perusahaan milik keluarga Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz ini sebetulnya sudah dibawa ke pengadilan. Priamanaya menggugat Pasar Jaya, yang dianggap wanprestasi dengan tak memperpanjang kontrak. Pasar Jaya menggugat balik karena Priamanaya dinilai menyalahi kontrak dan merugikan perusahaan. Pasar Jaya keukeuh tak memperpanjang kontrak.
Sayangnya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengabaikan bukti-bukti yang diajukan Pasar Jaya. Perusahaan itu justru dinilai wanprestasi dan harus memperpanjang kontrak Priamanaya. Hukuman bagi Priamanaya malah sangat ringan, yakni membayar biaya pengelolaan yang jumlahnya cuma Rp 8 miliar.
Sengketa ini terjadi akibat kontrak yang timpang. Dalam kontrak awal, pada 2003, disebutkan bahwa Blok A akan diserahkan jika penjualannya sudah mencapai 95 persen atau setelah kontrak berjalan lima tahun. Sampai kini, angka itu tak pernah tercapai, malah ada perjanjian tambahan yang menyebutkan kontrak akan diperpanjang setahun-setahun, sampai tercapai angka 95 persen. Perjanjian ini timpang karena penjualan dan penentuan harga kios menjadi hak Priamanaya sepenuhnya.
Walhasil, Priamanaya terus-menerus "gagal" menjual dan masih mengangkangi Blok A. Priamanaya juga diuntungkan karena menyewakan kios yang belum terjual, dan soal ini tak diatur dalam kontrak. Hal lain yang sangat merugikan adalah sistem bagi hasil yang didasari laba bersih setelah dikurangi biaya. Sebetulnya ini lazim dalam berbagai perjanjian. Yang merugikan adalah pengelolaan atas biaya-biaya itu dilakukan oleh anak perusahaan Priamanaya. Ujung-ujungnya, tak pernah ada bagi hasil karena Blok A masih merugi.
Komisi antikorupsi sudah memanggil dua mantan Direktur Utama Pasar Jaya, tapi masih belum mengangkat kasus ini ke tingkat penyelidikan. Bukti-bukti awal rasanya sudah cukup untuk menunjukkan adanya kerugian negara. Jika kasus ini tak segera ditindaklanjuti, kerugian itu makin besar karena pengadilan meminta kontrak Priamanaya dilanjutkan.
Komisi Yudisial semestinya juga turun tangan mengusut kejanggalan putusan itu. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1321 menyebutkan suatu persetujuan tidak memiliki kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Penipuan yang dimaksud dijelaskan pada Pasal 1328, yaitu penipuan yang dipakai salah satu pihak sedemikian rupa sehingga nyata bahwa pihak lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat.
Dalam Pasal 1328 juga dinyatakan bahwa penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, tapi harus dibuktikan. Semestinya hasil audit BPKP dan BPK serta enam perjanjian yang hanya menguntungkan Priamanaya bisa digunakan sebagai bukti yang menunjukkan adanya unsur penipuan. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial harus membuat terang kasus ini.
berita terkait di halaman 124
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo