Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari 'Islam Ramah' ke 'Islam Marah'

Buku yang berbicara tentang perkembangan wajah Islam di Indonesia pada era pasca-reformasi.

21 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the 'Conservative Turn'
Penyunting: Martin van Bruinessen
Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, Singapura 2013
Tebal: xxxiv + 240 halaman

Diambil dari satu poster pada sebuah demonstrasi Front Pembela Islam di Jakarta, kulit muka buku ini memperlihatkan wajah Islam yang "sangar" di Indonesia. Ada beberapa nama atau lukisan figur dan lembaga terkenal di situ, disertai tulisan seperti "Ganyang Liberal" dan "Bubarkan Ahmadiyah". Mereka dianggap sesat, murtad, kafir, bukan Islam.

Memang pesan itulah yang hendak disampaikan buku yang disunting Martin van Bruinessen, peneliti senior asal Belanda yang sudah sangat mengenal Indonesia, ini. Ada yang berubah pada Islam di Indonesia di era reformasi, dari Islam yang ramah (dikenal sebagai "smiling Islam", tulis Van Bruinessen) ke sesuatu yang bisa kita sebut sebagai Islam "marah". Dari Islam yang moderat, progresif, jika bukan liberal, menjadi Islam yang konservatif.

Pesan ini tampak pada empat studi kasus para sarjana Indonesia yang pernah belajar bersama Van Bruinessen. Dalam studinya yang memukau, Moch. Nur Ichwan menelusuri bagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) "berubah haluan" dari khadim al-hukumah (pelayan negara) menjadi khadim al-ummah (pelayan umat). Tapi "umat" di sini tentu umat seperti didefinisikannya sendiri, menjadikan MUI organisasi "moderat puritan". Meski mengecam terorisme, lembaga bentukan Soeharto itu kini melakukan purifikasi tak hanya atas makanan (label halal), pasar (misalnya sistem keuangan dan perbankan Islam), pikiran (anti-liberalisme, pluralisme, dan sekularisme), dan akidah (anti-Ahmadiyah), tapi juga moral publik (anti-pornografi dan pornoaksi). MUI jadi dekat dengan Islam yang marah karena, sementara mengeluarkan fatwa yang "menyesatkan" Ahmadiyah, misalnya, lembaga itu tak mengecam kekerasan-kekerasan yang terjadi sebagai akibatnya.

Naiknya konservatisme juga terjadi di Muhammadiyah, seperti ditunjukkan sangat detail dalam studi Ahmad Najib Burhani. Ini tampak terasa sejak Din Syamsuddin memimpin organisasi itu, menggantikan M. Amien Rais dan Syafii Maarif. Akibatnya, misalnya, peran anak-anak muda yang berpikiran progresif, juga umumnya kalangan perempuan, makin terpinggirkan.

Memudarnya keramahan Islam juga tampak dari makin populernya sejumlah peraturan daerah bernuansa syariah. Ini antara lain dimotori Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) di Sulawesi Selatan, yang dikaji Mujiburrahman dalam buku ini. Meski benihnya sudah tertanam sejak Kahar Muzakkar memberontak untuk mendirikan negara Islam, gerakan itu seperti memperoleh momentum baru berkat tersedianya demokrasi pada era reformasi. Ingat, Abdul Azis Kahar, petinggi KPPSI, adalah anak Kahar Muzakkar yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah atas dukungan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bulan Bintang.

Dan yang paling jelas, setidaknya di buku ini, naiknya Islam "marah" di Indonesia tampak di Surakarta, Jawa Tengah, yang terkait dengan Pesantren Ngruki, seperti dipaparkan Muhammad Wildan. Menurut dia, dan bukti-buktinya cukup jelas, radikalisme Islam di bawah kepemimpinan Abu Bakar Ba'asyir itu membenarkan penggunaan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan tegaknya negara Islam.

Meski bermaksud menjelaskan gejala di atas, tak ada jawaban pasti kita temukan dalam buku ini. Dan memang tak mudah menemukannya.

Martin van Bruinessen tampak sangat hati-hati dalam berkesimpulan. Tapi cukup jelas baginya bahwa pengaruh Wahhabisme, dalam bentuk dana dan ideologi, yang sering dituduh sebagai biang keladi naiknya Islam "marah" di atas, bukan jawaban memuaskan. Meski penting, pengaruh itu tak datang dengan wajah Islam yang tunggal. 

Sayangnya, argumen lain, terkait dengan kesempatan politik yang tersedia akibat demokratisasi, tak cukup didiskusikan. Bagi Van Bruinessen, argumen ini hanya relevan untuk menjelaskan makin banyaknya aktivis yang terjun ke partai politik, meninggalkan organisasi kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang diisi kalangan muslim konservatif. Argumen itu juga seperti melegitimasi logika yang salah bahwa Islam yang ramah dan progresif hanya bisa hidup di bawah ketiak otoritarianisme.

Dua hal di atas tentu sangat penting. Tapi transisi demokrasi di mana-mana juga dicirikan oleh kemampuan pemerintah yang lemah dalam melakukan tugas pokoknya—khususnya terkait dengan kesejahteraan dan penegakan hukum—yang menyuburkan pikiran dan aksi radikal.

Selain itu, transisi di mana-mana dicirikan oleh tampilnya politikus demagog yang akan memanfaatkan apa saja untuk memenangi kursi politik. Di negeri yang masih merupakan tanah subur bagi teori konspirasi ini, bukankah faktor itu juga bisa banyak menjelaskan naiknya Islam yang garang?

Terlepas dari itu, semua sumbangan dalam buku ini sangat penting dibaca, bahkan sekadar untuk informasi yang dipaparkannya. Buku ini seperti menandai telah lahirnya generasi baru para peneliti muda Islam Indonesia yang tekun dan terampil.

Saya hanya keberatan terhadap kulit muka buku ini, meski segera terhibur karena Van Bruinessen menyebutkan bahwa bisa jadi ini hanya gejala sementara. Dan wajah Islam yang ramah masih ada di kantong-kantong tertentu, meski tak sedominan dulu.

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus