Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAUT muka Serafi Anelis Unani tegang. Napasnya panjang-panjang. Celingak-celinguk, dia melongok papan besar yang terpampang di Stadion Atletik Jakabaring Sport City, Palembang, dua pekan lalu.
Kegelisahan dara 22 tahun itu sangat beralasan. Dia memimpin pertandingan lari 100 meter SEA Games XXVI sejak start. Namun, memasuki garis 70 meter, pelari Thailand, Sanrat Nongnuch—peraih emas di nomor estafet Asian Games 2010 di Guangzhou, Cina—mengancam. Keduanya melewati garis finis hampir bersamaan. Detik demi detik berlalu, papan itu masih kosong.
Senyum Serafi baru terkembang setelah papan besar memampangkan namanya di urutan pertama. Catatan waktunya sama dengan Sanrat, 11,69 detik. Panitia memutuskan pemenang berdasarkan foto di garis finis. "Saya masih tidak percaya," ujarnya saat ditemui Tempo di lobi Wisma Atlet Kompleks Olahraga Jakabaring pekan lalu. Ini emas pertama yang diperoleh pelari putri Indonesia di nomor 100 meter setelah 12 tahun.
Perjuangan panjangnya sekarang terbentang di depan mata. Dia mulai jatuh cinta pada atletik sejak bangku sekolah dasar, saat sering diajak ayahnya, John Unane, berlari. Karena itu, Serafi kerap jadi juara dalam pekan olahraga di sekolahnya. Dia mendalami sprint setelah bergabung dengan klub atletik Fajar Mas Utama di Surabaya. Berbagai prestasi dia sabet, seperti medali perak di kejuaraan remaja dunia di Maroko 2005 dan perunggu di kejuaraan junior Asia di Jakarta pada tahun yang sama. Namun, dalam pesta olahraga Asia Tenggara di Laos dua tahun lalu, dia urung turun di nomor 100 meter karena masalah administrasi, padahal sudah mempersiapkan diri satu tahun.
Sejak emas bergantung di leher, hari-harinya berubah. Senyum lebarnya menghiasi halaman-halaman media. Selama wawancara berlangsung, orang yang lalu-lalang kerap mampir memberi selamat. Dia mengaku tidak suka jadi pusat perhatian. "Saya lebih menyukai Serafi yang dulu, yang tidak dikenal banyak orang," katanya. Namun kebanggaan mengibarkan Merah Putih membayar segalanya.
Kegembiraan Serafi berlipat setelah adik sepupunya, Franklin Ramses Burumi, juga mempersembahkan emas di nomor yang sama, dengan waktu 10,37 detik. Perkawinan emas di nomor 100 meter itu adalah pertama kali dalam sejarah atletik Indonesia. Seperti komet yang terus melaju, Franklin meneruskan prestasi di nomor 200 meter dan estafet 4 x 100 meter.
Di arena lompat galah, Franklin melompat-lompat kegirangan tatkala rekannya memastikan kemenangan tim estafet. Beban berat terlepas dari pundaknya. Pemuda 20 tahun asal Serui, Papua, ini diharapkan bisa menggantikan seniornya, Suryo Agung Wibowo, 28 tahun, yang memutuskan tidak ikut SEA Games. Bukan tugas yang mudah, mengingat yang digantikannya adalah manusia tercepat se-Asia Tenggara dengan rekor 10,17 detik. Dalam ajang yang sama dua tahun lalu, Suryo menyabet emas di nomor 100 dan 200 meter. Tapi Franklin berhasil mengemban tugas dengan baik. Bahkan di usia yang lebih muda empat tahun ketimbang saat seniornya pertama kali menyabet emas SEA Games pada 2007. Juga dibanding sprinter legendaris Mardi Lestari, yang memboyong emas pertamanya di SEA Games 1989, ketika berumur 21. "Adik saya ini memiliki bakat alam yang luar biasa," kata Serafi.
Bakat Franklin terasah sejak kecil. "Kata Mama, dari kecil saya sering lari," katanya. Ketidaksengajaan mengantarnya pada atletik. Sewaktu usia 14 tahun, dia mengantar adiknya, Erwin William, ke kejuaraan atletik pelajar di Papua. Iseng-iseng, si adik juga mendaftarkan abangnya. Mereka memenangi kejuaraan dan berhak mengikuti Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Papua 2006. Empat bulan kemudian, abang-adik itu "naik pangkat" ke sekolah atlet Ragunan, Jakarta. Pada 2008, dia mulai berlatih bersama Suryo Agung Wibowo dan sprinter senior lain, juga ikut pelatihan di Australia.
Sayang, deretan prestasi itu tidak dibarengi kematangan emosi. "Saya tidak mau terkekang dan mulai berulah," ujarnya. Saat persiapan SEA Games 2009, Franklin—waktu itu masuk kategori atlet madya Program Atlet Andalan—ditendang dari pemusatan latihan. Alasannya, mangkir saat latihan estafet. Kepongahannya berulang pada Agustus lalu. Pengurus Persatuan Atletik Seluruh Indonesia mencoretnya dari Stadion Madya Senayan, pusat pelatihan atletik. Beruntung, pelatih Henny Maspaitella memboyongnya ke Surabaya untuk berlatih bersama Serafi.
Seiring dengan berjalannya waktu, Franklin menyadari pentingnya disiplin sebagai jalan peraih prestasi. Bayangan kampung halaman di Jayapura jadi faktor pemicunya. Pengagum sprinter Amerika Serikat, Justin Gatlin, ini teringat lima tahun lalu, saat orang tuanya melarang Franklin meninggalkan Bumi Cenderawasih. Remaja itu ngotot pergi dengan janji membawa pulang prestasi. Tiga emas jadi bukti janji tersebut. Dari hasil kerja kerasnya di lintasan lari, Franklin akan membeli rumah bagi orang tuanya. Saat ini, pasangan Max Ian Burumi dan Dolly Wari Musi menempati rumah dinas guru sebuah sekolah di sana. "Kalau di rumah sendiri akan lebih nyaman," ujarnya.
Kampung halaman juga jadi pusat perhatian Serafi. Meski ia lahir di Surabaya, darah Papua mengalir di nadinya. Orang tuanya berasal dari Serui, Kepulauan Yapen. Serafi terakhir menginjak tanah leluhurnya tahun lalu. Dia ingin segera pulang kampung, mengunjungi klub-klub atletik di sana, dan memberi semangat untuk adik-adiknya, misalnya agar tidak minder karena kekurangan fisik. Gadis ini mencontohkan tingginya yang cuma 154 sentimeter dan dianggap terlalu mini untuk pelari sprint. "Badan boleh kecil, tapi nyali harus selalu besar," katanya. Menurut dia, orang lain boleh memandang Papua sebelah mata. Namun itu justru akan menambah motivasi anak-anak Mutiara Hitam untuk berprestasi lebih baik.
Tak hanya terbaik di tingkat kawasan, Franklin juga mengejar nomor wahid di kolong langit. Caranya cuma satu: ikut serta di Olimpiade. Tak seperti sekarang ini, di sanalah ia akan berhadapan dengan realitas dunia olahraga, dan mengetahui di mana posisinya di antara para atlet dunia. Franklin bertekad memangkas catatan waktunya jadi di bawah 10,28, sesuai dengan batasan keikutsertaan di pesta olahraga terbesar sejagat itu. "Beri saya waktu," katanya. Dengan usia belia, waktu tampak bersahabat bagi pasangan emas itu.
Reza Maulana, Ezther Lastania (Palembang)
Franklin Ramses Burumi
Tempat/tanggal lahir: Serui, 14 Mei 1991
Ayah: Max Ian Burumi
Ibu: Dolly Wari Musi
Saudara: Erwin William Burumi, Ludwina
Pendidikan: Universitas Merdeka Malang
Serafi Anelies Unani Perolehan Waktu Terbaik untuk 100 m (dalam detik)
Franklin Ramses Maret 2011 Mei 2011 Serafi Anelis Unani 2005 2009
Tempat/Tanggal lahir: Surabaya, 17 Februari 1989
Ayah: John Unane
Ibu: Margaretha Sanggenafa
Saudara: Yesyurun Benya Unane, Maher Syalal Hasyibas Unane
Tinggi/Berat Badan: 154 cm/44 kg
Status: Belum menikah
Pendidikan: Mahasiswa semester V Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Juni 2010
Chennai, India 10,51
Surabaya
10,33
Jiaxing, Cina
10,61
2004
Palembang
12,46
Sidoarjo
12,11
Berlin
12,05
Lari…, Tri, Lari…
DI dunia bisnis, ukuran barangkali urusan nomor wahid. Tapi di lomba lari jarak jauh, ukuran tubuh tak ada urusannya dengan nyali, tekad, dan prestasi. Tinggi Triyaningsih hanya 146 sentimeter dengan berat 37 kilogram.
Dengan melawan rasa sakit di kakinya, kaki mungil pelari asal Salatiga, Jawa Tengah, ini tak henti berpacu menempuh jarak 42,195 kilometer atau setara dengan jarak Jakarta-Depok. "Jangan bilang-bilang kakiku sakit, ya. Nanti tak boleh ikut bertanding," kata Triyaningsih, 24 tahun, sebelum berlomba maraton pekan lalu.
Telapak kaki Triyaningsih melepuh setelah ia menang dalam nomor lari 10.000 meter sehari sebelumnya. Hingga Rabu pekan lalu, dia sudah menyabet tiga emas dari tiga nomor lari jarak jauh di SEA Games XXVI. Emas dari lari maraton itu adalah emas ketiganya.
Di Asia Tenggara, gadis mungil ini sepertinya tak punya lagi lawan sepadan. Dalam tiga kali SEA Games terakhir, medali emas nomor lari 5.000 meter dan 10.000 meter selalu jatuh ke tangannya. Jika dalam SEA Games 2005 di Manila dia dikirim, barangkali sudah sembilan emas yang dia raih dari SEA Games.
Dalam SEA Games XXIII di Manila, dia tak diberangkatkan karena pengurus Persatuan Atletik Seluruh Indonesia menganggapnya kurang disiplin. Dia dianggap membangkang larangan mengikuti lomba lari Bali 10K. Setahun kemudian, Triyaningsih kembali tak disertakan dalam tim Indonesia ke Asian Games di Doha, Qatar. Keputusan pengurus Persatuan Atletik itu membuatnya kecewa berat.
"Padahal saya sudah berlatih sangat keras selama ini dengan mengorbankan banyak hal, termasuk ibadah puasa saya. Bahkan saya hanya libur sehari saat hari raya Lebaran," Triyaningsih menumpahkan rasa kesal, kala itu.
Sakit hati itu terbayar lunas setahun kemudian di SEA Games XXIV di Nakhon Ratchasima, Thailand. Laju Triyaningsih di lintasan lari 5.000 meter dan 10.000 meter tak terkejar pelari lain. Bahkan di nomor 5.000 meter, tak cuma merebut medali emas, Triyaningsih juga memecahkan rekor SEA Games dengan waktu 15 menit 54,32 detik. Jarak waktunya cukup jauh dari rekor lama Supriati Sutono, yakni 16 menit 8,93 detik, pada 2001. Setelah itu, Triyaningsih tak henti berlari. Rekor demi rekor dia pecahkan.
Sapto Pradityo, Ezther Lastania (Palembang)
Triyaningsih Prestasi SEA Games:
SEA Games 2007 (Thailand): 2 emas SEA Games 2009 (Laos): 2 emas SEA Games 2011 (Indonesia): 3 emas
Lahir: 15 Mei 1987
Asal provinsi: Jawa Tengah
- Nomor 5.000 meter: 15,54 menit
- Nomor 10.000 meter: 34,07 menit
- Nomor 5.000 meter: 15 menit 56,79 detik
- Nomor 10.000 meter: 32 menit 49,47 detik (rekor)
- Nomor 5.000 meter: 16 menit 07,87 detik
- Nomor 10.000 meter: 34 menit 52 detik
- Nomor maraton: 2 jam 45 menit 36 detik
Sumber: Tempo dan http://www.koni.or.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo