Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahidah*
Kemusnahan bahasa tidak terelakkan disebabkan alasan kesejarahan, demografi, atau serbuan bahasa asing. Yang terakhir kadang dibenarkan untuk menjadikan bahasa tertentu bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman melalui penyerapan kosakata baru. Belum lagi ikhtiar penerjemahan ilmu pengetahuan dan istilah teknologi modern memaksa pemakai bahasa yang baik mengerutkan dahi dalam memastikan bahasa sasaran, bahasa Indonesia, tidak semakin pupus. Yang merepotkan, penerjemahan bahasa filsafat, yang meskipun susunannya bukan sama sekali baru, lazim mengandaikan pemahaman tertentu. Hal ini menyebabkan dosen mengambil jalan mudah dengan penyerapan begitu saja, seperti istilah thinginitself menjadi sesuatudalamdirinya.
Gagasan Kant tentang noumena di atas tentu masih bisa dipahami dengan menyebut sesuatudalamdirinya. Lalu bagaimana dengan istilah filsafat yang mengandaikan kata benda yang dibentuk dengan pengimbuhan pean yang bermakna proses menjadi? Kata dasar hancur—yang menjadi penghancuran—berarti proses menjadi hancur dengan imbuhan pean. Malangnya, penghancuran tidak digunakan untuk menggantikan kata dekonstruksi, sebagai kata kunci dalam pemikiran Jacques Derrida. Demikian pula penyerapan kata diferensiasi, yang diartikan sebagai berikut: 1. Proses, cara, perbuatan membedakan; pembedaan; 2. Perkembangan tunggal, kebanyakan dari sederhana ke rumit, dari homogen ke heterogen; dan 3. Proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan perbedaan usia, jenis kelamin, dan pekerjaan.
Jika isasi dimasukkan dalam kamus kita, apakah kata diferensiasi di atas merupakan bentukan dari akhiran isasi dan diferens? Tentu tidak, karena kata yang terakhir ini tidak ditemukan dalam kamus. Lalu mengapa kita hanya mengambil turunan kata bahasa Inggris dan tidak kata dasarnya, differ?
Menariknya, kalau kita lihat makna ketiga diferensiasi, kita bisa menerka itu adalah pengertian sosiologis. Kata itu telah mengalami penafsiran lebih jauh tentang pembedaan struktur masyarakat. Lalu apakah pembedaan mengandaikan makna kata diferensiasi? Kamus Besar Bahasa Indonesia pun tak berani menyejajarkan dua kata yang sebenarnya merupakan padanan. Kamus kita hanya mengartikan pembedaan sebagai berikut, proses, cara, perbuatan membedakan.
Akibat kegagapan kamus, orang ramai pun merasakan perbedaan antara pembedaan dan diferensiasi. Kaum cerdik pandai akan mengutamakan yang terakhir jika berbicara susunan masyarakat dalam perbincangan ilmiah. Malah hal serupa, klasifikasi, yang mengandung arti yang sama dengan pengelompokan, tak menyurutkan langkah mereka untuk menggunakan yang terakhir. Malangnya, penggunaan kata pengklasifikasian juga ditemukan, yang jelasjelas berlebihan. Berbeda dengan bahasa Malaysia, kata klasifikasi diterjemahkan dengan pengelasan, yang merupakan gabungan antara imbuhan pean dan kelas. Sepatutnya pengelasan juga bisa digunakan, mengingat kata kelas, yang berasal dari class, telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Apa lacur, kamus kita hanya berhenti pada kata mengelaskan untuk menunjukkan memperlakukan orang lain berdasarkan kelas atau kedudukan. Mungkin kata pengelasan dianggap lebih cocok untuk proses menyambungkan besi dengan cara membakar.
Tentu keengganan kita menggunakan imbuhan pean disebabkan oleh padanan dalam bahasa Indonesia yang terlalu panjang. Misalnya dehumanisasi, yang berarti penghilangan harkat manusia, akan membuat penutur merasa tidak bisa mengungkapkan gagasan besar tentang humanisme jika tidak menggunakan dehumanisasi dan merasa tak sepenuhnya menerima padanannya dalam bahasa Indonesia. Apatah lagi, imbuhan de, yang bermakna hilang, telah diserap ke dalam bahasa Indonesia untuk membuka jalan agar bahasa Indonesia berlimpah kosakata. Padahal sejatinya ia telah mengubur khazanah sendiri dan makin membuat orang ramai malas mencari sinonim dalam bahasa setempat.
Sedangkan bahasa Malaysia mencoba memanfaatkan kata nyah untuk dipadankan dengan de agar istilahistilah asing yang bermakna negatif, seperti un, anti, dan dis, bisa diterjemahkan ke dalam bahasa tempatan. Adalah tidak aneh jika Karim Raslan, kolumnis ternama, menggunakan penyahpusatan untuk menyebut desentralisasi dan penyahisanan untuk dehumanisasi. Mungkin kita merasa aneh mendengar kata majemuk yang mendapat imbuhan pean seperti di atas, meskipun masingmasing penggalan kata dari keduanya bisa ditelusuri di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Yang menarik, ketika kita akrab dengan kata pengumuman, yang berasal dari pean dan umum, hampirhampir kita tak menggunakan kata pengkhususan sebagai padanan kata spesialisasi. Kita akan menyebut dokter spesialisasi jantung, meskipun kita juga mengenal dokter umum. Sementara itu, orang negeri jiran akan memilih dokter pakar untuk mengelak dari penggunaan kata berakhiran isasi, walaupun belakangan ini ada kecenderungan mereka menyuburkan pemakaian kata berakhiran isasi di tempat lain, seperti realisasi, yang sebelumnya lebih mengutamakan kata perwujudan. Bagaimanapun, kita tak menyangkal isasi, tapi, dengan membiarkan kedigdayaan pean surut, secara perlahan imbuhan ini akan musnah.
*) Dosen Filsafat dan Etika Universiti Utara Malaysia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo