Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rambut panjang Sardono tergerai. Selubung sorban putih yang dikenakannya ia lepas. Ia seolah-olah menjaga keseimbangan. Meja besar tempatnya berdiri berubah menjadi metafora lambung kapal api. Meja besar itu bergerak, miring ke sana-kemari. "Kapal" oleng. Juluran tali-temali yang centang-perenang muncul darinya dan ditarik oleh penari-penari. Tiba-tiba, dibanding adegan lain, adegan ini terasa kuat.
Meja besar buatan perupa Hardiman Radjab itu awalnya berfungsi sebagai meja perjamuan pesta mabuk-mabukan Jenderal De Kock. I Nyoman Sura—penari asal Bali yang memerankan De Kock—bersama penari lain yang membawakan peran serdadu Belanda naik bersama-sama ke atas meja. Mereka melakukan adegan mabuk itu. Gila-gilaan. Menari di atas meja panjang dalam khazanah tari kontemporer bukan hal baru. Tapi malam itu adegan itu cukup liar.
Adegan kapal itu merupakan visualisasi Sardono atas perjalanan Diponegoro menuju pembuangan. Dalam catatan hariannya, Diponegoro menulis, ia bersama budak belian berlayar melewati beberapa kota pelabuhan di pesisir Jawa, Sumba, dan Flores sebelum tiba di Manado. Banyak yang sakit dan meninggal dalam pelayaran dua bulan itu. Dari kota ini, Diponegoro kemudian dipindahkan ke Makassar dan dikurung di Benteng Fort Rotterdam.
Iwan Fals, yang berdiri di sisi kiri panggung, menyanyikan hal itu: Pelayaran dari Betawi ke Menado sesungguhnya sangat lamban dikarenakan tanpa angin. Banyak yang sakit dan meninggal dalam dua bulan pelayaran ini.
Sardono seakan-akan terobsesi oleh Diponegoro. Telah berkali-kali ia mementaskan Opera Diponegoro. Pertama kali pada 1995 dalam Art Summit, Jakarta. Setelah itu, ia melibatkan kerabat Keraton Yogya dalam sebuah pentas di Keraton. Ia juga pernah membuat versi kecil saat dipanggungkan di Asia Society, New York, dan Teater Salihara, Jakarta. Dan kini sama sekali lain. Dengan penari-penari baru, Sardono mengganti hampir semua koreografi. "Kalau tidak, bisa tertelan oleh suara Iwan," katanya.
Namun yang amat terasa ialah keinginan Sardono membuat pertunjukannya aktual. "Kisah Diponegoro ini ternyata relevan sekali dengan persoalan Indonesia kini," katanya. Maka ia mengganti, misalnya, penari Mugiyono—yang pada pentas-pentasnya terdahulu mencuri perhatian, tatkala di awal pertunjukan, ketika tirai berupa replika besar lukisan Penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh terbuka, dia terlihat berputar-putar bagai gasing. Mugiyono kini digantikan Boogie Papeda, penari asal Papua. Boogie menari menggunakan koteka. Orang bisa menduga-duga adanya penari mengenakan koteka ini lantaran Sardono ingin menyisipkan problem Papua.
Iwan Fals sendiri bukan tanpa alasan dipilih Sardono. Citra penyanyi protes yang melekat pada diri Iwan dianggap Sardono cocok untuk melantunkan catatan harian Diponegoro, yang di sana-sini banyak menyuarakan kegetiran. Sardono kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia beberapa bagian syair Diponegoro versi Keraton Surakarta, yang dianalisis Peter Carey dalam disertasinya, "The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java 1785-1855".
Mulanya tak terbayangkan bagaimana cara Iwan bisa klop dengan opera ini. Apakah ia tampil seorang diri atau dengan band. Ternyata ia seorang diri dengan gitar. Iwan hadir di setiap babak, laksana seorang dalang yang menembangkan kisah Diponegoro. Dengan lagu-lagu itu pula, Iwan menciptakan karakter Diponegoro, De Kock, dan Ratu Kidul, yang dalam lakon ini diceritakan bertemu dengan Diponegoro di sebuah pendapa dekat Kali Progo.
Memang terasa, Iwan kuat. Vokalnya prima sepanjang dua jam pertunjukan. Tapi kita melihat, karena Sardono terlalu memaksa agar liriknya sesuai dengan suasana kekinian, seperti kegerahan terhadap negara, beberapa lagu Iwan terasa verbal dan terasa kurang elok terjemahannya. Satu hal lain, babak-babak dengan adegan yang tak kuat seolah-olah kemudian menjadi ilustrasi dari nyanyian Iwan. Adegan seakan-akan klip video, termasuk adegan saat Merapi meletus, Diponegoro muda (diperankan Danang Pamungkas) malah mengajak sang istri, Retnaningsih (Rizki Suharlin Putri), tetap di peraduan dan bercinta. Seharusnya adegan tersebut bisa sublim, tapi itu tak terjadi, sehingga tak aneh jika seorang penonton berkomentar, "Kayak operet, ya."
Terbayang, kalau Iwan Fals tampil lebih lengkap dengan band seperti di Kantata Takwa, pentas ini bisa menjadi semacam rock opera. Sardono tak perlu lagi memasukkan kemegahan musik Wagner—yang juga dipakai Francis Ford Coppola dalam adegan pengeboman di film Apocalypse Now—untuk memunculkan bau kematian yang menyebar dalam adegan penangkapan Diponegoro oleh De Kock.
Tak puas dengan Iwan, Sardono menambahkan Happy Salma sebagai tokoh diva mabuk. Happy muncul di tengah-tengah pesta mabuk-mabukan serdadu Belanda. Tentu saja, saat ia berdiri di atas kursi dengan lagak seperti dewi penggoda, fotografer segera bertubi-tubi menjepretkan kameranya. Mengenakan gaun merah, ia terlihat begitu sensual. Sosok diva mabuk sebenarnya adalah sosok fiktif yang tidak ada dalam babad Diponegoro. Tapi Sardono menganggap pesta-pesta demikian pasti akan melibatkan para nyai dan selir. Peter Carey dalam disertasinya pun mengungkap, yang menyebabkan Diponegoro jengkel terhadap pemerintah Belanda di Yogyakarta adalah perilaku seks perwira Belanda yang ugal-ugalan. "Karakter Happy ini misterius. Ada fenomena bunyi, warna kostum, dan nilai-nilai yang tidak bisa dimengerti," tutur Sardono.
Ya, ya, ya. Dengan segala perubahan ini, tampak Sardono ingin menampilkan operanya lebih pop. Lebih segar. Ia juga ingin menampilkan Diponegoro bukan sebagai Imam Mahdi yang mengangkat senjata. Ia tidak menghadirkan perlawanan sengit Diponegoro dengan pedang, tapi justru memunculkan adegan Diponegoro menunggu janji hadiah naik haji dari Belanda sambil menulis babad.
Tak sepenuhnya pertunjukan ini menggedor. Tapi memang yang terbaik dari pentas ini adalah pesan bahwa Diponegoro melakukan perlawanan lewat tulisan.
Nunuy Nurhayati, Dian Yuliastuti, SJS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo