Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Satu Jembatan, Dua Pulau Terlampaui

Peraturan presiden tentang pembangunan jembatan Selat Sunda segera diterbitkan. Mimpi Sedyatmo 51 tahun lalu bakal menjadi kenyataan. Pilihannya, jembatan gantung ultrapanjang atau bentang pendek.

21 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wiratman Wangsadinata sudah jauh melewati masa muda. Pada Februari nanti, umurnya genap 77 tahun. Tapi dia masih rutin berkantor di perusahaan konsultan miliknya, PT Wiratman & Associates.

Beberapa bulan ini, dia tambah sibuk melayani undangan sebagai pembicara. Sejumlah pihak ingin mengetahui seperti apa konsep jembatan Selat Sunda yang dia rancang. ”Saya sedang menunggu jadwal mempresentasikan rancangan jembatan Selat Sunda ini di sidang kabinet,” kata Wiratman, Senin pekan lalu.

Setiap kali berbicara mengenai jembatan Selat Sunda, dia selalu bersemangat. Bagi Wiratman, pembangunan jembatan Selat Sunda merupakan mimpi lamanya. Dia sudah terlibat dalam pasang-surut ide pembangunan jembatan penghubung dua pulau ini sejak masih insinyur muda.

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan peraturan presiden mengenai penyelenggaraan badan pengelola kawasan khusus jembatan Selat Sunda akan tuntas pada akhir tahun ini. Begitu peraturan ini diterbitkan, uji kelayakan dan sebagainya bisa segera dikebut. Wiratman berharap pembangunan jembatan sudah bisa dimulai sebelum presiden berganti. ”Bagi seorang insinyur, tak ada mimpi lebih tinggi daripada membangun satu konstruksi luar biasa seperti ini,” kata Wiratman.

Mimpi menyambungkan Pulau Jawa dengan daratan Sumatera itu sudah berumur lebih dari separuh abad. Pada 1960, guru besar teknik sipil di Institut Teknologi Bandung, Sedyatmo, mengusulkan jembatan yang menyambungkan tiga pulau: Jawa, Sumatera, dan Bali. Gagasan Sedyatmo disambut pemerintah. Dia menamai konsep itu Tri Nusa Bimasakti.

Presiden Sukarno memerintahkan tim dari kampus Jalan Ganesha, Bandung, itu menyusun desain jembatan. Tim ini dikepalai Ketua Jurusan Teknik Sipil ITB, Rochaji Gaffar. ”Saya ikut menjadi salah satu anggotanya,” kata Wiratman. Rancangan jembatan tiga pulau ini dipamerkan dalam peringatan 20 tahun kemerdekaan RI. ”Tapi tak mungkin membangun jembatan Selat Sunda dengan teknologi saat itu.”

Ide besar ini sekian lama hanya tersimpan di dalam laci. Baru pada 1986, Presiden Soeharto meminta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menelaah kembali ide menyambungkan tiga pulau itu. Beberapa ahli gempa dan konstruksi dari Jepang diundang ke Jakarta. Ide yang mengemuka kala itu bukanlah jembatan, melainkan terowongan bawah laut.

Jepang terbukti berhasil mengebor bawah Selat Tsugaru dan menghubungkan Pulau Honshu dengan Pulau Hokkaido lewat terowongan Seikan. Terowongan kereta 53,8 kilometer ini mulai dibor pada 1983 dan mulai beroperasi lima tahun kemudian.

Satu di antara penyokong konsep terowongan ini adalah perusahaan dari Bandung, PT Propenta Persisten Indonesia. Mereka menyorongkan konsep Terowongan Nusantara sepanjang 33 kilometer yang bakal menghubungkan Jawa dengan Sumatera. Tapi gagasan terowongan ini perlahan-lahan layu.

Mengebor terowongan, menurut Wiratman, sangat mahal. Biaya operasional terowongan juga tak murah, karena harus terus-menerus menjaga sirkulasi udara dan pencahayaan. Angkutan yang bisa melewati terowongan bawah laut ini pun hanya kereta. Yang pasti, karena berada di zona rawan gempa, terowongan bawah Selat Sunda juga berisiko bocor. ”Retak kecil saja bisa berbahaya,” katanya.

Terowongan atau jembatan Selat Sunda memang berada di zona ”merah” alias gawat. Bagian selatan Selat Sunda merupakan zona subduksi lempeng tektonik Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Sekitar 50 kilometer arah selatan calon lokasi jembatan ada gunung berapi aktif Anak Krakatau. Arus laut dan angin di selat ini juga lumayan kencang.

Wiratman lebih memilih konsep jembatan gantung untuk menyeberangi Selat Sunda. Pada 1992, dia diminta Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie merancang jembatan Selat Sunda. Namun krisis ekonomi pada 1997 membuat rencana itu menguap begitu saja. Barulah pada Oktober 2007, Wiratman digandeng PT Bangungraha Sejahtera Mulia menghidupkan kembali gagasan ini. Bangungraha merupakan bagian dari Artha Graha Network milik Tomy Winata.

Konsep Wiratman mengadopsi teknologi jembatan Selat Messina, Italia, dan jembatan Akashi Kaikyo di Selat Akashi, Jepang. Kondisi geologis di Selat Messina pun agak-agak mirip dengan Selat Sunda. ”Struktur atasnya mirip jembatan Selat Messina, struktur bawahnya mengadopsi jembatan Akashi,” kata Wiratman.

Wiratman dan timnya sudah berulang kali bertemu dan berdiskusi dengan tim Stretto di Messina, perusahaan yang bertanggung jawab atas pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Sisilia dengan daratan Italia. Rancangan Wiratman pun sudah dibedah dan diuji oleh tim Wiratman bersama Stretto.

Menyeberangi Selat Sunda, menurut pensiunan guru besar teknik sipil ITB ini, tak bisa menggunakan teknologi serupa jembatan Golden Gate di San Francisco atau teknologi jembatan Surabaya-Madura. Sebab, jembatan Selat Sunda harus melewati palung yang lumayan lebar. Satu palung di sebelah timur Pulau Sangiang, satu lagi di sebelah baratnya.

Bentang tengah jembatan Wiratman lebarnya 2.200 meter atau lima kali lebar bentang tengah jembatan Suramadu. Bentang tengah Golden Gate ”hanya” 1.280 meter. Saat ini jembatan dengan bentang tengah paling panjang adalah jembatan Akashi, yakni 1.991 meter, yang tuntas dibangun pada 1998. Adapun jembatan Selat Messina yang sekarang masih tahap persiapan pembangunan, jarak antara dua pilon atau pilar utamanya 3.300 meter.

Bagaimana sebuah dek jembatan yang sangat berat dan dilalui kendaraan, bahkan kereta, yang juga sangat berat, membentang sepanjang itu tanpa tiang penyangga? Teknologi jembatan generasi pertama seperti yang dipakai Golden Gate dan generasi kedua di jembatan Akashi, menurut Wiratman, tak akan bisa direntangkan hingga melampaui 2.000 meter. ”Perlu teknologi jembatan generasi ketiga seperti di Selat Messina,” katanya.

Supaya bisa membentang hingga lebih dari 2.000 meter, dek jembatannya harus lebih ringan. Pilon tempat kawat utama disampirkan juga lebih tinggi. Tinggi menara jembatan versi Wiratman 322,4 meter dengan jarak dek terhadap muka laut sekitar 80 meter. Menurut Wiratman, model jembatannya bisa tahan gempa hingga kekuatan 9 skala Richter. Apalagi lokasi jembatan Selat Sunda ini cukup jauh, yakni sekitar 150 kilometer, dari zona tumbukan tektonik.

Agar tahan gempa, dek jembatan tak boleh terlalu kaku, sehingga getaran gempa dapat teredam. Dengan posisinya yang tinggi, jika terjadi tsunami, terjangan air pun masih jauh di bawah dek.

Yang perlu lebih diwaspadai sebenarnya adalah angin kencang. Tekanan angin kencang pada badan jembatan bisa menyebabkan getaran vertikal atau rotasional. Jika vibrasi vertikal dan rotasional ini beresonansi dan saling menguatkan, akan terjadi flutter. Pada 1940, jembatan gantung Tacoma Narrows di Amerika Serikat runtuh setelah diterjang angin kencang. Inilah akibat flutter tersebut.

Di jembatan Selat Sunda, dari pengujian tim Wiratman, kemungkinan terjadi flutter ini sangat kecil. ”Bisa dibilang tak mungkin terjadi flutter,” katanya.

l l l

JODI Firmansyah, 57 tahun, tak peduli soal rekor lebar bentang jembatan. Dia lebih memilih menghindari palung ketimbang melompatinya. Konsep jembatan yang diusulkan dosen teknik sipil ITB ini tak memerlukan bentang tengah ultralebar.

Dengan menghindari bagian paling lebar palung, jembatan Jodi memangkas lebar bentang tengah dari 2.200 meter menjadi 700 meter. Jembatannya memang menjadi lebih panjang, tapi total biayanya bisa diirit. ”Tak perlu kita mengejar rekor jembatan, yang penting bermanfaat dan teknologinya sudah terbukti,” ujarnya.

Satu hal yang menjadi perhatian Jodi adalah soal pembangunan konstruksi di kedalaman laut 80 meter. Indonesia masih miskin pengalaman membangun jembatan laut dengan tiang yang cukup dalam. Tiang jembatan Barelang, kata Jodi, sedalam 32 meter sampai ke dasar laut dengan kecepatan arus 2,5 meter per detik. Sedangkan jembatan Suramadu hanya 18 meter. ”Masalahnya bukan di kedalaman, tapi pengalaman kita di kedalaman 30 meter masih minim,” katanya.

Di dunia, belum ada jembatan yang dibangun dengan kedalaman lebih dari 50 meter. Jembatan Akashi di Jepang dibangun di kedalaman tiang 40 meter. Walau mungkin sistem fondasi yang digunakan bisa dipakai di jembatan Selat Sunda, diperlukan teknik yang luar biasa dengan kecepatan arus di tengah Selat Sunda yang mencapai 5 meter per detik. ”Saya punya kesimpulan, kontraktor kita itu jago-jago, tapi kita harus menggunakan teknologi yang sudah ada dan dipakai. Banyak masalah yang belum terbukti di jembatan lain,” kata Jodi.

Sapto Pradityo, Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus