Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Dari Ultras Mesir untuk Revolusi

Tragedi berdarah di Port Said, Mesir, menyatukan suporter sepak bola garis keras. Mereka menghadapi junta militer dengan taktik melawan pasukan keamanan di stadion.

13 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pergi… pergi... pergi...!" Ribuan orang berteriak serempak dengan nada marah di Alun-alun Tahrir, Kairo, Mesir, hari itu, Kamis dua pekan lalu. Seseorang dengan ikat kepala putih bertulisan "Zamalek" turut mengumandangkan yel-yel kebencian kepada junta militer penguasa Mesir. Tak jauh darinya, sebuah spanduk merah terbentang: "Al-Ahly, 1907, Klub Abad Ini".

Dalam kondisi normal, atribut klub sepak bola Zamalek dan Al-Ahly tak mungkin berdekatan. Pendukung kedua kesebelasan dari Kairo itu saling membenci. Namun hari itu, juga beberapa hari sesudahnya, solidaritas yang dipicu tragedi berdarah di lapangan sepak bola telah menyatukan mereka. "Kami bahu-membahu lagi sebagai sesama warga Mesir," kata Ramy Tabrizi, pria dengan ikat kepala "Zamalek" itu.

Kerusuhan berdarah tersebut terjadi sehari sebelumnya di Port Said, kota berjarak 200 kilometer ke arah barat laut dari Kairo. Sesudah tim Al-Masry memenangi pertandingan 3-1 atas Al-Ahly, ratusan orang beratribut pendukung tuan rumah, Al-Masry, menyerang suporter tim tamu. Sebanyak 74 orang tewas, termasuk seorang anak berusia 11-12 tahun. Lebih dari seribu orang mengalami luka, 150 orang di antaranya dalam kondisi kritis.

"Orang-orang itu menyerang kami dengan tongkat, pisau, batu, pecahan kaca, mercon, dan berbagai senjata yang tak selazimnya ada di arena sepak bola," ujar Ahmed Ghaffar, pendukung Al-Ahly yang lolos dari maut. "Ini bukan sepak bola, ini perang. Orang-orang sekarat di depan kami. Tak ada pencegahan, tak ada pengamanan, tak ada ambulans," kata playmaker Al-Ahly, Mohamed Aboutrika, yang langsung menyatakan pensiun karena trauma.

Salah seorang yang tewas di Stadion Port Said adalah Mahmoud Ghandour, pendiri ultras Ahwaly, pendukung fanatik Al-Ahly. Di luar anggota mereka, tak banyak yang tahu siapa Ghandour sebenarnya. Bila berbicara kepada pers, dia selalu menggunakan nama samaran. Orang hanya tahu, dia pria 27 tahun, punya pekerjaan mapan di Kairo, dan mendirikan Ahwaly pada 2007.

Saat meletus Revolusi 25 Januari—dinamai sesuai dengan awal mula terjadinya gelombang demonstrasi besar-besaran yang berpusat di Alun-alun Tahrir, 25 Januari 2011— Ghandour berdiri di garis terdepan, berhadap-hadapan dengan polisi dan militer, memimpin rekan-rekannya dari ultras Ahwaly. Pada saat yang sama, suporter-suporter klub lain juga "mengutus" orang-orang mereka, termasuk dari kelompok Ultras White Knights (UWK), loyalis Zamalek.

Meski tak menggunakan atribut kelompok, kehadiran mereka diakui banyak orang. "Peran ultras sangat vital pada revolusi," kata politikus pendiri Partai Al-Karama, Hamdeen Sabbahi, memuji. Hasilnya, pada 11 Februari 2011, Presiden Husni Mubarak menyatakan mundur setelah 30 tahun berkuasa dengan otoriter.

Atas nama situasi darurat, Dewan Agung Militer di bawah pimpinan Jenderal Hussein Tantawi lantas mengambil alih kekuasaan. Para demonstran tak mengendurkan gelombang protes mereka. Isu demonstrasi berganti ke percepatan pembentukan pemerintahan sipil. Militer melawannya dengan kekerasan. Puncaknya, November lalu, 40 demonstran tewas di Jalan Mohamed Mahmoud, dekat Tahrir.

Istilah ultras atau ultra sejatinya baru populer di Mesir dalam setengah dasawarsa terakhir. Kata itu berasal dari bahasa Latin yang bisa bermakna "luar biasa", "ekstrem", atau "radikal". Istilah ini lebih berasosiasi dengan suporter-suporter militan klub Italia: orang-orang yang selalu mengikuti ke mana pun klub mereka bertanding, terus berteriak dari tribun di belakang gawang (tempat yang sebenarnya tak nyaman untuk menonton), dan tak segan melakukan bentrok fisik dengan ultras lawan.

Negara Arab pertama yang menggunakan istilah ultras untuk menyebut suporter mereka adalah Libya, yaitu ultras Dragon pada 1989, tapi usianya pendek karena dibubarkan rezim Muammar Qadhafi. Ultras lantas menyebar ke Tunisia dan Mesir.

Dalam bukunya, Kitabul Ultras, penulis sekaligus salah seorang pendiri UWK, Mohamed Gamal Bashir, menulis bahwa kultur ultras Mesir dimulai dari klub Al-Ahly. Cikal-bakalnya pada pertengahan 1990-an dan baru benar-benar muncul ke permukaan pada pertengahan 2000-an. Klub-klub lain, termasuk Zamalek, mengikuti kemudian. UWK mengklaim memiliki 2.500 anggota terdaftar dan 7.000 anggota tak resmi. Ahwaly lebih besar dari itu.

Al-Ahly didirikan oleh sekumpulan mahasiswa pribumi pada 1907. Empat tahun kemudian, beberapa orang asing, Belgia dan Inggris, mendirikan Zamalek. Di lapangan, kedua tim ini merupakan seteru utama. Pendukung fanatik mereka hampir selalu bentrok. Secara prestasi, Al-Ahly lebih superior, hebat di Liga Mesir dan pernah enam kali meraih trofi Liga Champions Afrika.

Bila kedua tim bertemu, biasanya arena pertandingan dipindahkan ke tempat netral. Wasit juga spesial, jamaknya dari Skotlandia, negara yang memiliki derby panas antara Glasgow Rangers dan Glasgow Celtic.

Awalnya, Ahwaly dan UWK berdiri sekadar untuk mendukung tim mereka, terutama bila Al-Ahly dan Zamalek berhadapan. "Ultras Mesir tak memiliki ikatan ideologis tertentu seperti ultras Marseille (Prancis), yang kerap membawa foto Che Guevara saat pertandingan," kata Bashir. "Anda tak bakal melihat kami membawa foto (pemimpin oposisi Mohammed) El-Ba­radei, misalnya, atau tulisan ultras Ikhwan (gerakan Ikhwanul Muslimin)."

Panggilan sejarah memaksa ultras turun ke politik jalanan. "Kehidupan di zaman Mubarak seperti kehidupan di negara-negara Eropa Timur saat komunis berkuasa, serba represif," kata seorang pemimpin Ahwaly, Assad. "Terus terang, sebelum Januari 2011, kami sama sekali tak bersentuhan dengan politik," ujar seorang pemimpin UWK yang namanya cuma mau disebut sebagai Ahmad.

Setiap pekan ultras terbiasa bentrok dengan polisi di stadion. "Keahlian" yang terasah di arena sepak bola membuat mereka menjadi pionir saat demonstrasi. "Kami hafal kebiasaan polisi. Kami tahu kapan mereka akan bergerak, kapan kami harus lari," kata Ahmad. "Kami mengajari demonstran lain cara melempar batu." Tip mengatasi gas air mata, dengan mengoleskan Pepsi Cola di sekitar mata, mereka dapatkan dari ultras Tunisia.

Di Stadion Port Said, kisah ultras itu berujung—meski mungkin awal dari cerita yang lebih heroik. Kelompok yang satu membantai kelompok lain. Sebagian warga Mesir menuduh pihak polisi sengaja membiarkan penjagalan itu terjadi. Pendapat yang lebih keras menyebutkan penyerang suporter Al-Ahly adalah orang-orang bayaran.

"Ini cara pemerintah membungkam ultras," kata Diaa Salah, anggota komite perempuan Federasi Sepak Bola Mesir (EFA), geram. "Pesan yang jelas: 'Kalian meminta demokrasi dan kebebasan, ini rasakan akibatnya'."

Selain junta militer, suporter Al-Masry menjadi tertuduh utama. Secara tradisi, Kota Port Said adalah basis pendukung Mubarak, mantan militer yang kemudian menjadi presiden. Namun Ultras Green Eagles, pendukung Al-Masry, menampik tudingan.

Melalui Facebook, mereka mengaku tak tahu-menahu soal insiden itu. Menurut Green Eagles, beberapa hari sebelumnya, sejumlah orang membujuk mereka agar menculik para pemain Al-Ahly. "Untuk menghormati mereka yang terbunuh, kelompok kami menyatakan menghentikan aktivitas kami," begitu pernyataan Green Eagles.

Ghandour telah pergi. Kematiannya justru memicu semangat perlawanan baru. Di Alun-alun Tahrir dan di segenap wilayah, para ultras berada di tengah-tengah para demonstran, bersatu menuntut junta militer turun dari kekuasaan. Mereka masih ingin menuntaskan revolusi.

Andy Marhaendra (Egypt Independent, AFP, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus