Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pendongeng Ulung Milik Indonesia

Pada 1970-1980-an, anak-anak pernah memiliki seorang teman setia: buku-buku fiksi ilmiah karya Djokolelono.

13 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAT Madura, 1971.

Langit biru yang bersih itu mendadak hitam. Sebuah pesawat terbang kecil meledak dan merusak hamparan biru itu. Beberapa penumpang, termasuk Dwiyana, mahasiswa Ilmu Purbakala Universitas Brawijaya, melayang jatuh dan tak ditemukan tubuhnya. Tak ada yang tahu bahwa ledakan itu akibat sebuah helm yang ternyata berfungsi seperti mesin waktu.

Syahdan, Dwiyana berhasil menyelamatkan diri dan terdampar di daratan asing pada 1292. Tiba-tiba saja ia dikelilingi segerombolan lelaki bertubuh besar, membawa tombak, dan bertanya dalam bahasa Jawa kuno, "Orang ajaib! Dari mana kau?"

Inilah awal dari petualangan kita bersama penulis Djokolelono melalui novel Terlontar ke Masa Silam (Pustaka Jaya, 1971). Dwiyana terlempar ke sebuah masa ketika Singosari tengah riuh-rendah dan Raden Wijaya belum menjadi Raja Majapahit. Di dalam novel setipis 51 halaman itu, para pembaca mengikuti pengalaman seru Dwiyana sebagai manusia modern yang harus beradaptasi dan sibuk meyakinkan orang-orang pada abad ke-13 bahwa ia adalah manusia biasa; bukan dedemit, apalagi musuh. Pertemuannya dengan Raden Wijaya dan para junjungan lain menjadi daya tarik utama. Dwiyana menampilkan pengetahuan kemampuan akademisnya tentang bagaimana sejarah mencatat peran Raden Wijaya dan kejayaan Majapahit. Tentu saja karena saat itu Wijaya tengah di penjara, dia—dan segenap hamba sahayanya—menertawai "nujum" Dwiyana. Bagaimana dalam keadaan terkurung Raden Wijaya diramalkan dianggap sebagai salah satu sosok sejarah terkemuka di kawasan ini? "Orang aneh" ini memang lucu.

Bagi Dwiyana, orang-orang di zaman Singosari itu juga lucu. Mereka tak hanya tampil seperti tokoh dalam wayang orang, tapi juga sebagai orang modern. Yana—panggilan Dwiyana—kerap bertanya kepada diri sendiri, apakah pasta gigi sudah tercipta pada zaman itu. Maklum, setiap kali mereka berteriak di hadapannya, aroma mulut mereka sungguh mengganggunya.

Djokolelono gemar bergurau. Tapi, yang lebih penting lagi, karyanya luar biasa fantastis. Ingatlah, di suatu masa, anak-anak Indonesia tumbuh bersama buku-buku karyanya. Mereka yang masih duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada 1970-1980-an, yang hanya mengenal satu stasiun televisi (TVRI) serta saat DVD, game, telepon seluler, dan Internet nyaris belum ada, menganggap Djokolelono sebagai penyelamat kegelapan. Masa kanak-kanak Indonesia menjadi penuh warna, fantasi, dan petualangan yang tak tertandingi dalam dunia nyata. Lahirnya novel anak-anak dengan penerbit Pustaka Jaya berjudul Genderang Perang dari Wamena (1970), Getaran (1972), Lawa dan Kusya (1976), Hancurnya Jembatan Beru (1977), serta serangkaian serial Astrid adalah kawan setia anak-anak di masanya.

Berbeda dengan generasi masa kini, yang jauh lebih vokal dan didorong untuk kritis, generasi pada masa itu adalah generasi yang lazim harus patuh kepada orang tua dan dilarang bertanya di kelas. Karena itu, tokoh-tokoh Djokolelono lantas menjadi tokoh idola para pembacanya. Misalnya novel Genderang Perang dari Wamena, yang berkisah tentang dua sahabat bernama Adi dan Yunanto. Adi adalah putra seorang kurator museum yang baru saja pindah dari Belanda. Sebagai anak yang baru saja mengenal Jakarta, tentu saja perkawanannya dengan Yunanto adalah sesuatu yang menyenangkannya. Di sebuah hari yang tumpah hujan, Adi dan Yunanto mengorek-ngorek gudang ayahnya yang berisi barang-barang antik. Mereka menemukan sebuah genderang perang kuno yang berasal dari Wamena. Ketika genderang itu dipukul, mendadak saja gudang itu dipenuhi oleh kabut. Adi dan Yunanto terlempar ke suatu masa dan sebuah tempat yang tak terbayangkan. Mereka di tengah hutan. Genderang yang mereka pukul itu tampaknya menjadi sumber sengketa. Mereka menyaksikan bagaimana kelompok ekspedisi Belanda dan orang-orang lokal bersitegang. Seru.

Anak-anak dalam cerita Djokolelono selalu digambarkan sebagai pahlawan, atau sebagai sosok yang lebih superior ketimbang orang dewasa. Dalam Astrid Dibajak, yang dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas, pahlawannya adalah si kecil Astrid.

Adapun dalam novel Rahasia di Balik Lukisan, yang bertema thriller, Djokolelono menyajikan kisah seru misteri pencurian sebuah lukisan dan pembunuhan. Pahlawan cerita ini: seorang anak bernama Tatang. Ayah Tatang, Himawan, tengah berduka karena istrinya meninggal. Karena pedihnya, dia memutuskan pensiun dari melukis. Syahdan Om Najib, paman Tatang, tak rela dengan keputusan itu. Suatu malam, lukisan Himawan yang terindah dan yang paling banyak dibicarakan masyarakat hilang dicuri. Mitro, penjaga galeri, yang berupaya menahan sang maling, tewas.

Tentu saja ini sudah urusan polisi. Tapi Djokolelono tak pernah membiarkan polisi menjadi pahlawan. Anak-anak, seperti juga dalam kisah-kisah Enid Blyton, adalah peran utama yang dijunjungnya. Tatang adalah anak yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Malam itu, dia masih merasa ada yang aneh dengan peristiwa kematian Mitro dan hilangnya lukisan tersebut. Di galeri ayahnya, dia merasa seseorang memanggil-manggilnya. Ternyata dia diajak ngobrol oleh salah satu tokoh dalam lukisan ayahnya. Masuk ke dalam lukisan? Itulah imajinasi fantastis Djokolelono. Tatang keluar-masuk lukisan ayahnya sembari mewawancarai semua sosok lukisan yang menjadi "saksi" dari peristiwa pencurian lukisan dan pembunuhan Mitro. Seperti seorang penulis roman detektif, Djokolelono memberi tanda-tanda pada setiap bab. Tapi, pada akhir cerita, dia tetap berhasil menyajikan suspense.

Babak demi babak ditulis dengan bahasa yang sederhana dan kalimat yang ringkas. Djokolelono sadar betul pembacanya adalah anak-anak. Jika ada orang dewasa yang ikut tertarik membacanya, itu menjadi sebuah bonus. Daya tarik Djokolelono di masanya adalah dia satu-satunya penulis yang berhasil membuat buku sebagai sesuatu yang menghibur, menarik, penuh petualangan sekaligus pendidikan. Djokolelono tak pernah pedantik dan mengajar-ngajari pembaca. Tokohnya dengan sendirinya menjadi patokan moral yang pasti menjadi teladan anak-anak yang membacanya.

Lahirnya novel baru Djokolelono berjudul Anak Rembulan (Mizan Fantasi, 2011) adalah suatu perayaan kembalinya ia di antara kita dengan fantasinya yang luar biasa. Tentu saja tak mudah bagi dia untuk merenggut anak-anak masa kini dari keasyikan mereka bermain game, Internet, DVD, dan ponsel. Tapi mereka tetap harus mengetahui bahwa, di sebuah masa, Indonesia pernah memiliki pendongeng ulung bernama Djokolelono.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus