Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
Istilah Tijitibeh tiba-tiba saja naik daun di musim korupsi bersemi. Cahyadi Takariawan, anggota Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera, melontarkan ungkapan aneh itu menjelang perombakan kabinet beberapa waktu lalu (Tempo, 17-23 Oktober 2011). Tijitibèh adalah akronim yang tersusun dari penggalan kata-kata Jawa dalam frasa mati siji mati kabèh atau mati satu mati semua. Kala itu, kata Cahyadi, beberapa kader PKS menginginkan partainya menarik diri secara total dari pemerintahan jika salah satu menterinya—sekalipun—kesenggol perombakan. Padahal PKS memiliki empat menteri di kabinet. Jadi, partai itu tak ingin jatah menterinya diutak-atik: tetap empat kursi atau tidak sama sekali.
Bagaimana menafsirkan tijitibèh versi itu? Merasa punya "kontrak khusus" dengan Presiden yang tak boleh diingkari begitu saja, sekumpulan kader PKS meyakini "mati semua" adalah wujud keteguhan membela kontrak itu. Namun sulit ditepis kesan bahwa ungkapan tijitibèh dalam kaitan dengan itu seperti membersitkan sikap mutung alias mengambek. Yang menarik, ketika seorang menteri asal PKS benar-benar tanggal dari kabinet, tijitibèh tidak terjadi. Dipikir-pikir, mungkin éman-éman juga melepas semua kursi empuk yang telah diraih dengan susah payah. Bagaimanapun, partai itu mampu menaklukkan mutung yang kekanak-kanakan menjadi legawa yang dewasa.
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki juga pernah menyinggung soal tijitibèh dalam suatu perbincangan di televisi. Dalam versi lain, mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji menyebut barjibarbèh—kependekan dari bubar siji bubar kabèh alias bubar satu bubar semua—di hadapan media. Sebagai petinggi hukum, ketika itu, keduanya "berteori" bahwa penyelidikan terhadap seorang tersangka korupsi biasanya akan merembet ke pelaku yang lain. Pihak tersangka tentu tak ingin jadi pesakitan sendirian, karena itu ia akan "ajak-ajak" sekutu korupsinya untuk menanggung perkara. Di sini, ungkapan tijitibèh menemukan makna sebagai "tanggung jawab bersama".
Entah dari mana tijitibèh dan barjibarbèh itu tersadap. Saya ingat, ungkapan itu semacam "kode etik" kolektif dalam suatu dolanan atau permainan bocah semasa kecil di kampung. Dalam petak umpet beregu, misalnya, bila salah seorang pemain diketahui lokasi persembunyiannya oleh sang lawan, maka seluruh regu tersembunyi itu dinyatakan "mati kabèh" atau kalah, dan harus bergiliran mencari mantan lawannya yang bergantian ngumpet. Bila suatu permainan akan diakhiri, misalnya karena magrib hampir tiba, atas kehendak bersama dideklarasikan "bubar kabèh"—dan dolanan pun usai.
Jadi, tijitibèh ataupun barjibarbèh merupakan sisi lain suatu collectious dalam permainan. Sejarawan Anthony Reid, dalam Southeast Asia in the Age of Commerce (1988), melihat popular games pada masyarakat Asia Tenggara umumnya bersifat kolektif dan bertautan dengan kehidupan komunal yang lebih luas—semisal gasing yang bertemali dengan siklus pertanian di lingkungan budaya sawah Tanah Jawa. Moralitas yang ingin dibangun adalah merajut bebrayan di antara komunitas. Dan ketika sebuah kontestasi dinyatakan bubar, semua "permusuhan" selama bermain harus dibasuh untuk membangun suasana baru yang lebih guyub.
Mengapa para penegak hukum merasa perlu mengutip tijitibèh? Barangkali cuma spontanitas yang mengisyaratkan kebutuhan mencari varian "idiom baru" yang lebih kuat untuk mendorong penegakan hukum tanpa pandang bulu. Sama-sama bahasa cakapan, tijitibèh terasa lebih menggigit ketimbang "tidak tebang pilih" yang tampak loyo. Bagi penegak hukum, asas tijitibèh ditangkap sebagai pesan keadilan yang imparsial demi kesejatian keadilan itu sendiri. Dari segi terpidana, khususnya koruptor, tijitibèh adalah wujud tanggung jawab yang logis karena bukankah, seperti sudah jadi semacam rumus, korupsi selalu menyeret banyak oknum.
Dalam konteks yang berbeda, di jagat pewayangan, tijitibèh mengingatkan pada lakon Perang Baratayuda dalam kisah Mahabarata. Perang itu merupakan konflik sesama saudara, yaitu keluarga Pandawa yang berwatak kesatria versus Kurawa yang berangasan. Sebagai perang brubuh atau besar-besaran, Baratayuda menggugurkan semua tokoh Kurawa dan menyisakan Yudistira di pihak Pandawa sebagai simbol "kebenaran yang sejati". Pesan moral dari epik itu adalah kebenaran yang hakiki tak pernah mati, dan, sebaliknya, angkara murka pasti sirna.
Meski ragam tak resmi, tijitibèh ataupun barjibarbèh bisa menjadi ungkapan yang lebih bertenaga ketimbang jargon "semua pihak sama di depan hukum" yang kini terasa lumpuh dan kehilangan wibawa maknanya. Tak ada salahnya pula berkaca dari negeri antah-berantah di dunia wayang agar beroleh perspektif bandingan. Mungkin, "semangat baratayuda" bisa dikobarkan untuk melawan kejahatan luar biasa yang berjuluk korupsi itu sampai cures—atau "sampai ke akar-akarnya" menurut slogan yang sudah usang.
*Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo